Jan 26, 2008

1st Chapter: World Cup!

“Maizere, kelas sudah dimulai,” seru seseorang menghampiriku di gerbang sekolah. Dia adalah Chiba Rionosuke, teman terdekat ku di SMU Shinjutsu, juga orang pertama yang aku kenal di Jepang ini. Aku sendiri orang asing, baru 2 bulan pindah kesini. Namun aku memang sudah mengenal beberapa orang disini, tapi aku masih belum bisa mengerti bahasa mereka. Aku masih harus belajar lebih banyak lagi tentang cara pergaulan mereka.
“Yah, lagi - lagi terlambat. Benar-benar membosankan,” gerutuku sambil berlari mengejar Riono yang tengah berlari mendahuluiku, “Tunggu! Jangan tinggalkan aku! Jangan kabur duluan, hei Riono!” gertakku keras dan Riono menoleh padaku.
“Kau ini lamban, lagipula kerja mu hanya berteriak terus sejak tadi. Jalan cepat sedikit, nanti terlambat pelajaran pertama lho,” seru Riono sambil terus berlari menjauhiku yang tertinggal dibelakangnya. Aku tercenggang sejenak. Riono memang pelari ulung, kecepatannya jauh melebihi kecepatan berlariku. Dia lebih cocok ikut perlombaan marathon 100 M. Aku tersenyum sendiri memikirkan hal ini. Tapi aku tidak boleh putus asa, tekadku pada akhirnya. Meski Riono pelari unggulan sekalipun, aku tidak akan kalah dengannya. Dia memang hebat, tapi aku tidak mau kalah semudah itu, pikirku melanjutkan dan kulangkahkan kakiku kembali mengejarnya dengan bersemangat. Kami pun berjalan bersama menuju kelas kami di lantai atas. Pelajaran pertama memang berakhir sesaat kami telah tiba didepan kelas, mataku menatap lurus ke depan dan aku mendengarkan seorang guru berbicara dari balik tembok tempat kami berdiri, mata kami saling bertemu dan tak lama kami menggeleng keheranan.
“Baiklah, pelajaran kita sudahi dulu. Selamat pagi, anak-anak,” guru laki-laki itu memberi salam dan ia segera berjalan meninggalkan kelas. Langkahnya terhenti dan ia menundukkan kepala saat menghampiri kami di luar kelas, ia pun berlalu.
Kami masuk kembali ke dalam kelas dan terdengar suara gaduh menyambut kedatangan kami, aku menoleh dan kudengar seorang berbicara dari barisan kursi kedua dari belakang. Aku pun mengambil posisi di kursiku dan masih kudengar ia berbicara.
“Enak ya, bolos pelajaran pertama,” seru Rumi dari belakang.
“Pelajaran tadi benar - benar membosankan,” komentar Tami menyusul.
“Gurunya membuatku tidak bersemangat saja,” seru Takai menanggapi.
“Iya. Kalian enak, bisa diluar selama pelajarannya,” sambung Kento.
“Tapi, jangan salah. Pak Koiji pasti tidak akan memaafkan kalian,” teman - teman yang lain ikut berbicara.
“Yeah ! Bolos pelajaran pertama memang mengasyikan,” seru Riono bangga, “Tapi aku paling tidak suka kena skors,” ia kembali ke kursinya.
“Memangnya, sudah berapa kali kau membolos?” Tanya Takai penasaran, dengan rasa ingin tahunya yang tinggi.
“Ini adalah yang kedua kalinya. Memang, ada apa dengan itu?” wajah Rio menampakkan kebingungan berarti, mata ku terus memperhatikan mereka yang sedang berbicara dari mejaku, tak lama kudengar suara Takai disisi kiriku dan aku menoleh pada Takai.
“Dua? Berarti dapat skors dua minggu,” seru Takai dan semua teman yang lain ikut tertawa, seisi kelas pun ramai seketika. Kami tidak dapat melanjutkan obrolan kami karena selang beberapa menit kemudian seorang guru memasuki kelas. Pelajaran kedua pun dimulai.
***

Dua jam berlalu dan kini tibalah pelajaran bahasa yang paling membosankan bagiku. Mungkin, hanya aku yang tidak menyukai pelajaran ini. Sebab dibandingkan teman-teman yang lainnya, aku masih tergolong bodoh bahasa Jepang ini. Aku memang telah membeli sejumlah buku panduan, namun entah kenapa aku belum bisa mengerti walau sudah ku pelajari berulang-ulang. Aku menjadi lemas sendiri mengingatnya. Guru pelajaran itu sendiri telah berdiri dimuka kelas sejak tadi dengan wajah masam, ia memelototi kami. Guru yang akrab disapa Michiko san dan sering mendapat sebutan guru galak itu kini bergumam keras, kelas hening seketika termasuk aku. Ih, benar-benar guru killer, komentar ku berulang - ulang dalam hati. Jam setengah dua belas, kuangkat wajahku menghadap ke muka kelas dan mataku terbelalak seketika menyadari Bu guru Michiko menatap ku lekat-lekat. Aku terdiam, tak lama ia mengalihkan pandangan tajamnya, menyapu seisi kelas secara berurutan. Puh, aku menghembuskan nafas lega setelah kupastikan mata guru itu jauh dariku, perasaanku menjadi tenang. Namun tatapan tajam Bu Michiko kembali memenuhi pikiranku, wajahku seperti dihinggapi ketegangan mendalam. Mataku membuka lebar dan tiba - tiba ada semacam kebencian mengalir dalam diri ku. Ya, dalam tatapannya aku merasakan kebencian mendalam pada ku dalam dirinya tadi sewaktu dia memelototi ku lekat - lekat. Ku rasa memang Bu Michiko membenciku karena sepertinya aku tidak dianggap murid olehnya. Mungkin karena aku terlalu bodoh pelajaran bahasa Jepang ya, aku terus berpikir dan selang beberapa menit kemudian guru itu berbicara dimuka kelas.
“Pagi anak - anak.” akhirnya Bu Michiko berbicara. Perlu diketahui Michiko san telah lama mengajar pelajaran ini, tapi entah kenapa murid - murid sepertinya tidak mengerti pelajarannya. Mungkin karena kami masih takut terhadapnya, apalagi mendengar penjelasannya. “Hari ini kita tidak akan belajar apapun,” ia berseru tegas, sementara murid-murid bertanya satu sama lainnya dan kelas pun menjadi ramai, termasuk aku. “Sebagai gantinya, besok akan diadakan ujian,” ia melanjutkan. “Bagi siapapun yang merasa keberatan, dipersilahkan keluar dan dilarang ikut pelajaran Ibu lagi,” kelas hening seketika. “Selamat siang anak-anak!” ia meninggalkan kelas kemudian.
Jam istirahat, aku dan Rio pergi ke kantin untuk sarapan. Kami mengambil tempat dekat jendela agar bisa melihat pemandangan lebih bebas. Rio memesan seafood dan orange juice, sementara aku memesan fried rice dan funk drink. Kami sangat menikmati hidangan sehingga tidak cukup waktu untuk mengobrol dan bel masuk pun berbunyi. Kami segera berbenah dan berjalan menuju kelas. Kami mendengar sebuah pembicaraan sesampainya di kelas.
“Hei! Aku tadi baru dari ruang guru di lantai bawah. Kata mereka, disini akan ada anak baru.” Kaomi menghampiri teman-temannya. Aku memasang telinga untuk mendengarkan dan kudengarkan ia berbicara, aku menoleh pada Kaomi. “Kukira dia memang cantik dan sangat manis lho.” Aku terus mendengarkan dan mataku melihat Kaomi, berikutnya temannya berkomentar dan mereka tertawa gembira. Dasar cewek! pikir ku. “Dia kelihatannya pemalu,” Pemalu? Anak barunya seorang perempuan yang pemalu. Kelihatannya seru, pikirku senang. Aku terus berpikir dan mata ku masih melirik mereka yang sedang berbicara, temannya berkomentar dan kudengar mereka tertawa, telingaku naik-turun mendengarkan. “Dia anak satu-satunya,”Anak satu - satunya? Sudah tentu, bodoh! Gadis pemalu yang kutahu, biasanya anak tunggal. Contohnya seperti Riko! Aku menggeram sendiri, tapi masih ku dengar ia berbicara dan mat ku menoleh kearah mereka. “Dia sepertinya anak orang kaya,” aku semakin mendengarkan. “Tapi bagaimana pun,” mataku melirik Kaomi. “Tidak bisa dibandingkan dengan Kaomi yang cantik ini. Khu, khu, khu !”
“Sombong sekali ucapanmu! Kita tidak bisa tahu sebelum membuktikannya. Siapa tahu dia lebih keren darimu, cepat mendapatkan pacar!” Kazuomi menantang, Miura hanya mengangguk disampingnya.
“Hei, cewek - cewek ! Apa kalian tidak bisa berhenti bergosip? Tidak enak didengar tahu !” Rio masuk mendahuluiku dan menghampiri mereka, aku menyusul menuju ke tempatku. “Apa sih inti pembicaraannya? Cewek-cewek cantik, aku mau dengar.” Aku menatapnya dari kursiku dan kudengar mereka tertawa berikutnya.
15 menit pun berlalu dan Bu guru kami yang akrab disapa Haruka chan, guru yang mengajar pelajaran Ilmu Ukur dan merangkap sebagai wali kelas telah berdiri di muka kelas dengan senyum. Aku sedikit memperhatikan anak perempuan disebelah Bu guru Haruka, yang tak ku kenal. Aku terus berpikir dan selang beberapa menit kemudian Bu Haruka berbicara, mata ku membuka lebar dan ku dengarkan ia berbicara.
“Selamat pagi anak-anak.” Bu Haruka tersenyum. “Ibu membawa berita baik.” Aku melamun. Anak perempuan yang cantik, gumamku dalam hati. Dia memang manis, kataku. Bukan seperti kata Kaomi tadi. Dia sangat berbeda denganmu, aku membayangkan Kaomi dihadapanku. Seratus kali lebih cantik, pipiku bersemu seketika. “Hari ini kalian kedatangan seorang teman baru. Mulai hari ini dia akan belajar bersama kalian.” Aku terus melamun, memikirkan semua kata - kata kaomi tadi. Takku lewatkan memandang gadis disebelah Bu Haruka sambil terus berpikir. “Baiklah. Ibu akan memperkenalkannya pada kalian,” ia tersenyum pada gadis itu,”Ayo, perkenalkan dirimu.”
“Namaku Shinju Miyuka. Mulai hari ini aku akan belajar bersama kalian. Mohon kerja samanya ya,” seru Mika seraya menundukkan kepala. Mataku memandang terus gadis itu tanpa berkedip hingga takku dengarkan namaku dipanggil. Aku terus berpikir dan sekali lagiku dengar namaku dipanggil, aku mengangkat wajahku dan menatap Bu Haruka.
“Piere,” sekali lagi ia memanggilku dan aku tersentak malu. “Mulai hari ini kau akan duduk disebelah Piere ya.” seru Bu Haruka pada Mika dan ia menoleh padaku, berbicara. “Dan Piere, kau akan mengantar Mika untuk melihat sekolah kita. Mengerti ?” ia melihatku dan anak baru itu secara bergantian dan berikutnya aku mengajak Mika, kami memutuskan berkeliling sepulang sekolah.
“Namamu Piere siapa ? Tanya Mika tiba - tiba seusai berkeliling sekolah, aku menoleh pada Mika. “Aku Shinju Miyuka. Kau boleh panggil Miyuka atau Mika saja,” ia mengulurkan tangannya.
“Salam kenal, Mika.” aku menyambut uluran tangannya dengan hangat, kami pun bersalaman. Tak lama aku berbicara dan tersenyum menatap gadis itu. “ Namaku Pierre de Maizere, bukan tipe seorang pengecut. Kau cukup panggil aku Pierre.” seruku.
Mika mengangguk. “Piere, baru kali ini aku akrab dengan cowok. Jadi, bolehkah aku memintamu menolongku ?” seru Mika lagi.
“Boleh, kenapa tidak ? Aku paling tidak bisa menolak permohonan dari cewek,” kupastikan wajahku memerah saat itu, karena aku sangat gugup berbicara dengannya.
“Hmm,,, karena aku masih baru disini, aku masih belum mengerti apa - apa. Aku mohon kau membantuku dalam bekerja sama,” Mika tersenyum menatapku.
“Yaa, itu pasti. Kau tenang saja,” kuacungkan jempolku, “Kau pasti tidak akan menyesal mempercayaiku.” aku pun balas tersenyum. Tiba-tiba ku dengar Mika tertawa dan mataku membuka lebar, menatapnya. Kiniku berkomentar dan Mika terus menatapku.
“Piere lucu deh. Aku tidak salah pilih, kamu pasti orang baik. Aku yakin itu,” Mika tersenyum menatapku, aku bisa merasakan wajahku memerah melihatnya dan kualihkan pandangan mataku berkeliling, tak menatapnya. Kami segera kembali ke lantai dasar sekolahku dan kudengar seorang memanggil Mika, mataku membuka lebar. Kulihat gerombolan anak perempuan kini berbicara dengan Mika dan tak lama membawa Mika pergi.
Aku menyipitkan mataku. Huh ! Mereka menganggu saja ! Pikirku. Padahal sudah semakin dekat tadi! Benar - benar tidak beruntung aku! Aku terus berseru dalam hati. Tak lama kulangkahkan kakiku dengan berat, beranjak pulang menuju rumah.
***

Aku lupa memperkenalkan diriku sebelumnya. Namaku Pierre de Maizere, akrab dipanggil Pierre. Tetapi hanya Riolah yang memanggilku berbeda. Kata Maizere berasal dari bahasa Perancis; yang berarti penuh dengan kelembutan. Aku berasal dari Perancis sana, tapi sekarang sudah menetap di Jepang. Karena tugas Ayahku dipindahkan ke kota ini, aku harus masuk sekolah di Jepang. Begitulah asal - muasal dari kepindahan ku.
Ibuku adalah seorang berkedudukan di Lyon, kota sepakbola terkenal di Perancis. Sejak awal Ibu bekerja sebagai reporter sewaktu aku masih di Perancis, tapi karena beberapa alasan ia meninggalkan kami dan pindah ke Paris. Aku tidak begitu menyukai alasannya, karena itu ketika mengetahui Ayah dipindahtugaskan ke Jepang, aku memilih ikut Ayah.
Ayahku adalah seorang pengusaha yang cuek, karena ia selalu meninggalkan kami dengan alasan yang tidak jelas, jadi aku tak begitu suka dengan Ayah. Sejak awal aku menyayangi Ibu, berbeda dengan sayangku pada Ayah dan kini hubungan kami memburuk. Sejak aku kecil Hubungan Ayah-Ibuku memang tak baik. Tapi sejak mengetahui Hubungan mereka memburuk, aku semakin membenci Ayah. Sewaktu di Perancis aku tinggal bersama Ibu, karena itu aku akrab dengan Ibu. Dua tahun berlalu dan Ayah muncul dihadapanku dan Ibu, kami menerima kenyataan bahwa Ayah dipindahtugaskan, namun malam itu Ayah memintaku bersamanya disaat hubunganku dan Ibu memburuk. Kuputuskan meninggalkan Ibu dan malam itu juga pesawat yang kami tumpangi membawa kami menuju Jepang. Aku tidak tahu alasan Ayah meninggalkan Ibu dan malam itu juga di depan mataku mereka berpisah. Ayahku egois, begitu juga Ibu. Mereka lebih menyebalkan dari apa yang kubayangkan, pikirku kesal. Bodoh ah, aku enggan memikirkannya, seruku dalam hati. Kembali soal Ibu, sampai detik ini Aku tidak mengetahui pekerjaannya dan kuputuskan melanjutkan tugasku. Di Jepang, aku tinggal hanya berdua Ayah di kota Shinjuku, tak jauh dari sekolahku. Sejujurnya sih aku masih belum mengerti bahasa di kota ini, tapi aku sudah mempunyai kegiatan disini. Seperti sepakbola misalnya. Aku memang telah lama suka bermain bola, dulu sekali ketika aku masih kecil dan Ayah-Ibuku masih bersama. Tapi karena kepindahan Ibu untuk bekerja di Paris, aku harus meninggalkan kegiatanku dan menyusul Ayah ke Paris. Ayahku sejak lama memang suka berpergian, meninggalkan Ibu karena pekerjaan. Tetapi ibuku juga sama repotnya dengan Ayah, kuketahui Ibu menjalin hubungan dengan seorang teman yang tak kukenal. Ibu pun memutuskan untuk pindah ke Paris, akhirnya kami menetap di Paris. Tidak betah, dengan berat kulangkahkan kakiku kembali ke kotaku dan aku tidak menemukan seorang pun disana, rumahku telah dikosongkan dan kuketahui juga Ayah telah membereskan barangnya, menghilang dan kutemukan bersama Ibu di Paris sesampainya aku di rumah kami. Mereka telah hidup berdamai, pikirku senang. Namun tahun - tahun berikutnya ketika aku beranjak remaja, Ibu menemukan pekerjaan yang cocok dengannya yang menuntut harus meninggalkan keluarga, ibu pun menjauhi kami dan memutuskan hidup sendiri. Aku tidak bisa mencegahnya, karena itu kutahan diri untuk tidak menangis dan kini aku pun tegar. Beberapa saat Ibu kembali ke rumah untuk membawaku bersamanya dengan senyum, namun keberangkatan Ayah yang mengejutkan ketika Ayah baru tiba di rumah dan kuputuskan ikut Ayah.
Tentang Rio, aku mengenal dia dekat seorang anak perempuan bernama Mimura Chido, teman masa lalu yang hadir di hidupnya. Rio juga dllahirkan sebagai anak tunggal, seperti halnya aku dan karena kesamaan itu kami berteman. Rio kukenal sebagai orang yang asyik dan mudah bergaul dengan banyak teman tak terkecuali aku. Bagiku hubunganku dan Rio begitu istimewanya sehingga dalam banyak hal aku menceritakannya pada Rio sahabatku dan kini kami semakin akrab.
Quaritus Azuito adalah teman terdekat sewaktu aku masih di Perancis, telah kuanggap keluarga dan meski berjauhan kami tetap berkomunikasi. Azu kukenal sebagai orang yang hangat dan menyenangkan, kami mempunyai impian yang sama dan karena itu kami berteman. Azu juga adalah anak tunggal seperti halnya aku dan Rio, kami kini semakin akrab. Bagiku Azu adalah teman yang baik, meski pun tergolong playboy di kalangan gadis-gadis temannya, tetapi ia tidak berniat mempermainkan mereka dan hingga kini ia belum menemukan gadis yang tepat.
Tidak bertemu bukan membuat kami semakin menjauh, tetapi justru dekat di hati. Itulah yang kualami dengan Quiro Masahito, atau gadis yang akrab kusapa Aki sewaktu kami masih di Perancis. Aki yang dulu kukenal sebagai teman dan sesama murid Paris Junior sewaktu kami masih bersama di Paris. Bagiku Aki adalah gadis lembut yang memperhatikanku dan orang yang paling berarti dalam hidup ku saat itu. Sekarang, aku harus memfokuskan diri pada kehidupanku di Jepang, yang menuntutku harus menekuni bahasa yang kupelajari saat ini, karena itulah aku ada disini. Aku telah bertekad, dalam seminggu hal itu pasti terjadi, pikirku bersemangat. Seminggu pun berlalu dan seperti tekadku aku mulai bisa membaur dengan mereka, memakai bahasa Jepang. Just a little, pikir ku. Susah memang susah, tetapi bertahap aku pasti bisa menguasainya, bahkan harus. Karena itulah aku tinggal disini. Aku juga bukanlah seorang pengecut yang menyerah pada keadaan seperti ini bahkan yang terburuk. Aku harus berjuang, seruku dalam hati.
***

“Maizere, aku sudah menunggumu dari tadi,” seru Rio seraya menghampiriku yang baru tiba di sekolah suatu pagi berikutnya.
“Kelihatannya serius. Ada yang penting ?” tanyaku dan mataku menyipit menatapnya.
“Tidak juga kok. Tidak ada apa-apa,” Rio sedikit tertawa, tak lama ia merapatkan bibirnya dan berbicara serius, “Bolos lagi yuk, pelajaran menghitung.” kedip mata Rio kearahku. “Pelajaran itu sekarang membosankan,” ia berkomentar, namun mataku menyipit menatapnya. “Jangan melihatku begitu, ayolah. Kita terlambat menyaksikan berita terheboh,” katanya seraya berjalan mendahuluiku, aku memanggil Rio dan ia menoleh.
“Memang ada apa ? Kok semangat sekali ?” komentar ku.
“Tidak apa - apa,” Rio segera berjalan memasuki gedung sekolah, aku mengikutinya dan kami sepakat bolos satu jam, berikutnya kulangkahkan kakiku mengikutinya menuju perpustakaan.
Memang tak terduga, ternyata guru Ilmu hitung itu cuti melahirkan sehingga kelas kosong satu jam. Kini kulangkahkan kakiku, Rio mengikutiku dan kami berjalan menuju kelas.
Pelajaran ketiga dan ke keempat berjalan dengan cepat. Memang sepertinya Para guru tersebut malas mengajar di hari Sabtu. Ini sangat menguntungkan, pikirku. Karena itu aku bisa belajar lebih banyak lagi tentang banyak kebudayaan di tempat ini, bahkan harus. Sebab aku tertarik sih dengan hal yang belum kutahu disekitarku, seruku bersemangat. Seminggu berikutnya semakin ku mendekati impianku dan ku langkahkan kakiku dengan gembira menuju lambaian teman - teman yang menunggu di lapangan. Kala itu memang hanya Rio, Atsuko, dan Takai yang kutemui di lapangan dan kami melanjutkan perjalanan ke rumah teman kami Akira sekalian mengunjungi Ragnarox Online untuk membeli games terbaru, kami menghabiskan waktu dengan bermain games hingga larut di rumah Akira sesuai perjanjian, merayakan keberhasilanku. Berikutnya pintu kamar Akira terbuka dan seorang Wanita membawakan sejumlah makanan ringan dalam sebuah nampan serta menawarkannya dengan senyum, pintu kamar Akira tertutup perlahan dan kami saling memandang keheranan. Jam dua belas malam, kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah Akira, pulang dan tertidur selelapnya. Besoknya kuketahui juga Mika tidak bersama mereka, dikarenakan katanya seminggu ini sibuk mengikuti kegiatan klub basket yang penting dan berat untuk ditinggalkan, akunya pada Atsuko ketika aku menanyakannya pada Atsuko di kelas hari ini. Begitu ya?, pikirku lemas mengetahui alasan Mika tidak bersama kami sehari ini, katanya dia kelelahan dalam latihan kemarin dan Ibunya tidak mengijinkan masuk hari ini karena demam. Mika menelepon Atsuko pagi tadi untuk memberitahu alasannya. Huh, seperti aku dan Rio saja nih! Pikirku lemas dan berikutnya kulangkahkan kakiku dengan berat meninggalkan Atsuko menuju kursiku, kemudian masih kudengar Atsuko memanggilku dan aku hanya terdiam di kursiku hingga bel istirahat pun tiba. Pk. 09.35 menit yang kulihat di pergelangan tanganku dan dengan berat kulangkahkan kaki ku menjauhi meja ku menuju kantin di lantai dasar. Kata-kata Atsuko masih tergiang - ngiang di kepalaku selang 15 menit aku tiba di kantin dan menempati kursiku didepan meja berbentuk bundar di pojok kantin.
“Mika memang tidak masuk hari ini,” aku masih terdiam di kursi ku selang 25 menit aku duduk di kursiku dan tak kusentuh sama sekali makanan yang kupesan dihadapanku. “Katanya sih kelelahan dan Ibunya tidak mengijinkannya masuk hari ini karena demam. Itulah alasan mengapa Mika tidak bersama kita sekarang ini. Kau jangan marah ya.” aku tidak marah, akuku pada Atsuko beberapa jam yang lalu tadi di kelas. “Dia meneleponku pagi tadi di rumah juga untuk memberitahukan ini. Katanya kau tidak perlu khawatir, dia baik - baik saja kok,” seru Atsuko lagi seraya tersenyum dan aku terus mengingat semua kejadian tadi, beberapa menit kemudian aku pun ikut tersenyum. Tapi mengapa mesti mengatakannya padaku segala ? komentar ku dan Atsuko menjawab. “Ya, karena Mika menyukaimu,” Menyukaiku?, tanya ku bingung. “Oops, iya. Menyukaimu. Tapi sudahlah, soal ini biar dia yang mengatakannya sendiri padamu. Karena sebenarnya ini rahasia! Aku dilarang mengatakannya padamu tapi ya sudah, sudah kukatakan.” Atsuko membungkam mulutnya dengan dua jari dan ia terdiam sesaat, berikutnya ia berbicara. “Mungkin masih cinta monyet, Mika mengatakannya pada ku. Jadi jangan terlalu serius menanggapinya ya ?” ia tersenyum, sementara pikiran ku penuh tanda tanya dan aku bingung menatapnya, ia pun berbicara. “Dia bilang cemas karena yang mengajaknya adalah kau. Tidak seperti Mika yang biasanya, kalau ada seorang lain yang mengajaknya ia siap menolak atau menerima ajakan itu. Berbeda dengan saat kau mengajaknya. Dia merasa sangat takut kalau menolak ajakanmu, kau akan marah dan membencinya. Salah satu teman kepercayaannya yang berharga.” Aku, teman yang berharga? Aku terus berpikir dan kudengarkan ia berbisik seraya menjauhiku. “Pikirkan sendiri, keputusanmu. Tidak ada seorang pun yang dapat merubah keputusanmu, iyakan Piere ?!”. Aku membisu dan tak kudengar ia masih memanggil namaku, kulangkahkan kakiku meninggalkannya yang kebingungan menuju tempatku.
Pk. 10.10 yang ku lihat di pergelangan tangan ku ketika aku sudah setengah menghabiskan makananku di meja dan aku pun tersenyum, berikutnya bel masuk berbunyi dan kulangkahkan kakiku perlahan menuju kelas hingga terhenti pada suara seorang yang memanggil namaku, mataku menatap berkeliling lorong yang panjang dihadapanku dan kini aku menoleh pada seorang yang lama menungguku di depan kelas, aku pun tersenyum.
“Hai! Lama menungguku, Atsuko ?” seruku pada Atsuko disebelahku, Atsuko menggeleng dan selang beberapa menit berikutnya kami masuk kelas. Pelajaran kelima pun dimulai. Tiga hari berikutnya kelasku mengadakan tour ke luar kota dalam rangka menjelajahi alam dan Bu Niroshima sebagai pengajar Ilmu Alam yang memimpin perjalanan ini. Jam tujuh lebih empat puluh lima menit yang terbaca di pergelangan tanganku. Mataku melayang tajam menyapu seluruh isi kelasku dan kusadari Mika tidak kunjung datang ke kelas, pikiranku jadi cemas setelah 15 menit aku menunggu dan aku terdiam di kursi ku.Jam delapan lebih lima belas menit berikutnya, rombongan bus tour membawaku menuju Bukit Orie di selatan kota Osaka. Mataku menoleh pada seorang gadis yang membuka ponsel di sebelahku dan berikutnya ia berbicara di ponselnya. Jam sembilan lebih lima belas menit keesokan harinya kulangkahkan kakiku dengan gembira menuju lambaian tema -teman di sekolah dan mataku menatap berkeliling ketika kami telah jauh meninggalkan gerbang sekolah menuju kelasku hingga kusadari dua mata liar seorang gadis menatapku. Aku teringat pada gadis didalam bus yang kutemui duduk disebelahku kemarin. Kini gadis yang akrab disapa Nuriko itu bergerak membelakangiku dengan setengah suara ia berbisik pada ponsel genggamnya. Sepertinya masalah dengan seorang cowok, pikirku. Ah, tapi bukan urusanku sih, pikirku lagi senang. Berikutnya kulangkahkan kakiku dengan bersemangat mengikuti teman-teman terbaikku menuju kelas. Sekilas kudengar isakan Nuriko dibelakangku saat kami memasuki lorong sekolah dan lima belas menit berikutnya, pelajaran kelima pun dimulai.
Jam delapan lebih lima belas menit keesokan harinya aku menemukan seorang gadis kenalan Rio berbicara denganku di sekolah. Nama gadis itu adalah Chido, ia mengetahui lama tentang kedekatanku dengan Rio dan karena itu menemuiku di depan lorong sekolah, kini kami bergerak menuju perpustakaan dan jam delapan lebih sembilan belas menit yang kulihat dipergelangan tanganku, aku menoleh pada Chido disebelahku dan ia pun membalas dengan senyum.
“Mau bertemu dengan Rio? Biar kupanggilkan,” seruku seraya kulangkahkan kakiku menjauhi Chido ketika kami telah tiba didepan perpustakaan selang 15 menit kami mengobrol, kuketahui juga sejak lama hubungan mereka dan ia menolak dengan ramah.
“Tidak usah,” balas Chido ringan dan ia menatap ku lekat-lekat dan berbicara. “Tolong sampaikan pesan ku,,,” 15 menit berikutnya Chido meninggalkan SMU Shinjutsu tanpa sempat bertemu Rio. Jam delapan empat lima, kulangkahkan kakiku dengan berat meninggalkan lorong untuk mencari Rio, tapi hal yang mengejutkanku dan mataku membuka lebar ketika kulangkahkan kakiku memasuki Klub Judo, Klub yang telah membesarkan nama Rio sebelum aku tiba disini. Dua bulan berlalu sejak Rio mengajakku bergabung dalam Klub Judo sekolahku dan ini tengah memasuki pertengahan tahun sejak kepindahanku di Jepang, kini aku telah resmi menjadi anggota tetap klub itu dan kami pun berteman. Jam delapan empat puluh sembilan berikutnya, mataku menatap berkeliling ruangan latihan Klub Judo selang beberapa menit kulangkahkan kak ku memasuki tempat itu, aku menarik nafas panjang dan tak menemukannya. Jam delapan lima puluh dua menit yang kulihat di pergelangan tanganku saat aku tengah memasuki lorong yang panjang, mataku menatap berkeliling lorong sekolahku dan sudut mataku liar mencari sesuatu di belakangku sambil terus berpikir dan kuputuskan untuk berbalik menuju Klub Judo. Jam sembilan lewat lima menit yang kulihat dipergelangan tanganku ketika telah jauh meninggalkan lorong sekolah dan selang beberapa menit kulangkahkan kakiku mendekati tempat itu, kudengar suara yang akrab ditelingaku dibalik tembok tempat aku berdiri tak jauh dari Klub Judo. Sepuluh menit berikutnya yang kulihat dipergelangan tanganku dan hal yang mengejutkanku ketika kulangkahkan kakiku perlahan mendekati tempat itu, mataku membuka lebar dan aku memasang telinga mendengarkan. Tiga menit berikutnya, pintu Klub Judo perlahan terbuka dan keluarlah dua sosok laki - laki dan perempuan sambil mengobrol.
“Kencan yang kemarin, untuk semuanya terimakasih ya. Aku nggak menyangka akan begini menyenangkan.” seru Atsuko seraya tersenyum menatap Rio dan Rio membalas dengan senyum berikutnya. Jam sembilan lebih sembilan belas menit yang terbaca dipergelangan tanganku ketika kudengar jerit tangis Atsuko dan perlahan kulangkahkan kakiku seraya mendekati mereka, mata ku membuka lebar menatap Rio yang kini berdiri disebelah Atsuko dan ku dengar Atsuko berbicara. “Oh iya, aku jadi berpikir kau mirip seseorang di kelas kita,”
“Siapa?” tanya Rio malas dan Atsuko membalas seraya tersenyum menatap Rio yang kini mengerutkan keningnya sambil berpikir.
“Masa kamu tidak tahu? Piere itu lho, yang baik, keren dan populer dikalangan anak perempuan. Masa tidak tahu, dasar kurang peka sih,” aku?, jeritku dan kudengar Atsuko sedikit tertawa namun kini ia merapatkan bibirnya menyadari Rio mengernyitkan keningnya balas marah menatapnya, “Ah tidak, ternyata hanya pikiranku. Kau sangat berbeda dengannya. Ternyata aku salah ya,” Atsuko mencoba tersenyum namun Rio masih mengernyitkan keningnya dan berbicara keras membuat ia tertunduk, berikutnya tubuhnya bergetar menahan guncangan dan ia menangis keras-keras,
“Kalau begitu, harusnya kamu pacaran saja sama dia, sana!” bentak Rio marah, ia masih mengernyitkan kening menatap Atsuko dan berikutnya kudengar suara tangis yang keras dan tanganku mengepal di kedua sisiku, mataku menyipit menatap Rio. Jam sembilan dua puluh tiga menit, mataku membuka lebar dan berikutnya Atsuko berhenti menangis, kudengar Rio berbicara. “Jangan sama orang yang tidak jelas asal-usulnya seperti aku. Uh, jelaskan. E-eh, Atsuko?” mata Rio membuka lebar menyadari Atsuko menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan ia berbicara. “Aku tidak bermaksud membuatmu menangis, Atsuko. Maafkan aku, tadinya ku pikir kau bukan perempuan,” seru Rio seraya tersenyum dan perlahan Atsuko mendongakkan kepala menatap Rio dengan bingung, “Ternyata betul-betul perempuan ya,” kami menatap Rio penuh dengan tanda tanya.
“Rio, ada yang ingin ku bicarakan. Ini penting. Bisakah kau ikut dengan ku?” Rio menatapku dengan wajah bingung dan di sampingnya, Atsuko berdiri mematung dengan wajah tertunduk dan sebuah gumaman terdengar ditelingaku, kami menoleh karah Atsuko dengan tanda tanya.
“Rio, Maafkan aku ya,” seru Atsuko masih dengan wajah tertunduk, “Maaf, telah merepotkan mu,”
“Maiz, ada perlu apa denganku?” seru Rio perlahan tanpa memperdulikan ucapan Atsuko dan kuarahkan mataku berkeliling halaman terbuka didepan klub judo hingga berhenti menatap Atsuko dengan wajah bingung. ‘E-eh, Atsuko ?’
“Ada yang penting yang perlu kita bicarakan. Ini tidak ada hubungannya dengan yang tadi,” seruku seraya melirik kearah Atsuko yang langsung menyelinap pergi dari hadapan aku dan Rio, kami menatap Atsuko dengan wajah keheranan. Jam sembilan lebih dua puluh lima menit, Atsuko telah menghilang dari kejauhan dan kualihkan pandangan mataku menatap Rio dan berbicara keras.
“Rio, ada yang perlu kita bicarakan,” tekanku sekali lagi menatap Rio dengan mengernyitkan kening kumenyadari Rio masih memandang arah menghilangnya jejak Atsuko, pacar Rio. Beberapa saat Rio masih terdiam, tapi kemudian ia menoleh padaku dan berbicara keras.
“Kebetulan sekali, aku juga ada perlu denganmu. Jadi kita cari tempat lain yang lebih nyaman untuk berbicara. Ayo,” gerak kepala Rio kearahku dan berikutnya kulangkahkan kakiku mengikutinya dan kami bergerak menuju taman belakang sekolah diseberang kantin.
“Kenapa Atsuko sampai menangis ?” tanyaku ketika kami telah berdiri saling berhadapan dibelakang gedung olahraga, mataku manatap berkeliling pekarangan terbuka yang dipenuhi bunga yang sedang mekar. SMU Shinjutsu memang bangunan yang luas, pikirku. Sekolahku punya tiga gedung yang cukup besar dengan pintu yang saling berhadapan. Tapi sayangnya belum ada lapangan untuk kegiatan sepakbola, ditambah lagi memang belum terbentuknya klub sepakbola di sekolah ini. Huh, benar - benar menyebalkan, pikir ku melanjutkan. Jam sembilan lebih tiga puluh lima menit, kudengar namaku dipanggil dan aku menoleh menatap Rio yang kini berdiri disebelahku dengan mengernyitkan keningku dan Rio berbicara.
“Kau dengar pembicaraan yang tadi ya?” Rio balas mengernyitkan keningnya menatapku.
“Ah maaf, tapi tadi aku tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Tapi ada yang lebih penting lagi untukmu,” seruku masih dengan kening mengernyit menatap Rio, sambil berpikir keras. “Chido,” seruku akhirnya dengan suara perlahan.
“Apa itu?” tanya Rio dengan lebih perlahan dan ia tampak berpikir keras, mendengar jawabanku. Sambil tetap mengernyitkan keningnya, Rio berbicara keras seraya menatapku. “Chido ?” Rio mengulang ucapanku seraya berpikir. “Ah, ada apa dengannya ?” jeritnya dengan suara tertahan.
“Chido bilang kalian harus segera membenahi hubungan di antara kalian sebelum dia pergi. Tadi juga dia menemuiku disini tanpa sempat bertemu denganmu, juga untuk alasan ini. Kuharap kalian segera menurunkan ego diantara kalian dan memperbaiki hubungan itu sebelum dia kembali ke Kobe.” seruku sambil kembali mengernyitkan keningku, membuat Rio mengerti pesan Chido.
“Kami juga sudah tidak punya hubungan tuh,” Rio balas mengernyitkan keningnya menatapku, tak mau kalah.
“Tapi tetap saja Chido masih belum kehilangan harapannya padamu. Dia bahkan memohon padaku agar aku membujuk mu untuk berbaikan dengannya,” seru ku dengan suara perlahan, “Pikirkan, Rio. Karena kau belum kehilangan rasa kemanusiaanmu kan?” Rio masih diam mendengarku. “Terus, gimana dengan Atsuko?” seruku seraya mengingat kejadian yang ku lihat tadi, “Kau membuat Atsuko menangis, kenapa ?” tanya ku keras. “Kenapa ?” Rio masih diam sesaat sambil tetap mengernyitkan keningnya, ia berbicara seraya menatapku lekat - lekat.
“Kau ini,” komentar Rio. “Hubunganku dan Chido memang sudah lama berakhir kok sebelum kau datang.” aku masih diam mendengarkan, “Orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya seperti mu, tidak pantas ngomong begitu padaku,” ia kembali mengernyitkan keningnya, menatapku.
“Aku tahu,” jeritku dan Rio masih mengernyitkan keningnya menatapku, “Tapi tetap saja aku tetap akan memaafkanmu bila kau samapai membuat Atsuko menangis lagi,” seruku balas menyipitkan mata ku menatap Rio dan berbicara keras.
“Aku tahu,” balas Rio dengan suara perlahan. Suasana sepi senyap mengelilingi taman disekitar kami, kami membisu. “Baiklah, aku akan menunggumu mengatakan perasaanmu sebelum aku mencari pengganti Chido,” aku membayangkan Mika dibenakku dan berikutnya aku manatap Rio dengan wajah bingung. Ah, apa tidak kapok - kapok juga dia ya, pikirku kesal seraya membayangkan wajah Chido yang memohon dibenakku dan berikutnya kudengar tawa Rio disebelahku, mataku menyipit menatapnya. Ahaha, dasar Rio, pikirku geli. Jam sepuluh lebih lima belas menit, percakapan membosankan itu berakhir dengan cepat dan selang beberapa menit berikutnya kulangkahkan kaki ku perlahan menuju rumah.
***

“Pagi, yah.” sapaku pada Ayah keesokan harinya dirumah dan Ayah membalas dengan senyum berikutnya. Jam tujuh lewat lima belas menit kualihkan pandangan mataku berkeliling ruangan tamu, tempat kami berdiri dan mataku menatap Ayah yang sedang membaca koran hari ini dengan serius, mataku menyipit menatapnya sambil berpikir dan selang beberapa menit kemudian ia langsung sibuk kembali dengan tugasnya. Aku sedikit memperhatikannya sebentar dan selang beberapa menit kemudian ku langkahkan kakiku berlalu, melanjutkan kegiatanku.
***
1st Chapter by: Dessy Carolin

1 comment:

  1. hi there...
    cerita lo bagus d. berasa kayak baca komik jepang, cuma bedanya yang ini nggak pake gambar ^^
    tapi gw mo nanya dulu. ini yg nulis cewek, ya?
    soalnya biarpun tulisannya dari sudut pandang aku-nya pierre, tapi awal2 terasa banget sisi feminim-nya. jujur aja di awal gw sempet ngira Maizere itu cewek loh, sampe ada penjelasan tentang siapa dia.
    saran gw sih lo coba banyak2 gaul ama cowok dan coba selamin gimana pikiran mereka, jadi kalo lo mo nulis dari sudut pandang cowok nggak jadi cowok 'feminim'.
    tapi gw liat2 ke belakang mulai muncul sisi 'macho'nya kok.
    keep up the good work ya!

    ReplyDelete