Apr 2, 2008

Penerbit Mencari Kamu!!!

“Apa sih naskah yang dicari penerbit?”

Sering banget pertanyaan seperti ini datang dari para penulis yang berminat menerbitkan naskahnya di GagasMedia. Pertanyaan menarik, sih, sebenarnya.... Persoalannya, ini bukan pertanyaan yang gampang dijawab. Apalagi kalau pertanyaan itu diikuti pertanyaan tambahan: “Novel seperti apa sih, Mas/Mbak, yang berpotensi bestseller?” Duh, kalo udah begini, pura-pura sambungan teleponnya jelek aja deh. “Bzzt, bzzzt... halo, Mas, Mas? Aduh, sori... kayaknya teleponnya lagi trouble nih. Hubungi lagi kapan-kapan, ya?”

Tapi serius, selama jadi editor, kami juga sama nggak tahunya dengan kamu soal buku-buku mana yang bakal bestseller, mana yang jeblok di pasaran. Tapi kami tahu naskah mana yang bagus. Sayangnya, nggak banyak penulis yang menyadari ini. Saat naskah ditolak penerbit, bukannya berpikir, “Di bagian mana ya kurangnya naskah novelku ini?”, sebagian besar malah berpikir, “Tuh editor-editor bego banget sih, nggak tahu naskah yang bagus.”

I’ve been there, Guys. Sebelum jadi editor, aku juga penulis seperti kalian DAN mikir hal yang sama waktu ditolak. Lumayan lho, dua kali penolakan berturut-turut. Terus terang, ini sempat bikin aku trauma sampai ogah ngetik di komputer. Tapi, hehe, kapan-kapan ajalah kita bahas soal itu ya.

Nah, kembali ke pertanyaan besar yang masih belum juga terjawab: Kayak apa sih naskah yang dicari editor? Mereka-mereka itu merhatiin apa sih sebelum nerima atau nolak suatu naskah? Apa jangan-jangan mereka punya sixth sense, cukup sentuh cover-nya aja langsung tahu mo nolak naskah yang mana aja?

Padahal sebenarnya, sederhana aja lho mendeteksi naskah-naskah mana yang oke dan yang enggak. Dan nggak perlu sixth sense (yang begituan sih, kerjaannya Mama Laurent dan sodara-sodaranya—bukan editor!) segala, lagi.

Sinopsis
Nggak sedikit penulis yang salah mengartikan sinopsis sebagai tulisan di back cover. Selain karena singkat banget, biasanya ‘sinopsis back cover’ ini diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan khas macam: Jadi, kenapa juga akhirnya Fitri kemudian menerima cinta Seno? Dan, mampukah Seno bertahan tetap setia kali ini? Padahal ya, yang diharapkan itu justru sinopsis keseluruhan cerita. Mulai dari bab 1 sampe tamat. Dan, ini juga bisa kamu pakai untuk mendeteksi logika aneh dalam ceritamu. Misalnya, cukup masuk akal nggak Fitri minta putus dari Seno semata-mata karena dia nggak sengaja ngeliat cowok itu ngobrol sama cewek lain? Atau, perlu nggak Fitri pake acara ‘kabur’ ke Sydney segala gara-gara patah hati dari Seno, padahal dia kan harus kuliah?

Selain itu, alasan editor sangat merhatiin sinopsis adalah buat mastiin genre ceritanya. Di kantor Gagas, masing-masing editor punya kecenderungan memilih naskah tertentu. Karena suka romance, aku biasanya milih-milih baca novel romantis duluan. Alit punya kecenderungan baca genre B, dan sebagainya.

Ide Cerita
Semakin simpel suatu cerita, semakin gampang pembaca ‘masuk’ ke dalamnya. Biar lebih gampang mengerti arti kalimat barusan, coba bandingin dua cerita ini:

a) Trauma yang dialami Mariana seolah nggak ada habis-habisnya. Masa kecilnya dihabiskan dengan ketakutan besar pada kakaknya sendiri. Rupanya, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, kakak tertuanya itu sering melecehkan Mariana. Dan setelah melakukannya, Mariana diancam supaya tutup mulut. Makanya, begitu Mariana mendapat restu untuk mengadu nasib di jakarta, dia langsung pergi tanpa pikir panjang sama sekali. Tapi... keadaannya di Jakarta ternyata nggak lebih baik. Awalnya memang manis, Ruben (atasannya di restoran Cina tempatnya bekerja di Jakarta) dekat dengan Mariana bahkan akhirnya menyatakan cinta. Tapi, suatu malam, sesuatu tak terelakkan pun terjadilah. Mariana tahu-tahu mengandung anak Ruben. Laki-laki itu tiba-tiba berubah sikap dan tidak mau bertanggung jawab atas bayi Mariana. Malah, dia mengusahakan sebisa mungkin untuk mengeluarkan Mariana dari tempat kerja. Ruben tak ingin tunangannya mencium hubungan dirinya dengan Mariana. Dsb....

b) Gadis sangat tergila-gila dengan kekasihnya, Joe. Tapi sayang, belakangan rasa cinta itu malah membacanya ke kehancuran. Joe terlalu posesif dan nggak segan-segan melontarkan kata-kata kasar kepada gadis. Mereka pun lalu berpisah. Joe meninggalkan Gadis, tetapi kenangan tentang Joe terus tersimpan di dalam hatinya. Malah, Gadis terobsesi mengejar cinta Joe kembali. Dalam perjalanannya menemukan Joe, dia berkenalan dengan seorang laki-laki. Seseorang yang mengajarinya bahwa cinta itu sebenarnya lembut. Kekerasan apa pun tak layak bertamengkan cinta. Kini dilema muncul di dalam diri Gadis, apakah dia akan meneruskan pencariannya atau berhenti dan melabuhkan hatinya pada laki-laki itu. Dsb....

Spot the difference? Saking bombastisnya cerita A, banyak pertanyaan tak terjawab malah terlewat begitu saja. Misalnya: gimana ceritanya seorang cewek yang trauma karena pelecehan seksual seperti Mariana, bisa dengan gampang dekat dan sampai berhubungan intim dengan cowok lain? Penulis cerita A terlalu terfokus pada ‘derita Mariana yang seolah tak ada ujung’ sehingga melupakan ketakutan terbesar dalam diri tokohnya itu. Sebaliknya, di cerita B, walaupun tokoh Gadis terkesan bego, karakternya itu masih bisa dibenarkan pembaca karena alasan gadis melakukan itu adalah karena ‘cinta’. Dan, alasan ini dipertahankan terus oleh penulis sampai Gadis kemudian dibimbangkan oleh wajah cinta lain yang ditemuinya.

Yep, kuncinya cuma dua: konsistensi dan cara penulis menjelaskan logika-logika di dalam cerita. Jangan salah lho, pembaca itu sama telitinya dengan detektif. Sekali dia menemukan sesuatu yang ganjal di suatu cerita, uh, udah deh... itu melulu yang disebar-sebarin ke teman-temannya. “Eh, tau nggak novel A itu aneh banget deh. Bla, bla, bla....” Makanya, saat membaca naskah, persoalan konsistensi dan logika itu diperhatiin banget sama editor.

Setting
Seperti yang udah dijelasin di tips sebelumnya, setting itu nggak sekadar tempelan untuk manjang-manjangin cerita. Kamu bisa kok ngawin-ngawinin setting dengan karakter, atau dengan plot, atau malah threesome sekalian. Setting yang bagus memanjakan pembaca. Setting yang jelas... pastinya, bikin bingung.

Karakter
Karakter itu nggak cukup hanya dijelaskan sebagai ‘anak SMU yang berambut ikal dan berkulit hitam manis’. Pembaca akan menyimpulkan si karakter berdasarkan caranya berbicara, gestur tubuh, tindakan-tindakan, dan motivasinya melakukan sesuatu. Cara editor mendeteksi kelemahan penulis dalam mengelola kepribadian karakternya adalah dengan memperhatikan voice and tone tokohnya itu. Perhatiin deh:

“Hei, kalian dalam rangka apa dateng kemari?” sapaku, kembali ceria. Kusandarkan sapuku di salah satu rak lalu datang menghampiri untuk menyambut mereka. Mataku melirik lagi ke cowok di belakang Nanda. Siapa sih dia? Pacar barunya Nanda ato Ella? Cute juga...

Aku nggak bisa menahan diri untuk menilai penampilannya. Rambutnya ikal dan sedikit berantakan, tapi manis, ngingetin sama Ebes—suaminya Rachel Maryam. Menurut perkiraanku dia cuma beberapa senti lebih tinggi dariku, lebih putih dan tampangnya agak indo. Aku jadi punya teori baru, cowok itu mungkin sodaraan sama Nanda, dia kan indo juga?

Kaget nggak kalo aku bilang tokoh ‘aku’ di potongan cerita di atas adalah cowok? Nah, bandingkan kadar maskulinnya si tokoh ‘aku’ di cerita kedua ini.

“Tumben kemari!”

Aku menyandarkan sapuku di salah satu rak, lalu menghampiri mereka yang berdiri di pintu masuk. Diam-diam melirik cowok di belakang Nanda. Rambutnya ikal dan sedikit berantakan. Menurut perkiraanku, tingginya berselisih satu sentimeter saja dariku, lebih putih, dan tampangnya agak indo. Diam-diam aku mengira-ngira identitas cowok itu. Dugaan pertama, mungkin dia cowok barunya Nanda. Perkiraan kedua, yang sebenarnya agak lemah, mungkin dia dan Nanda sodaraan.

Jadi, gimana? Siap nerima tantangan buat ngirimin naskah oke ke penerbit? Kita tunggu lho!

1 comment: