Oct 15, 2009

Pindah Alamat

Teman,

KandanGagas pindah alamat ke:



Jadi, blog ini kami non-aktifkan. Karya-karya kalian di bulan Oktober dapat kalian lihat di alamat baru tersebut.

Terima kasih dan salam,
GagasMedia

Read More ..

Oct 12, 2009

Ayah Pergi di Tengah Hujan (2)

Malam ini seperti malam kemarin lagi. Ada angin ribut menyambangi rumah kami yang reyot di bantaran kali ini. Sehingga setiap kali aku tidur, suara teriakan dan sumpah serapah itu merasuk ke dalam alam mimpi, membuatku tak bisa lelap tertidur sampai pagi esok hari. Seperti tak ada guna aku berdoa, kalau mimpi buruk menyelimuti setiap hari.

Aku merangkak ke pintu kamar. Aku mengintip dari celah dinding bambu, ke ruang keluarga yang juga berguna sebagai ruang tidur, runag makan, dapur, bahkan kalau terpaksa, kamar mandi.

Ibu terduduk di kursi. Membenamkan muka dalam-dalam ke lutut. Baju-baju Ibu berserakan di lantai. Ayah berdiri seperti patung seorang pejuang yang pernah aku lihat di jalan dekat sini. Dengan berkacak pinggang dan mata melotot Ayah seperti mau melompat dan menelan Ibu bulat-bulat.


Aku menempelkan telinga, berharap ada yang bisa kudengar. Benar saja.

"Pergi kamu dari rumah ini kalau kamu nggak betah! Rumah ini mau aku jual!" kata Ayah.

"Aku sama Misha mau tidur di mana, Mas? Ini rumah keluargaku! Kamu yang menumpang di sini, kan?" ratap Ibu sembari tersengguk pilu.

"Persetan rumah siapa ini! Pokoknya aku mau jual rumah ini! Toh kalian hidup dari hasil aku main judi! Harusnya kalian senang hati. Siapa tahu kita akan kaya sebentar lagi setelah aku menang kali ini!" Ayah melangkah pergi.

Tetapi Ibu melompat dan merangkul kaki Ayah sambil terisak. "Mas Aryo, aku mohon jangan! Mau tinggal dimana lagi kita ini? Mau menggelandang? Paling-paling uangnya Mas pakai judi lagi."

"Bangsat!" Ayah menendang muka Ibu. Ayah menendangku dengan perlakuannya kepada Ibu. Aku merasakan sakit Ibu.

"Nggak mau tahu mau kemana. Pokoknya rumah ini aku jual! Kalau menang, aku belikan kamu rumah yang lebih besar. Malam ini kita harus pergi!" Ayah membanting pintu di belakangnya. Tinggal ibu sendiri, menutup mukanya dan cairan bening terus mengalir dari matanya.

Aku menghampiri Ibu dan merangkulnya. "Ayah kemana lagi, Bu?" Ibuku hanya menyunggingkan satu senyuman.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi memetik bintang pagi.

∙∙∙

Tidurku terganggu saat ada seseorang yang mengguncang-guncang badanku. Aku terbangun, mengerjapkan mataku. Ada seseorang di samping tempat tidurku, menempelkan telunjuk di bibirnya dan menyuruhku diam.

"Ibu?"

Ibu membawaku pergi. Ibu membawa tas yang agak besar. Apa itu, aku tak tahu karena aku masih setengah bermimpi. Kami berjalan keluar rumah dengan tergesa.

"Kita mau kemana, Bu?"

"Ibu tak tahu, yang pasti keluar dari penjara ini…"

Setengah bermimpi, aku merasakan ini masih malam hari. Setengah bermimpi, aku melihat Ibu berjongkok lalu melakukan sesuatu. Setelah itu, Ibu membawaku berlari menjauh dari tempat itu.

Setengah bermimpi, aku melihat tempat yang baru saja kutiduri sekarang berada dalam kobaran api. Setengah bermimpi, aku mendengar ada suara orang berteriak-teriak panik menyayat hati. Setengah bermimpi, aku merasakan hujan mulai turun lagi.

"Ayah mana, Bu? Kenapa tidak ikut kita pergi?" Ibu hanya tersenyum kecut sambil terus berlari.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, "Ayah pergi bersama kobaran api."


Malang, 22 Februari 2009, 14:14
C .M

***


Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan

Read More ..

Oct 9, 2009

Pencuri

Sesopan belalang sembah
Dan seresmi punggung udang
Menghadapmu, setegang tentara maju perang
Rasanya sebentar lagi ku terkapar tak berdaya
Matamu berkilat, seperti petir di ufuk barat
Pengumbar senyum
Aku menyusut sekecil semut
Tak bisa tegak, ku hanya bisa merangkak
Uh, aku kalah telak
Aku menyerah padamu, penjahat kelas penyu
Kamu mencuri hatiku!

***


Puisi oleh Rieske Ratna Dewi

Read More ..

Oct 7, 2009

Ayah Pergi di Tengah Hujan

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

Aku tahu itu hanya akal-akalan Ibu supaya aku cepat tidur dan tak banyak tanya lagi. Padahal aku sudah cukup besar untuk mengerti. Umurku sudah sepuluh tahun dan guruku sudah menjelaskan bagaimana terjadinya pelangi. Aku sudah tak bisa lagi dibohongi.

Aku bisa melihat bagaimana Ayah dan Ibu bertengkar lagi malam itu dan mengapa sampai bertengkar lagi. Aku mendengar mereka saling teriak, saling bentak, bahkan hampir saling jambak. Aku bisa mendengar Ayah marah-marah dan memaksa Ibu menjual perhiasannya untuk membayar hutang-hutang Ayah setelah kalah bermain judi. Aku bisa mendengar Ibu marah-marah dan mengatai Ayah bukan suami yang baik, kerjanya di rumah menganggur saja atau main judi.

Kata Ibu, lebih baik kawin lagi. Ayah tak bisa terima, lalu marah dan hampir membanting kursi. Rumahku kacau balau saat itu, seperti ada badai menyinggahi. Aku meringkuk di sudut kamarku, berharap prahara segera pergi. Aku hanya anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Tak seharusnya aku berada dalam suasana tegang seperti ini. Sudah tiga kali lebaran seperti ini. Mau jadi apa aku nanti kalau cara mendidikku saja seperti ini?

Suara hujan yang menghantam atap rumah teredam suara Ayah dan Ibu yang membahana. Ada sesuatu pecah. Ada sesuatu ambruk. Aku meringkuk. Aku menunduk. Aku ingin mengintip tapi aku takut. Aku kalut. Kuberanikan diri. Ibu jatuh terduduk. Air matanya menitik. Ayah diam mematung. Tangannya teracung. Ayah mengambil sebuah kotak lalu melangkah pergi meninggalkan Ibu sendiri. Bahkan Ayah pura-pura tak melihatku.

Aku menghampiri ibu. Ibu memelukku sambil terisak pilu. Mau tak mau aku ikut menangis bersama Ibu. Aku bingung. Cemas. Ketakutan menguasaiku. Setiap hari aku dibayangi pikiran bagaimana kalau Ayah tak kembali. Siapa nanti yang menghidupi kami? Aku hanya bisa berdoa dalam hati.

"Ayah kemana, Bu?"

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

∙∙∙

Hari ini hujan lagi. Seolah langit ikut menangisi keluarga kami. Aku merasa sendiri di dunia ini. Sosok ibu tak mampu memayungi hatiku. Sosok ayah tak mampu menenangkan jiwaku. Meski mereka begitu baik di depanku, entah mengapa mereka tak bisa sebaik itu saat satu sama lain bertemu. Selalu ada pemicu. Selalu ada sesuatu yang membuat suasana menjadi panas, tegang, dan diakhiri dengan tangis Ibu atau Ayah menggerutu. Selalu seperti itu.

Saat aku pulang sekolah, Ayah tak ada di rumah lagi. Ibu menyambutku di depan pintu, dengan mata lebam dan pipi memerah. Aku tahu apa lagi yang terjadi selama aku belajar di sekolah. Aku malas pulang ke rumah. Tak tahan aku melihat Ibu terus-terusan disakiti Ayah dan cuma bisa pasrah. Aku bertanya kemana lagi Ayah sekarang.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menyongsong matahari.

Bohong. Kemarin Ibu bilang Ayah pergi menjemput pelangi. Tetapi tadi pagi tak ada satu warna pun yang aku lihat mewarnai rumah ini. Padahal seharusnya Ayah membawa warna-warni bagi rumah kita agar tak selalu tenggelam dalam kesuraman. Aku ingin ada pelangi di rumahku. Sekarang Ibu bilang Ayah pergi menyongsong matahari. Aku sangsi apakah nanti malam atau besok pagi Ayah pulang membawa matahari. Membawa sinarnya yang akan memberikan harapan baru bagi kami? Aku tak percaya.

Paling-paling Ayah pergi main judi lagi.

bersambung


Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan

Read More ..

Oct 1, 2009

Kick Andy with Gwendolyne!

Gwendolyne sudah bisa mendengar!


Berkat perjuangan mama SanSan, Gwendolyne kini dapat menuju dunia mendengar.

Perjalanan yang dilalui mama SanSan tidak sekadar membawanya menuju sebuah kebahagaian, tetapi juga mengajarinya tentang sebuah proses menjalani kehidupan.

Kisah yang menjadi sebuah memoar ini dapat teman-teman saksikan dalam acara Kick Andy di Metro TV. Di sana Gwendolyne, mama SanSan, dan juga Febby--penulis buku I Can (not) Hear-- berbagi cerita tentang dunia mendengar.

Jangan sampai terlewatkan, ya...
Hari Jumat, 2 Oktober 2009. Pukul 21.30 - 23.00 WIB



Listen, this is a story not only about hearing, but also listening -- Windy Ariestanti

Read More ..

Sep 25, 2009

Mbah Konah

Matanya menatap lurus padaku
seolah bertanya
tentang hati yang tak mungkin dimiliki
tentang jiwa yang tak mungkin dicintai

Berharap dalam hampa
merapat dalam senja
seharusnya dia bisa berbaring sekarang
menunggu waktu untuk berpulang

Matanya menatap lurus padaku
seolah bertanya
apa yang akan terjadi dengan bocah-bocah itu
seandainya dia tiada

Ibunya gila
ayahnya gila
bahkan kadangkala dia merasa
bocah-bocah itu juga

Mereka tertawa
mereka berseru
meminta langit
memeluk matahari
menjemput surga
saat ini juga

Matanya menatap lurus padaku
seolah bertanya
tidakkah manusia seharusnya bahagia
setidaknya untuk terakhir kalinya

***


Puisi oleh Noni Eko Rahayu

Read More ..

Sep 23, 2009

Lelaki Bermantel Panjang (2)

Takut-takut, aku menoleh padanya. Betul-betul menoleh, memuntir kepalaku ke arahnya. Namun, lelaki itu tak mendongak sekalipun. Ah, mungkin salah dengar? Bukankah rasa takut memang mencemari pikiran? Mungkin kepalaku sendiri yang berbisik.

“Erika!”

Hah! Kali ini, setelah mendengarnya—siapa pun ‘nya’ itu—menggemakan namaku, aku tak menoleh lagi. Aku berjalan makin cepat… tak melambat… makin cepat …makin cepat, hingga akhirnya berlari-lari kecil. Kurasa memang lelaki itu telah menyebutkan namaku cukup keras. Memanggil bukan cuma menyebut apalagi mengeja. Tapi oh, suara lelaki itu mirip sekali dengan suara seseorang yang pernah kukenal. Mirip sekali…

Aku tahu, meski dari sekian ratus juta penduduk di negara ini memiliki tingkat probabilitas kemiripan suara, tapi suara yang barusan terdengar amat familiar. Bukan cuma familiar, tapi juga dekat. Dekat sekali seolah-olah mengenalnya seumur hidup.

Melalui kedua telinga, kudengar langkah jadi ramai seolah kakiku ada empat. Sialan! Lelaki itu masih juga mengikuti. Ia ikut berlari. Napasku mulai terengah-engah dan kakiku makin pegal. Namun, aku terus berlari tanpa mau tertangkap. Apa yang akan terjadi jika ia berhasil menangkapku? Aku akan berlari terus sampai… sampai apa? Ah, kenapa pula rumahku tak kunjung kelihatan? Rasanya tak pernah selama ini. Jangan-jangan lelaki yang mengikutiku ini hantu, dan aku tengah ‘dikerjainya’ sehingga tempat tujuan tak jua sampai?

Ketika pikiran-pikiran itu makin tak keruan, pertanyaan ini menyelip: mengapa lari? Ya, kenapa aku mesti lari? Aku bisa berhenti dan menanyakannya. Lagipula, tasku hari ini cukup berat dipenuhi buku hard cover—lumayan kalau menghantam kepala.

Ya, berhentilah, Erika.

Maka, aku berhenti di pertengahan gang itu. Dari sini, rumahku tersayang sudah kelihatan. Lelaki itu juga berhenti sekitar 10 meter dariku. Bahunya yang tampak bidang naik-turun dengan cepat. Tentu ia sama terengah-engahnya denganku.

“Sebentar! Siapa kamu? Maaf kalau salah, tapi dari tadi kamu terus mengikutiku,” kataku seraya menurunkan tas; menggenggam talinya untuk berjaga-jaga.

Lelaki itu mendongak. Inilah yang aku tunggu: melihat wajahnya. Entah mengapa, aku tercengang. Peganganku pada tali tas mengendur, sementara gudang memoriku membongkar-bongkar isinya; mencari-cari data di mana aku pernah mengenal lelaki itu.

Ya, aku mengenalnya! Sorot matanya tajam digelayuti kantung mata yang membuatnya sendu… Terutama saat kulihat bekas luka menggores alisnya yang lurus. Ingatan itu sudah berdiri di ujung lidahku, seperti sebuah kata yang hendak dikatakan, namun terlupakan. Aku tak berhasil mengucapkan kata apa itu, tapi aku tahu betul yang dimaksud. Aku tahu aku mengenalnya, tapi siapa? Di mana? Kapan? Bagaimana aku mengenalnya?

“Hei, aku mengenalmu, kan?” desisku.

Lelaki itu hanya tersenyum. Kantung matanya menyembul sementara matanya menyorotkan kesenduan tersembunyi yang hanya dia dan Tuhan yang tahu kenapa. Betapa tak adil; aku tak bisa mengingatnya. Ini pasti efek benturan di kepala akibat kecelakan setahun yang lalu. Kuasa Tuhan menyelamatkanku kala itu, sementara lelaki yang memboncengku wafat. Aku pun tak terlalu ingat siapa lelaki yang wafat itu, tapi ibuku bilang namanya Armono.

Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku. Ia terpaku di tempatnya tanpa canggung dan tak terlalu mengintimidasi—berbeda dengan persepsiku sebelumnya. Apakah ia akan berdiri terus di situ, mengantongi tangannya, dan tak menjawab pertanyaanku? Aku pun jadi urung menanyakan ulang. Aku tahu ia tak berbahaya. Aku dapat merasakannya.

Selang beberapa detik, lelaki itu melangkah mundur pelan-pelan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, tanpa sekali pun berhenti menatapku sambil senyum seperti tadi—dengan sorot mata sendu tersembunyi. Ia membuatku tergugu, sehingga mengharapkannya supaya tak pergi. Namun, lelaki itu tetap pergi pada langkah mundur ke empat. Lalu, menghilang ditelan kegelapan sunyi di ujung gang.

***

“Bu, seperti apa wajah Armono itu?”

Ibuku beranjak dari kursi goyangnya menuju rak penyimpan album foto. Beliau membalik-balik halaman per halaman, kemudian berhenti di tengah. Ia kembali duduk di kursi goyang dan meletakkan album itu di pangkuanku. Dengan telunjuknya ia menyentuh sebuah foto, dimana aku tengah berpose bersama seorang lelaki, berlatar belakang lautan. Rambut kami acak-acakan tersapu angin yang sepertinya cukup kencang.

Jadi, inilah si Armono itu. Ibu bilang kami sudah berpacaran cukup lama…

Aku tersentak bangun. Tanggal berapa ini? Kalenderlah hal pertama yang kucari, seperti seorang pengasuh yang baru sadar bahwa anaknya belum pulang padahal malam sudah berganti subuh.

Ah, tadi aku memimpikannya: percakapan antara aku dan Ibu, sebulan setelah kecelakaan itu. Ya, sekarang aku ingat siapa lelaki yang mengikutiku semalam. Pantas begitu familiar. Air mataku pun mengakuinya.

Di pelupuk mata, menari-nari angka 23, bernaung di bulan September. Kemarin adalah satu tahun kematian Armono.

***

Cerpen oleh Novrisa Wahyu Wulandari

Read More ..

Sep 20, 2009

Maaf

Maaf,

Untuk semua sikap yang membuat luka
Untuk semua kata yang membuat pilu

Selagi masih bisa berucap, GagasMedia memohon maaf lahir dan batin kepada teman-teman semua.

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H


PS: ayo berbagi cerita lebaran di comment postingan ini :)

Read More ..

Sep 18, 2009

Sasadara

Aku tak mengelak
ketika kau mulai
menembangkan puja mantra
yang merayuku untuk
tak segera melepas
pandangan darimu

Pula tak bergeser
sejengkal juga meski
kau goda benak purba
dari rumbai nafsuku
dan mengukir peta rahasia
menuju gua garbamu

Lalu siapa engkau, dara
begitu tega menikam
cundrik bersalut werangan rindu
ke dalam anganku
lalu pergi tanpa pernah berkisah.

***

Puisi oleh Sigit Jaya Herlambang
www.soulsdigger.blogspot.com

Read More ..

Sep 16, 2009

Lelaki Bermantel Panjang

Orang itu terus saja mengikutiku. Menyusuri tiap jejak langkahku. Ke mana pun aku memilih arah, ia ikut. Jalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala sedemikian rupa, sehingga aku tak dapat melihat mukanya yang tertutupi fedora. Siapa, sih, dia? Sungguh mengintimidasi. Entah dari mana asalnya, tapi sejak memasuki gapura kompleks, pria itu terus saja mengikuti. Langkahku makin cepat, ia tetap menyusul. Langkahku lambat, aku malah ketakutan. Ia memang tak melakukan apa-apa—sejauh ini, tapi tingkah lakunya mencemaskan dan mencurigakan.

Pukul 21.30 begini, sudah tak ada angkot yang biasa melewati kompleks. Naik taksi terlampau mewah bagiku. Lagipula, aku sedang irit—tanggal tua, dan upah sebagai penulis lepas di sebuah majalah hampir habis sebelum waktunya. Aku selalu memilih ojek untuk pulang malam. Selain tak ada kendaraan lain, ojek lebih cepat sampai ke kompleks tempat tinggalku, dimana aku tinggal bersama Ibu dan seorang pembantu rumah tangga.

Sebelumnya aku tak pernah cemas pulang semalam apa pun. Hari ini aku menghabiskan waktu di kampus demi menyelesaikan skripsi yang tinggal 2 bab lagi; mencari berbagai referensi pelengkap. Bertemu dosen pembimbing agak sore karena yang bersangkutan mesti mengajar sejak pagi. Tak terlalu lama, tapi butuh revisi di sana-sini. Dan ini sudah yang ke sekian kalinya. Ditambah Ibu Dosen Pembimbing memintaku untuk melengkapi berbagai aspek yang menurutnya kurang. Aku hampir menyerah saja kalau setelah ini masih juga disuruh revisi.

Betapa melelahkan hari ini! Terutama kehadiran lelaki bermantel panjang ini. Sedikit menyesal kenapa tak sekaligus minta diantar sampai di depan rumah oleh tukang ojek. Kalau tahu bakal diikuti seperti ini, tentu aku minta diantar sampai Jl. Bukit Barisan.

Aku berjalan sambil memberanikan diri dan ia masih di belakangku, berbalut mantel panjang selutut warna hitam yang dikancing, tangan yang dimasukkan ke dalam saku mantel, kepala menunduk, bertopi fedora, bercelana abu-abu, dan bersepatu hitam kulit bertali. Mengingatkanku pada mafioso di film The Godfather. Hanya saja... aku tak tahu ia menyembunyikan pistol di balik saku itu atau tidak. Apa ia bertujuan membunuhku atau tidak. Hiii, jangan sampai! Tentu aku masih ingin hidup. Lagipula, punya dosa apa aku sama sanak keluarganya? Sama teman-temannya? Koleganya? Tahu tampangnya saja tidak.

Aku biasa-biasa saja. Aku tak pantas diikuti sedemikian rupa seperti ini. Ataukah kebetulan? Mungkin, kebetulan, di tengah jalan kami berpapasan dan berhubung tempat tinggal kami di RT yang sama kompleks yang luas ini, maka ia terus jalan di belakangku tanpa putus seperti bayangan. Mungkin saja ia akan hilang di belokan depan sehingga tak melengkapi kecurigaanku selama beberapa menit ini. Namun, pria itu tak menghilang di belokan depan, belakang, samping, atau mana pun.

Angin bertiup sedikit-sedikit, kadang banyak-banyak, tapi tetap nyaman. Langit malam ini sepi. Bulan tak kelihatan. Bintang absen berkelap-kelip genit. Awan gemawan hitam menyembul dari mana-mana. Seekor kucing kecil di atas genting entah siapa mengeong keras, nyaring, mungkin minta turun. Tapi kalau memang ia tak bisa turun, bagaimana caranya naik? Apa dia berada di atas situ begitu saja? Atau digondol kucing yang lebih dewasa karena iseng sekaligus sebal dengan kucing kecil kurus tanpa induk dan berisik itu? Ataukah dia terpaksa manjat ke genting karena menghindari sesuatu yang mengikutinya sedari tadi? Seperti aku.

Kutolehkan muka beberapa detik lalu, dan pria berpenampilan seperti mafia itu masih juga membuntuti. Berkali-kali kulambatkan cara jalanku agar pria itu mendahului—barangkali memang ia tak mengikutiku. Tapi ia tak cepat-cepat. Langkahnya berangsur sama lambatnya denganku. Sementara sneakers-ku berdebam-debum di aspal, sepatunya berceletak-celetuk membelah sunyi yang meningkatkan kecemasanku.

Sambil berbelok ke sebuah gang, aku melirik keberadaan lelaki itu. Jalur ini memang jalan pintas menuju rumahku. Jalur biasa jauh. Terlalu jauh untuk menyelamatkan diri secepatnya. Aku bersumpah apabila orang itu masih juga mengikuti, aku akan menghajarnya dengan tongkat kasti dan ketapel. Asal tahu saja, aku masih suka mengantongi ketapel ke mana pun pergi. Memang agak aneh bagi seorang perempuan usia 20-an mengantongi ketapel bukannya semprotan merica atau batubata, tapi melakukannya menjadi jaminan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Entah kenapa.

“Erika…”

Hmm? Aku terkesiap seraya melambatkan jalan—hampir berhenti, tapi atas alasan keselamatan aku mempercepat langkah kakiku yang mulai gemetar ketakutan ini. Sumpah, aku mendengarnya membisikkan namaku: Erika… Apakah aku mengenalnya?

Mendongaklah sedikit, Tuan Mafioso!

bersambung

Cerpen oleh Novrisa Wahyu Wulandari

Read More ..

Sep 11, 2009

Pada Multazam, Arafah serta Raudlah

Ketika doa telah menjemputku
dan mengantarkan kegersangan jiwa menuju penziarahan.
Sebab percakapan dari qalbu ke qalbu tak lagi indah bagiku
hingga kesepian menghinggapi.
Akankah engkau menemuiku
pada tempat-tempat yang telah engkau janjikan?
Pada Multazam,
Arafah serta Raudlah.

Mengapa harus Multazam
Arafah serta Raudlah?
Jika menit-menit yang engkau tentukan adalah pengabdian
serta kerinduan terus memanggilmu.
Bukankah segala tempat serta suasana bagimu sama
Ketika aku menghamba.
tak perlu menanti doa menjemputku
kemudian mengantarkanku
pada Multazam,
Arafah serta Raudlah.


”Temuiku kapan saja, saat itu juga
ketika kerinduan memanggil.
Tak perlu menanti doa menjemputmu
mengantarkan pada Multazam,
Arafah serta Raudlah.”

Jangan lagi berharap menangis hanya di Multazam,
Arafah serta Raudlah.
Menangislah saat itu juga, saat kerinduan memanggil.

***


Ciputat, 01 Maret 2009
Puisi oleh Rien Zumaroh S.Pd.I

Read More ..