Nov 14, 2008

Fahd in My Eyes by Dewi Dee Lestari

Amplop cokelat berisi sebuah buku tiba di rumah saya. Walaupun judulnya berbahasa Inggris, isi dan penulisnya asli Indonesia: "A Cat In My Eyes" oleh Fahd Djibran, terbitan Gagas Media. Sebuah racikan baru dari buku lama Fahd berjudul "Kucing" yang pernah saya baca bertahun-tahun yang lalu. Saat itu Fahd masih SMA, di kota Garut. Saat itu saya masih tinggal di Bandung, baru saja menerbitkan "Supernova: Petir".

Desainer sampul buku-buku saya, Fahmi, adalah orang yang berjasa memperkenalkan karya Fahd. Begitu selesai membaca, saya langsung memesan sepuluh eksemplar "Kucing" untuk dibagi-bagikan ke teman-teman penulis di Jakarta. Saya begitu terpukau. Terpana. Bersemangat menyala-nyala. Rasanya seperti pendulang yang menemukan sebongkah batu mulia dalam tumpukan batu kali. Seorang remaja belasan tahun bisa memiliki kemampuan merangkai kata selugas dan secerdas itu, memiliki kepekaan bahasa di atas rata-rata, dan terlebih lagi, pada usianya yang begitu belia, Fahd sudah menunjukkan kehausannya yang mendalam pada makna hidup, cinta, dan Tuhan. Buku Fahd adalah temuan langka. Satu di antara sejuta.

Kini, Fahd sudah berkuliah di Yogyakarta. Dan di kota itulah saya pertama kali bertemu langsung dengannya. Buku "Kucing" pun sudah berganti rupa menjadi "A Cat In My Eyes", ditangani oleh salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Namun Fahd tetap seorang Fahd. Seorang pencari, pengelana makna, dan penjelajah spiritual. Entah sudah sampai di mana dia. Ada yang bilang, perjalanan spiritual bukanlah perjalanan linier, melainkan perjalanan kuantum yang bisa melompat dan berakrobat tanpa bisa ditebak.

Yang jelas, di buku keduanya ini kemampuan Fahd berkata dan berbahasa tampak semakin halus dan dewasa. Dari prosa-prosa pendeknya, Fahd pun tampak lebih lapang dada untuk menghormati ranah ketidakpastian dengan kerap membubuhkan "barangkali" dan "tidak tahu" saat tulisannya sudah berada di ujung sebuah kesimpulan. Ada yang bilang, semakin dewasa jiwa seseorang, ia lebih banyak menyatakan "tidak tahu" ketimbang menjaminkan sebuah kepastian.

Dari buku "A Cat In My Eyes", saya paling suka prosanya yang berjudul "Skizofrenia". Entah mengapa, saya merasa prosa itulah yang paling mewakili penelusuran seorang Fahd. Namun sepanjang perjalanan 176 halaman buku tersebut masih banyak lagi cerita dan metaforanya yang bersinar gemilang, yang sekiranya bisa memuaskan hati para pembaca. Jujur, yang agak menjadi ganjalan bagi saya hanyalah judul bukunya. Menurut saya pribadi, masih banyak pilihan judul lain yang lebih representatif, bahkan lebih strategis, untuk mewakili buku ini secara keseluruhan.

Terus terang, banyak harapan yang melambung dalam hati ketika menemukan karya Fahd—sejak awal hingga kini. Saya berharap dia terus bertambah lihai dan cemerlang dalam menulis. Saya berharap dia terus bertambah jernih dan jeli dalam mengobservasi. Singkatnya, saya berharap dia menjadi seorang penulis yang monumental. Dan saya pun cukup yakin Fahd Djibran punya segala bekal untuk mencapai itu semua. Tapi, harapan saya yang lebih dalam sesungguhnya lebih sederhana dan tak ada sangkut-pautnya dengan menulis, yakni harapan untuk Fahd bertubrukan dengan "sesuatu" yang ia cari. Karena meski secicip dan sebentar saja, pengalaman semacam itu akan mendaratkannya dalam dimensi sepenuhnya kalbu dan bukan lagi akal. Sekembalinya dari dimensi tersebut, saya yakin kedahsyatan tulisannya akan berbeda citarasa. Lebih empiris ketimbang filosofis. Atau barangkali, ia malah berhenti menulis sama sekali. Kita tidak pernah tahu.

Sampai sekarang, saya masih penasaran akan satu hal. Ada apa dalam dodol Garut atau domba Garut yang mampu menghasilkan seorang Fahd Djibran? Ada apa dengan Kawah Papandayan hingga seseorang yang tinggal di kaki lerengnya bisa berkata-kata: "Aku ingin tetap berada di udara jika hidup adalah sebuah koin yang dilempar ke udara dan menjadikan kita sebagai salah satu sisi dari dua mata koin itu. Aku ingin berada di dunia antara, abu-abu, dunia fusi sinergis yang harmonis."

Barangkali Fahd adalah kesimpulan hidup bahwa letak geografis dan tingkat modernitas sebuah tempat bukanlah penentu mutlak untuk menciptakan manusia bermutu, melainkan: adakah manusia itu "terusik" jiwanya? Adakah ia "mendengar"? Sudikah ia menyimak dan menelusuri satu tanda tanya besar yang bersemayam dalam setiap batin? Fahd memilih untuk bergelut dengan tanda tanya itu. Ia telah merelakan dirinya untuk diusik.

Jika "Kucing" sempat tenggelam dalam percaturan sastra Indonesia, sudah saatnya "A Cat In My Eyes" mengeluarkan cakarnya. Melewatkan buku ini, dan juga jejak seorang Fahd Djibran, merupakan kehilangan besar bagi penggemar sastra Indonesia. Meski tidak percaya pada kepastian, tetap ingin saya jaminkan yang satu itu.

0 comments:

Post a Comment