Jan 22, 2008

1st Chapter: Terang Dalam Gelap

“Atalya Jessica.”
“…”
“Atalya Jessica ada?”
Tak ada sebuah jari telunjuk mengancung tinggi. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Suasana kelas hening sebentar. Hanya ada suara wali kelas yang sedang mengabsen. Tiba-tiba kelas yang sedang hening itu dikagetkan dengan seseorang yang mengetuk pintu dengan cepat dan terburu-buru. Pintu dibuka. Seseorang datang dari pintu itu dan berjalan ke arah wali kelas.
“Misi Pak, maaf saya terlambat.”
“Kamu ya Atalya Jessica?”
“Iya Pak.”
“Yang suka terlambat itu ya?”
“…”
“Silahkan duduk.”
“Makasih Pak.”
Anjrit. Telat lagi. Segitu terkenalnyakah gue? Sampai guru-guru tau kalo gue suka telat. Entah sudah yang keberapa puluh kalinya Atal terlambat sejak kelas 1. Terkenal banget gue.
“Tal, psst… Atal…”
“Disa? Lo sekelas sama gue?”
“Iya dong. HP lo tuh kenapa sih? Gue telpon nggak diangkat mulu.”
“Tadi pagi gue baru bangun jam setengah 7. Nggak sempet nelpon elo…”
“ANDISA DAN ATALYA, TOLONG DIAM SEBENTAR!”
***

Di kelas gue yang notabene anak berkacamata dan berkawat gigi itu, belum semuanya gue kenal. Secara di SMA yang lahannya kayak mall ini, satu angkatan ada 8 kelas. Bukan salah gue kalo gue nggak kenal semuanya. Di kelas ini gue bersatu dengan anak-anak 2IPA2 lainnya. Ada Disa, my best friends. Stanley, ketua kelas yang pinter namun agak feminine. William, si freaks yang kacamata minus limanya. Dan beberapa anak lainnya.
“Atalya?”
Sesosok cowok tinggi menghampiri Atal. Tepat dibelakang Atal berdiri. Kulitnya putih dan tipikal anak rumahan. Rambutnya sampai seleher dan agak jabrik. Dan wangi Emporio Armani.
“Iya.”
“Kenalin, gue Damar.”
“Oh, iya. Elo Damar anak bola kan ? Yang kemarin menang 2-0 sama SMA Nasional?”
“Iya. Kok elo tau sih?”
“Gue nonton kok. Gila, strikernya keren banget. Sekali nendang langsung goal gitu.”
“Iyalah. Strikernya kan gue!”
“Elo?”
***


“Dis, kenal Damar nggak?”
“Ooh, si striker itu yah?”
“Kok semuanya udah pada tau sih? Gue baru tau kalau dia strikernya.”
“Tal, dia jomblo loh. Gebet gih. Gue liat elo berdua cocok banget loh.”
“Iya ya Dis, dia emang cakep. Baik lagi. Tadi gue baru aja kenalan.”
“Lo baru kenal?”
“Iya.”
Disa tak henti-hentinya mentertawakan gue. Emang dasar gue yang goblok atau Damar yang kurang famous yah? Yang jelas emang gue yang goblok. Damar itu striker andalan SMA gue ini. Masa sih cowok kayak gitu masih kurang famous?
***

“Damar…”
Si Damar yang keren itu nengok ke arah gue sambil membalikan badannya. Langkahnya terhenti di depan kantin. Tangannya penuh dengan tumpukan file berwarna kuning menyala. Dan gue pun jadi enggak enak sendiri mengganggu si Damar yang sedang keberatan membawa tumpukan file itu.
Oh my God. Ganteng banget!!!
“Atal, kenapa?”
“Mmm, mau nanya. Daftar ekskul bola dimana yah?”
“Di gue bisa. Siapa yang mau ikut?”
“Gue.”
Dengan semangat juang 45, si Damar ngeliatintin gue dari ujung kaki ke ujung kepala. Kepala gue makin gede nih dilihatin sama cowok cakep. Mungkin dia terpana dengan ke-imutan gue. Mungkin.
“Elo?”
“…”
“Ooh, boleh boleh. Ntar gue ambilin formnya. Gue mau ke ruang guru dulu yah. Mau ngasih form anak-anak bola yang udah daftar.”
“Sekalian aja. Sini, gue bantuin bawa.”
Awalnya si Damar itu masih jaim jaim dikit. Mau sok kuat gitu kali. Padahal gue udah ngeliat kalo tangannya udah pada merah lantaran keberatan ngebawa tumpukan file itu. Tapi at the end nya mau juga gue bantuin. Dasar cowok, nggak kuat aja sok kuat.
***


“LO IKUT EKSKUL BOLA???”
“Iya Dis. Aduh, suara lo kecilin dikit dong. Ntar kalo ketahuan Pak Yogi gimana? Mau tanggung jawab lo?”
“Enggak, secara gitu loh. Tahun kemarin bukannya elo males banget ngikut ekskul?”
“Iya, dapet inspirasi dari Rooney.”

Sesaat mereka tertawa bersamaan. Untungnya Pak Yogi sang guru Biologi yang kupingnya agak-agak nggak denger nggak nge-GAP dua muridnya yang lagi tertawa cekikikan. Tapi gue cukup tau, bahwa beberapa anak yang duduk dekat gue dan Disa sudah cukup terganggu dari tadi.
“Kalian semua tolong buat…”
Pintu diketuk. Cukup membuat kaget. Untungnya di kelas gue nggak ada yang jantungan. Kecuali Pak Yogi, mengingat guru Biologi yang sudah lama bertengger manis di sekolah gue ini sudah lansia. Rambut sejuta uban. Dan seribu minus di kacamatanya. Kalo bukan karena mantan pahlawan, Pak Yogi ini sudah masuk peti mungkin. Biar kata udah bau tanah, Pak Yogi ini spirit nasionalisme nya kuat banget. Udah gitu lumayan gaul lagi. Nggak salah kalau Pak Yogi ini sering dipanggil Opa. Singkatan dari Om Pahlawan.
Kembali ke pintu yang tiba-tiba diketuk. Datang seorang lelaki yan rupanya tak jauh beda dengan Opa. Masih dengan rambut sejuta uban dan kacamata yang minusnya sedikit ringan dari pada Opa. Tubuhnya juga terlihat segar bugar. Dia adalah kepala sekolah gue ini. Dan di sebelahnya, terlihat sesosok generasi seperti gue. Yang kelihatannya masih pecicilan dan nyebelin. Sangat beda dengan sosok di sebelahnya yang masih menunggu kedatangan Pak Yogi dari depan papan tulis.
“Pak Yogi, misi Pak. Ada Kepala sekolah?” kata Stanley sebagai ketua kelas.
“APA? ADA KELAPA MOLEH???”
“Kepala Sekolah Pak.”
“Ooh, kepala sekolah. Ya sudah, duduk sana . Terima kasih ya.”
Begitulah gelagat aneh Opa. Kalau ngomong selalu kagetan. Suaranya agak kenceng. Bahkan kadang-kadang bisa muncul hujan sesaat dari mulutnya. Dan yang lebih parahnya lagi, kupingnya sudah karatan sehingga selalu salah mendengar ucapan orang lain.
Sesaat Pak Kepala sekolah dan Opa berbicara sebentar. Tanpa terdengar oleh penghuni kelas yang notabene memandang sang anak disebelahnya. Lalu Opa masuk ke kelas sambil menggiring anak disebelahnya ke depan kelas. Pintu kelas kembali di tutup.
“Nama saya Harold.”
“HAMSTER?”
Dasar guru budek!!!
“Harold Pak…”
“Ooh Harold. Baik, lanjutkan.”
Tingginya memang hampir 2 meter. Wangi parfumnya mulai tercium sampai dinding mading dibelakang. Tasnya entah terisi buku atau kapas. Terlihat sangat enteng. Mukanya juga lumayan. Hanya satu yang gue tau. Dia kan Harold. Ya iyalah, barusan dia nyebut namanya. Harold yang terkenal di penjuru sekolah karena kebandelannya itu. Kebandelan anak SMA yang sedang parah-parahnya.
“Yasudah, itu aja.”
“Harapan kamu buat kelas ini?”
“Nggak ada.”
“Baik, silahkan duduk.”
Duh, nyolotnya ini orang udah mulai kelihatan. Gue duduk bersama Disa di kursi kedua dari paling belakang. Dan di belakang gue kursi kosong. Benar aja feeling gue sama Disa kalo si Harold itu duduk dibelakang kita. Dan entah kenapa, si Disa ini udah mirip sama cacing kepanasan. Nggak tahan mau kenalan sama si Harold ini.
“Kenalin, nama gue Andisa,” kata Disa sambil mengulurkan tangannya.
“Ooh, Andisa. Lo lucu yah,” balas si Harold itu sambil tersenyum sok cool.
Disa langsung membalikan tubuhnya kembali ke posisi semula. Menghadap ke gue. Sambil senyum-senyum najong gitu.
“Tal, si Harold bilang gue lucu…”
Si Disa langsung senyum-senyum sok imut. Disa sih emang imut. Badannya mini. Kulitnya putih. Bibirnya pink banget. Bhuah, udah mirip banget dah sama Shizukanya Doraemon. Tipikal anak pintar dan fashionable pula. Sama gue sih kalah jauh.
“Lo sih emang lucu Dis. Kayak beruang salju.”
“Sirik aja sih lo…”
Tertawa lagi. Dan untungnya Opa nggak denger. Bagus lah. Gue kalo udah
ketemu sama Disa maunya ngobrol sama ketawa-ketawa mulu. Gue sama Disa emang udah sahabatan dari SMP. Belom lagi gue paling nggak tahan kalo si Disa udah sok imut. Pengen ketawa deh.
***

“OPER, OPER…”
Begitu kalimat yang di teriakan sang pelatih. Nggak tau namanya siapa. Kayaknya sih orang daerah gitu. Kalau dengar dari logatnya sih pematang siantar banget. Belom lagi kulitnya hitam legam.
“INGET TAK TIK. TAK TIK!!!” kata Pak pelatih sambil meneriakan. Seinget gue sih tak tik nya tendang, tendang, oper, tendang, kecoh, tendang, goal!!! Aneh banget sih tak tik nya.
Eh, tunggu. Bolanya ke gue. Duh, di tendang ke gawang atau di oper yah? Secara gitu, gue sama gawang lumayan deket. Cuma ada banyak pemain lawan yang jaga di deket gawang. Di oper aja kali yah. Eh, bolanya dateng. Bolanya dateng. Dan ternyata bukan hanya bolanya aja yang dateng. Pemain yang lainnya juga ngejar itu bola.
“BRAAKKK…”
Anjrit. Baru aja mau nendang kaki gue udah di tendang duluan. Duh, sakit banget nih kaki gue. Jangan-jangan tulang nya retak lagi. Jangan-jangan kaki gue patah. Jangan-jangan gue udah ke surga lagi. Jangan-jangan…
“PRIITTT!!!”
Si pelatih bola yang orang pematang siantar itu meniupkan peluit dengan kencangnya. Sama seperti matahari yang juga sedang semangat-semangatnya membakar anak bola. Di lapangan sekolah yang gede bin luas itu.
Seseorang menghampiri gue. Mukanya tidak begitu terlihat karena silaunya terik matahari. Yang jelas orangnya cowok. Dengan suara berat dan tubuh yang dibanjiri keringat. Tampaknya sih dia takut banget terjadi apa-apa sama gue. Tampaknya juga dia yang nendang kaki gue. Si cowok ini langsung memberi kode sama pelatihnya. Gue kira gue nggak kenapa-napa.

OH NO!!! Ternyata sepatu bola yang nendang kaki gue itu berpaku-paku. Jadi nggak salah, kaki gue langsung luka dan berdarah. So cowok itu langsung membawa gue ke UKS sekolah yang jauhnya naujubilah bin djalik.
Dengan kaki penuh darah dan dipapah seorang cowok, semua terpaku ngeliatin gue. Nggak tau persepsinya apa. Si Disa sih udah pulang duluan. Jadi tinggal gue yang nggak tau nasibnya pulang sama siapa.
“DAMAR???”
“Iya, ini gue. Sorry yah, Tadi gue pikir elo nggak bakalan nendang. Eh, nggak taunya gue nendang kaki lo. Terus sepatu bola gue ada paku-pakunya biar nggak licin. Eh, malah bikin kaki lo luka. Mmm, sorry banget yah.”
“Harusnya gue lagi yang minta maaf. Gara-gara gue, ekskul pertama kali elo jadi nggak ikut. Lo balik aja ke lapangan. Nanti lukanya gue obatin sendiri.”
“Beneran nih nggak kenapa-napa?”
“Nggak. Udah sana , main aja lagi.”
Si Damar itu langsung cabut lagi ke lapangan. Well, kaki gue cuma berdarah aja kok. Nggak sampai patah tulang seperti yang gue perkirakan. UKS ini cukup luas. Ada berbagai macam obat. Namun sayang, disini nggak ada petugasnya. Denger-denger sih lagi nggak masuk. Dan sialnya, gue nggak menemukan sebotolpun obat merah.
Perlahan, gue mulai turun dari ranjang tempat gue tidur. Sambil sesekali berpegangan pada tembok ataupun lemari. Namun emang dasar sial tak dapat ditolak, gue pun kembali jatuh tersungkur. Posisinya kaki kiri gue yang udah berdarah itu keseleo pula. Mau berdiripun susah, handphone gue pun ada di tas. Dan tas gue ada di loker. Dan lokernya itu dekat lapangan. Ya udah deh, nunggu ada orang yang ngebuka ruang UKS aja. Ngantuk pula. Udah deh, tidur aja.
Dua jam berlalu. Setelah ekskul bola selesai. Nggak tau si Atal udah sampai mana mimpinya. Damar membuka pintu UKS dan melihat Atal terkapar di lantai dengan posisi duduk. Damar mebangunkan Atal perlahan. Sekali, dua kali, tiga kali, Atal nggak bangun-bangun. Damar mulai stres. Lalu Damar mengangkat Atal ke atas ranjang UKS. Atal masih tertidur. Damar duduk di sebelahnya dan perlahan mulai tertidur disamping Atal.
“Mar, Damar bangun.”
“…”
“Damar…”
Perlahan, Damar terbangun. Mengucek-ngucek matanya dan melihat Atal.
“Tal, lo nggak kenapa-napa?”
“Gue nggak kenapa-napa.”
Atal menegok jam warna kuning ngenjrengnya itu. Jam 6 sore.
“Damar, kayaknya gue harus pulang deh. Gue balik dulu yah.”
“Gue anterin yah. Udah mulai gelap. Nanti elo kenapa-napa lagi.”
“Oh, nggak usah Damar. Gue…”
“Yo, gue anterin pulang.”
***

Damar gentle juga. Setelah dia nendang kaki gue, dia nganterin gue pulang sampai rumah, dia yang ngomong sama nyokap gue, dia juga care banget sama gue. Rasa bersalahnya udah segede gunung kali. Dan sekarang, dia lagi dikhotbahin sama nyokap gue di bawah.
“Disa, kaki kiri gue luka. Tadi ketendang pas main bola…”
“APA? DI TENDANG SAMA SIAPA? BIAR GUE TENDANG BALES ITU ORANG!!!” gile, anak manis tapi kalau udah marah preman juga nih!
“Dis, sabar dikit dong. Dengerin gue dulu. Orang yang nendang gue itu…”
“Siapa?”
“Itu…”
“Atal, cepetan dong.”
“DAMAR.”
“Damar yang ganteng?”
“Iya.”
“Damar yang striker?”
“Iya.”
“Duh, nggak jadi deh Tal. Gue nggak berani nendang bales dia. Yang ada dijadiin bola gue.”
“Disa, gue tau lo pasti bisa Dis. Lo itu udah berapa kali nendang dan gol.”
“…”
“Tapi gol bunuh diri.”
“Sialan lo!”
“Udah deh Dis, gue dipanggil Nyokap. Dadah…”
“Bye!”
Damar dan nyokap gue membuka pintu kamar gue. Datang dan duduk di samping gue. Muka-mukanya si Damar sih udah tampang-tampang takjub sama nyokap gue. Dan nyokap gue, mukanya super merah gara-gara khawatir. Mengingat gue anak tunggal cuma satu.
“Atal, mama udah tau kaki kamu itu kenapa. Damar sudah cerita.” Dasar cowok tukang ngaduu…
“…”
“Berapa kali kamu mama bilang nggak boleh main bola?” tau ah! Nggak ngitung.
“…”
“Main bola boleh. Tapi tanggung jawab. Kalo udah kayak gini mau gimana?” yah gimana? Mana gue tau Damar bakal nendang gue?
“…”
“Ayo sekarang kamu sama Damar ikut mama check kaki kamu itu ke dokter.” Terus aja ngoceh. Bawel lu nenek lampir!
***

Dua jam sudah gue diperiksa sama dokter andalan nyokap gue itu. Dokter itu denger-denger sih baru jadi dokter dan buka praktek sendiri setelah 40 tahun duduk dibangku kuliah. Serem juga sih dengernya. Setelah nyokap dan Damar ngobrol sama si dokter tua nan muter-muter ngomongnya itu, Atal diperbolehkan juga pulang dengan kaki yang di gips.
“Mar, gue kenapa?”
“Kaki lo ada tulang yang kegeser. Jadi untuk sementara kaki lo bakalan sakit banget di tungkainya. Dan kaki lo harus di gips dulu.”
“Lama?”
“Minggu depan mungkin.” Minggu depan?? Lama banget!
“Sorry banget yah gue ngerepotin.”
“Harusnya gue lagi yang minta maaf. Gara-gara gue, duit jajan lo jadi buat bayar dokter sama gips gue ini.”
“Nggak pa pa.”
“Lo pulang aja Mar, gue bisa pulang sama Nyokap.”
“Enggak. Gue anterin elo balik aja.”
“Damar, nggak usah.”
“Yaudah, gue pulang dulu. Besok pagi gue jemput yah.”
“Nggak us…”
“Good night. Take care yah.”
***


Selasa pagi. Masih seperti biasanya udara pagi yang segar. Dan suara kicau burung serta kokokkan ayam yang sama. Hanya satu yang berbeda pagi ini, kaki gue dibalut gips berwarna putih dan gue resmi jalan memakai tongkat. Pagi-pagi gue udah mandi dibantuin sama nyokap. Dan turun tangga dibantuin sama bokap. Dan tas gue dibawain sama Bi Sumi. Pokoknya serumah repot deh ngebantuin gue.

“Pagi Om , Tante…”
“DAMAR???” Atal tersentak kaget.
“Pagi Atal…”
“Loh, Damar ngapain pagi-pagi kesini?”
“Mau jemput elo Tal.”
“Jemput gue?” anjrit! Itu cowok beneran jemput gue?!
“Iya Atal. Papa dengar kaki kamu digips karena ditendang sama Damar. Jadi biarlah si Damar itu tanggung jawab.”
Emang nih kayaknya Bokap Nyokap gue udah pada kompakan banget buat nyalahin si Damar. Kalo dipikir-pikir emang salah dia juga sih. Cuma kasihan banget kalau dia harus bangun pagi-pagi buat nganter gue ke sekolah.
“Papa, mama. Atal jalan dulu ya.”
Hebat banget tuh si Damar bisa dipercaya sama Bokap nyokap buat tanggung jawab atas tendangan mautnya itu. Mukanya si Damar sih emang nggak ada tampang macam-macam. Ganteng dan cukup memukau. Jauh banget deh dari tampang negative.
“Ayo Atal turun. Mau gue bantuin?”
“Oh, nggak usah. Gue bisa turun sendiri kok.”
Anjrit. Entah kenapa hari ini bawaan gue makin banyak aja. Ada tongkat buat gue jalan, tas sekolah gue yang nggak kalah berat, biola buat ambil nilai nanti, dan ada satu dus besar yang isinya 30 potong baju yang dipesan sama anak OSIS. Nggak tau deh apa gue bisa ngebawa semua itu.
“Tal, lo bisa jalan sendiri kan ? Abis bawaan lo banyak banget, jadi semuanya harus gue yang bawa.”
“Oh, gue bisa jalan sendiri kok. Makasih ya udah ngebawain bawaan gue yang banyak itu.”
Damar emang tanggung jawab banget. Dia ngebawain semua barang bawaan gue yan naujubilah bin djalik banyak dan beratnya. Dan puaslah anak-anak yang lagi nongkrong di koridor ngeliatin Damar jadi babu gue. Si Damar sih emang dasar muka tembok dikasih semen. Tetep fokus sama barang gue yang banyak dan berat itu.
“Oh iya Tal, gue duduk disebelah elo ya. Disa bisa ngerti kan ? Jadi nanti kalo elo susah berdiri, gue bisa bantuin elo.”
“Loh, elo kan anak kelas sebelah. Mana boleh?”
“Nanti gue yang ngomong sama wali kelas lo juga wali kelas gue. Kalo perlu ntar gue minta ijin sama kepsek.”
Gue nggak tau mau ngomong apa deh. Si Damar ini ternyata bukan cuma nganterin gue ke sekolah aja, tapi sampai sekolah dia masih ngebawain tas gue, duduk disebelah gue, nganterin gue sampai ke depan toilet, dan bahkan ngebeliin makanan pas istirahat. Nggak tau deh temen-temen mau mikir apa tentang gue dan Damar.
Akhirnya, Damar pun sukses duduk disebelah gue entah sampai kapan gips sialan ini bisa dicopot. Sekelas pun sibuk bertanya-tanya sama gue ada apa gerangan si Damar bisa nyasar ke kelas gue. Dan parahnya saat guru mata pelajaran satu persatu sibuk menanyakan hal yang sama. Berasa seleb gue.
“Iya Tal, si Pak Kepsek itu ngedukung banget. Awalnya emang gue sempet dibacotin dikit, katanya mata gue ditaro dimana sampe nggak ngeliat kaki lo, tapi yah Tal, pas gue bilang gue mau tanggung jawab, itu bapak kepsek langsung tersenyum bangga dan ngedukung gue banget.”
Bahkan pas jam pelajaran kimia di lab, Damar masih dengan setianya ngambilin berbagai macam zat kimia yang harus dicampur dan letak antar botol lumayan jauh. Padahal Damar bukan kelompok gue. Si Damar sampai kena marah sama kelompoknya.
“Tal, nih nasi pakai bistik ayam sama bumbu garing.”
“Pakai sambel nggak?”
“Nggak. Lo nggak suka pakai sambel kan ?”
“Iya. Damar tau aja.”
Yang paling bikin lucu pas gue mau ke toilet waktu jam pelajaran Opa. Si Damar sampai kena marah dan diketawain sekelas.
“Pak, saya mau nganterin Atal ke toilet.”
“APA? MAU BELI COKELAT?”
“Mau nganterin Atal ke toilet.”
“Oh, yasudah. Lima menit.”
“Makaih Pak.”
“Ya, anak-anak. Jadi setelah masa perang, kita…”
“…”
“DAMAR, NGAPAIN KAMU NGANTERIN ATAL? MAU NGINTIP YA?”
Langkah Damar dan gue berhenti tepat sebelum gue membuka pintu.
“Saya mau nganterin Atal ke toilet Pak.”
“Ya, saya dengar. Tapi ngapain kamu nganterin Atal ke toilet? Mau ngintip?”
“Saya harus nganterin Atal Pak.”
“Bilang aja lo mau ngintip Mar…,” sahut Gerry dari belakang.
“Hahahahahahah…,” dan disambut dengan gelak tawa anak sekelas.
“YA UDAH, KE TOILET SANA. JANGAN NGAPA-NGAPAIN YA!!! LIMA MENIT!!!”
****

Beberapa hari ini udah cukup gue ditertawain sama anak-anak sekelas dan juga guru. Nggak jarang pas Damar lagi ngebantuin jalan dengan membawa tas gue, anak-anak pada nyahutin atau pada bengong bin heran gitu. Dan khususnya untuk para penghuni cewek sekolah gue, mereka semua pada bengong total ngeliat gue bareng Damar.
Nggak heran sih kalo gue sama Damar disangka pacaran. Hampir 12 jam si Damar nempel terus sama gue. Dari nggak gitu akrab sampai jadi akrab karena dia deket gue terus. Pergi ke sekolah dianterin, tas dibawain, ke toilet ditemenin sampe depan toilet, mau makan dibeliin, mau ke lab ditemenin, mau pulang ke rumah di anterin.
“Mar, besok gue mau nyopotin gips gue di dokter. Elo mau ikut?”
“Besok ya, gue belom tau Tal. Kayaknya gue ada janji sama anak bola pada mau main futsal. Elo bisa ke dokter sendiri nggak? Kalo nggak ada yang nganter gue anterin deh.”
“Nyokap ikut kok. Dia mau bayar uang sisa sama dokternya.”
“Kalo nyokap lo minta gue ikut, gue bisa kok. Elo tinggal nelpon gue aja.”
“Iya Damar.”
“Oh iya Tal, lo punya cowok nggak?”
“Mmm, nggak. Elo?”
“Juga enggak.”
“Emang kenapa?”
“Gue takut aja ada yang marah karena gue ada di deket elo terus.”
“Mar, gue mau nanya. Apa elo bakal baik sama gue cuma karena kaki gue yang tulangnya ngegeser itu aja?”
“Nggak lah Tal. Kalo elo minta gue jemput elo tiap hari walaupun kaki lo udah sembuh juga boleh-boleh aja.”
“Alahh. Mulai deh lo.”
***

Ooh Tuhan. Terima kasih. Akhirnya lepas juga ini gips menyebalkan dan tongkat nyebelin. Parah, seminggu penuh kesengsaraan. Dan seminggu pula gue 12 jam bersama Damar. Duh, jadi pengen pakai gips lagi.
“Halo, Atal?”
“Iya Mar.”
“Jalan yo! Gue mau ngajak elo makan.”
“Kapan?”
“Sekarang. Bentar lagi gue udah mau nyampe rumah lo kok.”
“Iya deh Mar. Kalau udah nyampe masuk aja dulu.”
Damar ngajak makan. Asikk… mumpung kaki gue udah lepas gipsnya. Mau sekalian nyoba kaki ‘baru’ ah. Enaknya gue pakai baju apa yah?
***

“Atal cantik loh,” puji Damar.
“Damar juga ganteng. Hahahahaha…”
Damar sih emang ganteng juga. Dengan jeans belel dan kaos warna pink. Rambutnya dipakai gel basah yang bikin rambutnya jabrik. Dan masih wangi Emporio Armani.
Dan untungnya gue nggak saltum. Dengan cardigan merah gonjreng dan kaos kuning cerah bergambar elmo dan skinny jeans warna merah serta flatshoes warna kuning. Dan Damar terus bilang gue lucu.
“Atal lucu yah.”
“Damar, udah deh. Elo udah bilang gue lucu berapa puluh kali?”
“Abis Atal emang lucu sih. Gemes deh gue ngelihatnya.”
“Damar masih mau bawain tas gue besok pagi?”
“Boleh.”
“Damar masih mau nemenin gue ke toilet lagi?”
“Nggak ah! Ntar disangka mau ngintip elo lagi.”
“Hahahahahaha…,” Atal tertawa sesaat. Kemudian hening.
“Gue juga mau kok terus ada disamping elo. Kalo elonya mau.”
“Kalo gue mau?”
“Yah kita jadian sekarang.”
“…”
“Atal, gue suka sama elo. Atal mau nggak jadi cewek gue?”
“Hah?!”
“Mau nggak Tal?”
“Kasih gue waktu ya. Kita baru kenal Damar. Gue nggak mau salah milih.”
“Iya Atal. Makan aja es krimnya dulu. Nggak usah dibawa serius Tal. Akan gue tunggu kok jawaban dari elo.”
Malam ini beneran malam paling indah buat gue. Ditembak seorang cowok ganteng, baik, dan pintar pula. Pengennya sih tersenyum manis sambil jawab iya Damar, gue mau jadi cewek lo. Tapi apa daya, hati belum siap. Tapi mulut udah siap. Biarin deh, jadiannya ditunda sampai besok aja.
***

“DAMAR NEMBAK ELO?”
“Ssstt. Suara lo tuh kecilin dikit dong. Nanti kalau sekelas pada tau gimana? Malu gue!”
“Justru gue mau sekelas tau. Bangga dong punya cowok striker andalan sekolah.”
“Tapi kan gue belom jadian?”
“Makanya, nggak usah sok jual mahal deh Tal. Terima aja.”
“Maunya juga bilang iya. Cuma kok kayaknya gue masih belom yakin yah Dis?”
“Udah, dari pertama juga gue udah tau kalau elo berdua udah jodoh. Kurang puas lo Tal ngeliat si Damar disangka guru mau ngintipin elo dan disangka satu sekolah pacaran sama elo. Masih belom cukup apa yang selama ini elo liat?”
“Cukup yah Dis?”
“O ya jelas. Cukup banget. Lebih malah iya.”
“So, gue harus gimana?”
“Samperin Damar. Bilang Damar, gue mau jadi cewek lo.”
“Udah?”
“Udah Tal. Singkat padat dan jelas aja. Abis itu jangan lupa senyum.”
“Iya Dis.”
“Nangkep?”
“Iya.”
“Ngerti?”
“SIALAN LO! LO KIRA GUE BOLOT APA???”
***

Gue rasa udah cukup penyuluhan tentang Damar dari Disa pas pelajaran Bu Emma. Nggak tau deh si Emma Watson sang guru BI yang matanya belo banget ngeliat apa enggak. Untungnya, selama Disa berceramah, si Emma Watson lagi periksa tugas jadi sekelas yah pada ribut.
Damar juga dari pagi sikapnya masih seperti kemarin-kemarin. Pagi-pagi masih jemput gue dan selalu ada di samping gue pas gue mau ke kantin atau ke perpustakaan. Cuma mungkin sekarang dia ngga berani nemenin gue ke toilet lagi. Sikapnya itu seperti kemarin malam dia nggak ngomong apa-apa tentang perasaannya ke gue.
“Damar,”
Duh, ngomong dimana nih? Jam pulang sekolah anak-anak udah pada nongkrong di kantin, di perpustakaan nggak boleh berisik, di koridor takut ketahuan guru, kelas di kunci, dimana nih? Nggak lucu dong gue jadian sama dia di depan toilet?
“Lagi sibuk nggak?”
“Nggak sih. Emang kenapa?”
“ Ada yang mau gue omongin.”
“Nggak bisa di sekolah aja?”
“Nggak bisa Mar. Di mobil lo aja boleh?”
“Ya udah. Sekalian elo gue anter pulang.”
Copot deh jantung gue kalau deg-degan kayak gini terus. 16 tahun gue muncul di dunia dan baru sekali ini gue menerima seorang cowok. Dengan kata lain gue belom pernah pacaran. Cupu emang. Tapi justru gue pengen prinsip gue berjalan dengan baik.
“Mar, lo masih ingat apa yang kemarin lo omongin?”
“Inget. Ngomong-ngomong, yang bagian mananya yah?”
“Malam disaat lo bilang gue lucu.”
“Mmm, iya. Gue inget. Kenapa?”
“Kalo gue jawab iya?”
“Yah gue bakalan seneng banget.”
“Kalo enggak?”
“Kaki lo bakalan gue buat digips lagi loh.”
“Iya.”
“Apanya? Kaki lo mau gue gips lagi?”
“Damar, gue mau jadi cewek lo.”
“Beneran?”
Atal mengangguk. Mau banget gue Damar!!!
“Suer?”
Mengangguk lagi.
“Nggak bohong lo?”
“Nggak jadi nih!”
“Eh, jangan jangan.”
“…”
“Makasih yah Tal. Makasih banget…”
“Sama-sama Damar yang baik…”
Well, setelah gue nerima Damar. Malamnya dia langsung ngasih surprise first date gitu buat gue. Weekday juga nggak masalah deh. Cuma makan malam biasa sih, makannya juga di café yang ada live music nya. Tapi, yang nggak tahan tuh cara dia perhatiin gue, bikin gue ketawa, dan cara dia sayang sama gue. Aduh, falling in love lagi deh.
***

“Tal, mama sama papa bisa ngomong sebentar?”
Ruang keluarga perlahan jadi hening. Di rumah yang sedemikian luas hanya ada gue, nyokap bokap gue, dan pembokat gue tercinta. Gue itu anak tunggal hasil perkawinan silang antara orang Jawa (nyokap gue) dan orang Jakarta yang ada turunan Belanda (bokap gue).
“Papa diminta ngontrol perusahaan di luar negri…”
“Iya, terus…”
“Papa harus tinggal di Perth untuk beberapa tahun. Ada kebocoran uang di perusahaan cabang disana. Mama mau ikut Papa tinggal di sana . Atal mau ikut?”
“Pindah? Ke Perth?”
“Iya. Papa harus nyari sumber kebocoran itu. Jadi nggak bisa sebulan atau dua bulan. Dan disana papa di kasih tinggal di rumah dinas. Cukup besar kok. Si Bibi juga kalau mau diajak bisa-bisa aja. Sekolah kamu juga bayarnya ditanggung sama perusahaan.”
“Atal nggak mau pindah Pa. Dua tahun lagi Atal pasti ngelanjutin kuliah disana. Tapi nggak sekarang pindahnya Pa. Papa bisa ngerti kan ?”
“Papa terserah kamu aja. Papa Mama sih percaya aja sama kamu. Tapi kamu bisa tinggal tanpa Papa Mama?”
“Atal bisa Pa. Atal juga udah gede.”
“…”
“Papa Mama lusa pagi berangkat. Kita berdua percaya sama Atal buat jaga diri sendiri. Kita juga percaya Atal bisa ngurusin keperluan Atal sendiri. Nanti uangnya Papa transfer ke rekening Atal. Kalau kurang telpon aja.”
***

“Oom sama Tante percaya sama kamu. Tolong jaga Atal di Jakarta yah. Oom kasih kepercayaan Oom sama kamu. Kamu jaga baik-baik. Oom nggak mau Atal kenapa-napa di Jakarta. Damar ngerti kan ?”
“Iya Oom. Akan selalu saya ingat Oom. Sampai Oom pulang nanti, tak ada satu bagianpun dari Atal yang akan lecet. Paling kaki Atal digips lagi.”
“Eeh, nggak boleh itu. Enak aja, nggak boleh. Awas aja kalau kamu bikin anak Tante kakinya di gips lagi.”
“Becanda Tante. Iya, nanti Atalnya Damar jagain kok.”
“Atal nurut-nurut yah sama Damar. Nanti kalo Damar macem-macem langsung telpon Mama aja.”
Bokap Nyokap udah cabut ke Perth . Denger-denger sih disana bokap gue dapat tempat tinggal dinas yang di dekat Perth city. Dapat mobil dinas pula. Tinggal gue sendiri di Jakarta . Paling di rumah hanya bareng Bibi. Kemana-mana bareng Damar atau Disa. Sedih juga sih di tinggal pergi ke Perth , mengingat gue masih suka pergi bareng-bareng bokap nyokap.
“Yah, Atal sendiri deh,” goda Damar.
“ Kan ada Damar yang nemenin Atal…,” balas Atal.
***

“Atalya tolong pindah ke sebelah Harold.”
MAMPUS. Gila, gw duduk bersama si anak nyolot bin nyebelin itu? Yah, nasib nasib. Hari ini awal bulan, biasanya kalau tiap awal bulan anak-anak selalu dipindah tempat duduknya. Damarpun udah balik ke habitatnya. Dan oh tidak, Tuhan ampunilah segala dosa-dosa saya. Gue duduk bersama Harold. Mau jadi apa gue?
“Silahkan bersama teman sebangku kalian membuat satu hasil karya bisa berupa puisi, cerita, gambar, poster, atau apa saja yang berhubungan dengan pengalaman tentang lingkungan yang pernah kalian temui. Minggu depan dikumpulkan.”
Yang lagi ngomong ini Pak Juki, guru geografi kita. Biasanya sih guru ini nggak pernah ngasih soal teori yang hafalan. Paling doyan deh bikin kita pusing sama tugas-tugas prakteknya dia. Salah satunya tugas ini. Gue harus kerja sama dengan Harold. Oh tidak!!!
“Rold, mau bikin karya apaan?”
“Terserah elo deh. Gue tinggal bikin aja.”
“Mau berupa foto aja nggak? Jadi kita ke daerah kumuh dan tinggal foto aja. Gampang. Paling duit nyetaknya patungan gitu.”
“Boleh tuh ide lo. Rencananya mau bikin kapan?”
“Kalau elo bisa sih besok juga boleh.”
“Besok? Weekend?”
“Iya. Abis minggunya gue udah ada janji. Lo bisa kan ?”
“Err, ya udah deh. Bisa bisa aja. Elo mau foto daerah mana? Nanti biar gue yang nganterin.”
“ Bogor ?”
“Duh, gue nggak gitu tau daerah sana .”
“Lo nggak tau? Ya gampang lah, tinggal bawa peta Jakarta .”
“Besok pagi yah Rold, kita ketemuan di depan pintu sekolah aja yah.”
“Ya boleh juga deh. Eh, Tal lo udah ditungguin si Damar tuh. Gue cabut dulu yah.”
“Oh iya Rold, sampai ketemu besok yah.”
Harold berlari keluar kelas. Si Damar dari tadi ngliatin gue sama Harold udah tatapan cemburu gitu.
“Kamu ngapain sama Harold?”
“Aku dipindahin duduknya jadi disebelahnya Harold. Terus dapat tugas sama Harold. Jadi tadi aku ngebicarain tugasnya dulu sama Harold. Damar cemburu?”
“Enggak lah.”
“Jangan bohong… Lobang idung kamu tuh gede sebelah tau!”
“Ah Atal. Udah ah, aku anterin pulang yo!”
***

Sabtu pagi. Sunyi dan sepi. Kalau minggu kemarin masih ada Papa Mama, sekarang gue cuma dirumah bersama Bibi Sumi tercinta. Bangun pagi, lalu treadmill sebentar, mandi, makan, dan santai-santai. Makanpun gue sendiri di meja makan panjang berkapasitas 10 orang.
“Bi, gue mau cabut bentar yah. Mau bikin tugas. Bibi jaga rumah ya.”
“Iya, Non. Itu mobilnya udah dilap sama Bang Ujang. Mau dianterin nggak? Ibu bilang Non nggak boleh nyetir sendiri.”
“Gue cuma mau ke sekolah doang. Janjian sama temen Bi. Nanti pulangnya dianterin.”
“Bang Ujang yang nganterin sampe sekolah deh…”
“Yaudah deh Bi. Siapin aja mobilnya.”
“Oke Bos!”
Perlu diketahui. Mungkin gue emang agak nggak sopan sama Bibi gue tercinta ini. Bibi gue ini udah akrab sama gue dari gue masih bayi. Dari anaknya dia udah mau kawin sampai sekarang udah punya cicit tiga biji. Walau udah tua, Bibi gue ini tetep cinta mati sama lagunya Tompi dan cinta mati sama mantan cowoknya Jesse McCartney. Dasar!
Sekolah gue hari sabtu gini masih ramai. Biasanya ada yang ekskul. Di lapangan utama terlihat anak-anak paskibra lagi berusaha nyopotin bendera yang diikat mati. Dekat laboraturium ada ekskul pramuka yang lagi berusaha memakai kompas super kecil. Ada anak futsal yang lagi lari-lari ngejar bola –ya iyalah, masa ngejar sandal-. Dan diantara anak-anak futsal yang lagi ngejar bola, samar-samar terlihat Harold.
“Rold,”
Masih nggak nengok.
“Harold!”
Masih tetep nggak nengok.
“Ha…”
“Bentar Tal, bentar lagi mau penalti. Tunggu bentar aja.”
Bagus. Nunggu lagi gue. Emang gue babu nya apa disuru nunggu. Awas aja lo kalo udah gue tungguin tapi penaltinya nggak gol.
“Halo, Atal? Kamu lagi dimana?”
“Aku lagi di sekolah Mar. Lagi mau jalan sama Harold. Cuma nungguin dia bentar lagi maen futsal. Bentar lagi juga jalan kok Mar. Kamu dimana?”
“Aku lagi di jalan. Tadinya mau ke rumah kamu. Cuma karena kamu lagi pergi, aku pulang aja deh.”
“Damar nggak apa apa kan ? Kalo laper makan aja dulu di rumah aku. Tadi si mbok bikin opor ayam. Enak loh Mar.”
“Enggak deh. Aku pulang aja. Kamu nanti jangan pulang malem-malem yah.”
“Iya Damaar.”
***

Dasar emang anak Jakarta . Dari Kemang ke Bogor aja nyasarnya sampai 4 jam. Udah bawa peta aja bisa nyasar, kalau nggak bawa peta bisa-bisa nyasar sampai Bandung lagi.
“Rold, fotonya udah semua. Tadi beberapa anak-anak SD situ udah beberapa gue foto. Jadi model dadakan gitu. Abis ini lo mau kemana?”
“Itu fotonya mau dicetak dulu nggak? Nanti di jalan gue cariin tempat cuci foto.”
“Boleh juga deh. Abis itu langsung balik aja yah. Udah sore juga kan sekarang.”
“Yaudah deh. Yo, cabut yo!”
Si Harold ini overall baik kok. Buktinya dari tadi dia bantuin gue cari angle yang pas supaya hasinya bagus. Kamera yang dia bawa juga bener-bener kamera fotografer. Jadi bisa dipastikan hasilnya bagus. Jadi nggak sabar nunggu di cetak.
Waktu hampir mau masuk pintu tol, Harold menemukan tukang cuci foto di pinggir jalan dengan cara tradisional. Kebetulan kamera Harold masih menggunakan rol film.
“Tal, ada tukang kue putu lewat. Lo mau nggak?”
“Boleh. Boleh. Kebetulan gue lagi kedinginan juga.”
Bogor habis diguyur hujan. Untung aja pas pengambilan foto, udah agak mendung gitu. Jadinya bagus deh. Dan sekarang tinggal gue yang kedinginan lantaran hanya memakai kaos bali super tipis, cardigan dan celana selutut. Si Harold mah enak di mobilnya udah kayak di rumah. Dari parfum sampai baju bekas numpuk semua di mobilnya. Tak heran terkadang bisa menemukan ‘barang ajaib’.
“Nih kue putunya. Ini jaket gue. Pake aja. Kesian lo dari tadi gue liatin udah mau beku jadi es batu. Fotonya bentar lagi juga selesai kok. Kalau mau masuk mobil masuk aja dulu.”
Harold ternyata memang nggak seburuk yang gue pikirkan. Tapi tetep aja masih lebih baik Damar.
***

“Atal gue mau turun sebentar yah. Lo tunggu aja di mobil. Bentar doang kok!”
Mobil Ford berhenti di depan sebuah kafe. Seperti sebuah pub sih. Agak gelap dan banyak orang berpakaian setengah hati yang masuk ke dalam situ. Entah mau ngapain si Harold masuk ke dalam situ.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam karena malam itu Bogor habis diguyur hujan dan macet nggak karuan. Untung sebelumnya sudah ngisi perut pake kue putu. Dari kejauhan, sudah terlihat Harold membawa dua botol minuman warna biru. Sambil merokok. Lho?!
Lalu Atal turun menghampiri Harold. Dan langsung membuang rokoknya ke tanah dan menginjak injak. Dan dirogohnya kantong belakang jeans belel Harold. Ditemukannya satu pak rokok merek Marlboro yang baunya bikin sesak napas dan juga dibuangnya ke tanah dan diinjak-injak.
“Gue nggak suka nyium bau rokok. Apalagi Marlboro. Baunya bikin gue sesak napas tau?! Ini botol apa lagi?” diambilnya dua botol minuman bertuliskan Black Label. Dibantingnya ke tanah dan isinya berhamburan kemana-mana. “Lo nggak perlu nganter gue pulang!” bentaknya sadis. Lalu pergi meninggalkan Harold.
“Lo apa apaan sih? Gue pantang ninggalin cewek di tengah jalan kayak gini!”
“Lo tuh yang gila. Baru SMA aja udah minum, ngerokok lagi! Denger yah, gue nggak suka bau rokok kayak gitu. Dan gue nggak mau mati di jalan gara-gara elo mabok tau!”
“Oke, oke. Ngomong pelan-pelan. Elo tetep gue anterin pulang.”
“Nggak, gue nggak mau pulang bareng elo! Gue bisa pulang sendiri!” kata Atal sambil berjalan meninggalkan Harold.
“Yakin? Lo tau daerah sini?”
Langkah Atal terhenti. Menyadari kalo sebenernya dia nggak tau dimana kini berada. Sudah masuk Jakarta . Cuma pinggirannya dan sama sekali Atal nggak tau ini dimana.
“Yaudah gue mau dianterin elo!”
Atal kembali menaiki mobil Harold. Ditinggalkannya botol berisi air warna biru itu dan rokok yang telah diinjak-injak. Mobilnya melaju kencang. Sejak ia naik setelah adu mulut tadi suasana jadi tegang. Nggak ada yang berani buka mulut. Sampai akhirnya Atal memecah keheningan.
“Lo ngerokok sejak kapan?”
Diam sebentar. Lalu sejenak dia berpikir.
“Kalau gue nggak salah dari SMP 1 deh.”
“Diajak siapa?”
“Ngeliat Bokap.”
“Kalau minum?”
“Baru-baru ini.”
“Diajak siapa?”
“Ngeliat Nyokap.”
“Loh, Nyokap lo peminum?”
“Udah lama dari sejak kakak gue gila karena nggak diterima jadi pilot sebelum akhirnya mati.”
“Ups, maaf. Tapi boleh nggak lo cerita sama gue tentang kakak dan kedua ortu lo?”
“Gue nggak mau ngungkit-ngungkit itu lagi.
“Kalau nggak mau nggak pa pa. Tadi gue pikir mungkin gue bisa bantu.”
“Hmpph.”
“…”
“Gue dua bersaudara. Kakak gue laki-laki yang tangguh. Pinter lagi. Namanya Hansel. Bokap bangga banget sama dia. Nyokap juga sama. Gue nggak pernah jadi nomor satu. Gara-gara dia selalu ngehalangin gue jadi nomor satu. Pas dia lulus dan mau jadi Pilot, tiba-tiba aja dia ditolak karena setelah ngejalanin tes jadi pilot, dia gagal. Matanya minus dan silinder. Dan ia mulai gila karena obsesi nya nggak tercapai. Dan saat itu gue seneng banget karena bisa nunjukin sama ortu gue kalo gue bisa lebih dari dia. Akhirnya dia mati. Dan sejak itu gue selalu terbawa bayang-bayang Hansel.”
“Terus apa hubungannya sama ortu elo dan elo jadi ngerokok?”
Harold tiba-tiba memberhentikan mobilnya di dekat kedai wedang jahe. Kemudian dia mengajak Atal turun dan memesan 2 wedang jahe dan roti bakar.
“Gue kira gue bakal jadi nomor satu dan hidup gue tenang dari dia. Ternyata enggak. Ortu gue jadi saling menyalahkan. Mereka bertengkar hebat tapi nggak cerai-cerai. Nyokap jadi peminum dan penjudi. Bokap main cewek dan ngerokok. Dan gue? Seperti inilah sekarang. Mengikuti jejak ortu gue karena gue takut terbayang bayang Hansel. Untuk ngelupain itu semua, gue mencoba buat rileks dengan cara itu. Cara yang diajarin Bokap Nyokap gue!”
“Elo mau gue bantu?”
“Bantu apa?”
“Ngebantuin hidup lo! Agar lo lepas dari semua ini! Lo mau sepanjang hidup lo hidup di belakang bayang-bayang Hansel? Kalo elo mau juga terserah elo.”
Harold diam tak bersuara. Gelas wedang jahenya sudah habis diminum. Udara semakin dingin malam itu. Padahal sudah sampai di pinggiran kota Jakarta . Sejak ditanya soal yang tadi, Harold diam tak bersuara sepanjang perjalanan. Mungkin gue mengingatkan dia pada Hansel, sosok yang selalu ada di bayang-bayangnya.
novel by: Jeannie Octaviani
blog : www. laffindawurld.blogspot.com

2 comments:

  1. gimana lanjutannya?
    pasti pacaran sama si cowo baru ya?
    hehehehehe

    ReplyDelete
  2. lanjutaannyaa adalaaahhh.. si ataal jadiaan sama Damaar. tp nggak lama gara2x ad si harold nyebeliin itu. gr2x atal cm mau bntu Harold, damar jd cembontaank deh :) kra2x gmnaa yaa, si atal malah jadian sama Harold ato tetep sama damar?? bikin pnasaraan aah!!

    ReplyDelete