Itu tahun 2006, tepatnya bulan April, kali pertama GagasMedia bekerja sama secara langsung dengan WWuntuk menerbitkan A Book About Nothing (ABAN).
Prosesnya terbilang tidak singkat. Tapi, proses itulah yang terus melekat di benak dan menjadi pelajaran yang terus saya ingat sampai hari ini. Bahwa menerbitkan sebuah buku, bukan sekadar harus bisa ‘menangkap’ jiwa penulisnya, melainkan juga memberikan jiwa kepada buku tersebut sehingga menjadi sesuatu yang saling menguatkan antara penulis-penerbit. Ini bukan sekadar hubungan atas dasar kepentingan. Lebih dari itu. Ini seperti mengucapkan janji suci bahwa akan selalu ada di saat susah atau senang dalam sebuah keputusan untuk hidup bersama.
Prosesnya terbilang tidak singkat. Tapi, proses itulah yang terus melekat di benak dan menjadi pelajaran yang terus saya ingat sampai hari ini. Bahwa menerbitkan sebuah buku, bukan sekadar harus bisa ‘menangkap’ jiwa penulisnya, melainkan juga memberikan jiwa kepada buku tersebut sehingga menjadi sesuatu yang saling menguatkan antara penulis-penerbit. Ini bukan sekadar hubungan atas dasar kepentingan. Lebih dari itu. Ini seperti mengucapkan janji suci bahwa akan selalu ada di saat susah atau senang dalam sebuah keputusan untuk hidup bersama.
oOo
Selama mengerjakan buku ABAN, saya kerap dilanda tanda tanya, apakah dia akan suka dengan hasil kerja saya. Maklum, saat itu, saya anak kemarin sore. Jiper karena tidak punya modal soal jam terbang sebagai editor, jadilah saya menghabiskan beberapa hari di depan internet hanya untuk mengetahui tentang sosok ini lebih dekat.
Setelah merasa pengetahuan saya tentang WW cukup, barulah saya mulai berani mengedit ABAN yang saat itu belum berjudul. Satu siang, kami sudah bersepakat soal judul, tetapi belum dengan cover. Sayangnya, bagian pemasaran kami yang tidak bersepakat dengan judul tersebut. Ini seperti mengembalikan lagi semua ke titik nol. Saya harus kembali berdiskusi dengan WW, harus brainstorming lagi. Tapi begitulah kerja penerbitan di GagasMedia, untuk menentukan judul saja, kami harus melibatkan Pemasaran dan Promosi. Menemukan jiwa penulis saja mungkin mudah, cukup tanya penulisnya dia mau apa. Penuhi maunya, dan pasti si penulis akan merasa, ‘Gue banget!’. Tapi menemukan jiwa dari sebuah buku yang mewakili semuanya, itu baru tantangan.
WW bukan orang yang keras kepala. Di mata saya dia kompromis asal semua tawaran yang kita kemukakan masuk akal. Pergantian judul ini pun tentunya memengaruhi cover. Buat kami, cover, judul, dan isi harus berjalan selaras, harus menjadi sebuah ‘petualangan’ utuh bagi pembaca.
Lalu, berbunyilah telepon saya. Di sana tertera nama Erna-Wimar, orang yang sangat dipercaya WW. Ternyata Mbak Erna hanya menyambungkan, dia bilang WW mau bicara. Well, tak seorang pun tahu, kalau saat itu, sumpah mati, saya ingin sembunyi di bawah meja.
Suaranya persis sama seperti yang saya dengar di televisi. Menyapa ramah. Mengucapkan terima kasih untuk kerja sama dan komunikasi yang baik selama mengerjakan bukunya. Sampai kemudian ia bilang, ‘Saya tidak merasa cover yang kalian kirimkan mencerminkan saya.
It’s about nothing. Tapi saya juga tidak ingin terlalu dibuat main-main,’ jelasnya lagi.
Saya menarik napas sebelum kemudian berbicara. Kepada WW, saya bilang bahwa kami akan terus mencari alternatif cover dan judul yang bisa diterima semua. Siang itu saya mencatat di block note, ‘WW mau cover-nya foto, bukan ilustrasi’. Lalu, ada coretan ‘About Nothing’ yang saya lingkari selama proses ngobrol. ‘Saya tunggu ya,’ suara WW terdengar lega.
Di tengah upaya mencari ide, tiba-tiba ada e-mail masuk ke inbox saya. Dari WW. Dia kembali menegaskan percakapan kami tadi siang. Di akhir e-mail-nya, dia menulis, ‘Ini bukan “celetukan segar”, bukan “tulisan mencerahkan”, bukan “mengobar idealisme”. Kalau memakai kata-kata penulis serial TV Seinfeld, this is a book about nothing.’
Sejenak mengambil buku catatan saya. mengamati coretan tulisan yang saya lingkari. Tiba-tiba aliran darah saya bergerak lebih cepat. Ini biasanya disebut pertanda baik. Segera saya membalas e-mailnya. ‘….Ada ide lain yang muncul di benak saya untuk judul. A Book About Nothing. Penekanan di cover nantinya pada nama Wimar Witoelar.’
Bingo! WW setuju. Ketika saya menyampaikan judul itu ke pemasaraan dan promosi mereka pun oke. Dari hasil obrak-abrik Friendster WW, Jeffri, desainer GagasMedia, menemukan sebuah foto yang unik dan menggambarkan nothingness tadi.
Semuanya berjalan lebih mudah dengan hasil yang lebih memuaskan. Mengerjakan ABAN adalah salah satu pengalaman berharga. Saya belajar banyak. Bukan hasilnya, tetapi prosesnya. Tidak ada yang instan, apalagi untuk urusan memberikan jiwa kepada sebuah buku.
Hari ini, tepat pada bulan yang sama, saya sedang memeriksa naskah More About Nothing yang akan naik cetak. Saya tidak lagi deg-degan. Tidak lagi ingin sembunyi di bawah meja.
Saya bahkan menemui WW di Citos untuk mem¬ba¬has cover dan judul. Sebenarnya, ini pertemuan secara langsung yang kedua. Pertemuan pertama kami setelah buku ABAN terbit, di sebuah acara launching buku GagasMedia. Yang saya ingat waktu itu, dia adalah salah satu orang besar yang mau menghargai kerja orang lain. Saya agak kaget ketika Mbak Erna menyapa saya lalu bilang WW ingin bertemu. Saat itu WW masih duduk di kursi roda. Saya menghampirinya. Ia tersenyum lebar dan hangat. Sambil memeluk saya dia berkata, ‘Terima kasih buat semuanya. Terima kasih sudah mau menangani buku saya.’ Buat saya editor kemarin sore, itu sangat menghangatkan hati. Jarang ada penulis yang masih mengingat editornya setelah buku terbit. Tapi WW melakukan hal itu.
Apakah saya masih menemukan sosok yang sama setelah 3 tahun berlalu?
Iya. WW masih sama. Sayangnya, dia lupa kalau pernah bertemu saya. Waktu saya mengingatkannya, dia tertawa lebar sambil meminta maaf atas kealpaannya. Saya maklum. Itu juga bukan hal yang penting. It was nothing, Pak WW.
Siang itu ketika hendak pulang, saya bilang senang bisa bertemu dia. Dia tersenyum lebar. Tangannya terkembang. Dia kembali memeluk saya. Rasanya sama seperti tiga tahun lalu. ‘Titip salam buat papamu, ya, Windy,’ bisiknya di telinga. Well, Pak WW, it means everything for me. Thank you, Sir!
salam,
windy@gagasmedia.net
Seperti Jerry Seinfeld, WW membuat nothingness menjadi something tapi cukup humble untuk mengatakan bahwa itu, well, nothing. WW bagi saya terlihat seperti seorang observer yang andal, membuat hal kecil yang kadang terlewat dalam hidup jadi terasa “Aaaah, bener juga yah”. Efeknya, More About Nothing making me wanting for more.’
— Raditya Dika, Penulis Komedi
‘Kumpulan pemikiran tentang hal-hal yang terjadi di sekeliling Bang Wimar, sekeliling saya, dan sekeliling anda. Hal-hal yang bisa jadi kita tidak pernah ngeh tapi tertangkap oleh Bang Wimar yang observantlalu dia bahas kembali dengan santai, informatif, dan bernilai tambah (saya baru tahu pencipta lagu Smile adalah aktor Charlie Chaplin). A must read book.
— Adhitya Mulya, Penulis Komedi
‘Kumpulan artikel yang disuguhkan Wimar Witoelar dalam buku ini menurut saya bukan tentang 'nothing'. Santai, menggelitik tapi penuh makna dan sering membuat saya berpikir ketika selesai membaca tiap artikel 'Edit Saja' adalah artikel favorit saya dalam buku ini. Yang pasti, sama seperti A Book About Nothing, More About Nothing akan berada daftar buku favorit. Seperti serial televisi favorit saya, everybody loves Wimar Witoelar
— Ninit Yunita (www.istribawel.com)
Lalu, berbunyilah telepon saya. Di sana tertera nama Erna-Wimar, orang yang sangat dipercaya WW. Ternyata Mbak Erna hanya menyambungkan, dia bilang WW mau bicara. Well, tak seorang pun tahu, kalau saat itu, sumpah mati, saya ingin sembunyi di bawah meja.
Suaranya persis sama seperti yang saya dengar di televisi. Menyapa ramah. Mengucapkan terima kasih untuk kerja sama dan komunikasi yang baik selama mengerjakan bukunya. Sampai kemudian ia bilang, ‘Saya tidak merasa cover yang kalian kirimkan mencerminkan saya.
Saya menarik napas sebelum kemudian berbicara. Kepada WW, saya bilang bahwa kami akan terus mencari alternatif cover dan judul yang bisa diterima semua. Siang itu saya mencatat di block note, ‘WW mau cover-nya foto, bukan ilustrasi’. Lalu, ada coretan ‘About Nothing’ yang saya lingkari selama proses ngobrol. ‘Saya tunggu ya,’ suara WW terdengar lega.
Di tengah upaya mencari ide, tiba-tiba ada e-mail masuk ke inbox saya. Dari WW. Dia kembali menegaskan percakapan kami tadi siang. Di akhir e-mail-nya, dia menulis, ‘Ini bukan “celetukan segar”, bukan “tulisan mencerahkan”, bukan “mengobar idealisme”. Kalau memakai kata-kata penulis serial TV Seinfeld, this is a book about nothing.’
Sejenak mengambil buku catatan saya. mengamati coretan tulisan yang saya lingkari. Tiba-tiba aliran darah saya bergerak lebih cepat. Ini biasanya disebut pertanda baik. Segera saya membalas e-mailnya. ‘….Ada ide lain yang muncul di benak saya untuk judul. A Book About Nothing. Penekanan di cover nantinya pada nama Wimar Witoelar.’
Bingo! WW setuju. Ketika saya menyampaikan judul itu ke pemasaraan dan promosi mereka pun oke. Dari hasil obrak-abrik Friendster WW, Jeffri, desainer GagasMedia, menemukan sebuah foto yang unik dan menggambarkan nothingness tadi.
Semuanya berjalan lebih mudah dengan hasil yang lebih memuaskan. Mengerjakan ABAN adalah salah satu pengalaman berharga. Saya belajar banyak. Bukan hasilnya, tetapi prosesnya. Tidak ada yang instan, apalagi untuk urusan memberikan jiwa kepada sebuah buku.
oOo
Hari ini, tepat pada bulan yang sama, saya sedang memeriksa naskah More About Nothing yang akan naik cetak. Saya tidak lagi deg-degan. Tidak lagi ingin sembunyi di bawah meja.
Saya bahkan menemui WW di Citos untuk mem¬ba¬has cover dan judul. Sebenarnya, ini pertemuan secara langsung yang kedua. Pertemuan pertama kami setelah buku ABAN terbit, di sebuah acara launching buku GagasMedia. Yang saya ingat waktu itu, dia adalah salah satu orang besar yang mau menghargai kerja orang lain. Saya agak kaget ketika Mbak Erna menyapa saya lalu bilang WW ingin bertemu. Saat itu WW masih duduk di kursi roda. Saya menghampirinya. Ia tersenyum lebar dan hangat. Sambil memeluk saya dia berkata, ‘Terima kasih buat semuanya. Terima kasih sudah mau menangani buku saya.’ Buat saya editor kemarin sore, itu sangat menghangatkan hati. Jarang ada penulis yang masih mengingat editornya setelah buku terbit. Tapi WW melakukan hal itu.
Apakah saya masih menemukan sosok yang sama setelah 3 tahun berlalu?
Iya. WW masih sama. Sayangnya, dia lupa kalau pernah bertemu saya. Waktu saya mengingatkannya, dia tertawa lebar sambil meminta maaf atas kealpaannya. Saya maklum. Itu juga bukan hal yang penting. It was nothing, Pak WW.
Siang itu ketika hendak pulang, saya bilang senang bisa bertemu dia. Dia tersenyum lebar. Tangannya terkembang. Dia kembali memeluk saya. Rasanya sama seperti tiga tahun lalu. ‘Titip salam buat papamu, ya, Windy,’ bisiknya di telinga. Well, Pak WW, it means everything for me. Thank you, Sir!
salam,
windy@gagasmedia.net
-------------------------------------------------------
Seperti Jerry Seinfeld, WW membuat nothingness menjadi something tapi cukup humble untuk mengatakan bahwa itu, well, nothing. WW bagi saya terlihat seperti seorang observer yang andal, membuat hal kecil yang kadang terlewat dalam hidup jadi terasa “Aaaah, bener juga yah”. Efeknya, More About Nothing making me wanting for more.’
— Raditya Dika, Penulis Komedi
‘Kumpulan pemikiran tentang hal-hal yang terjadi di sekeliling Bang Wimar, sekeliling saya, dan sekeliling anda. Hal-hal yang bisa jadi kita tidak pernah ngeh tapi tertangkap oleh Bang Wimar yang observantlalu dia bahas kembali dengan santai, informatif, dan bernilai tambah (saya baru tahu pencipta lagu Smile adalah aktor Charlie Chaplin). A must read book.
— Adhitya Mulya, Penulis Komedi
‘Kumpulan artikel yang disuguhkan Wimar Witoelar dalam buku ini menurut saya bukan tentang 'nothing'. Santai, menggelitik tapi penuh makna dan sering membuat saya berpikir ketika selesai membaca tiap artikel 'Edit Saja' adalah artikel favorit saya dalam buku ini. Yang pasti, sama seperti A Book About Nothing, More About Nothing akan berada daftar buku favorit. Seperti serial televisi favorit saya, everybody loves Wimar Witoelar
— Ninit Yunita (www.istribawel.com)
0 comments:
Post a Comment