Feb 5, 2008

Kosmetika Coba-coba

Biarpun keliatannya kayak gembel, gue nggak pernah ngakuin kalau kulit tubuh gue ini berwarna item. Coba aja deh buka pallete color di program grafik Photoshop komputer. Keterangan warna yang sama dengan warna kulit gue sebenarnya adalah cokelat -yang manis. Ya, kayak cokelat dari Swiss itu lho, hehe... atau kalau nggak Jenang Kudus deh. Toh masih manis juga kan?

Biar begitu, gue rada resah gelisah mendesah juga karena ternyata penyebaran warna kulit gue yang tidak merata ini. Punggung tangan, kaki serta lengan tangan gue warnanya cokelat. Tapi agak naik dikit ke lengan bagian atas, betis, paha dan bagian dalam tubuh gue masih cokelat juga, cuma lebih terang. Bukan karena di sono ada lampunya tapi mungkin karena jarang kena sinar matahari. Sayangnya wajah gue termasuk ada di bagian yang terbuka. Karena sering terkena sinar matahari, debu, asap knalpot dan polusi udara lainnya, wajah gue pun menjadi gelap.

Tadinya gue pikir, sebagai cowok nggak masalah kalau penampilan gue biasa-biasa aja gini. Asal kaya, pinter, dan perhatian, maka cewek pun akan mau menerima gue. Namun sayangnya gue ngga menuhin semua kriteria tadi. Cewek-cewek jaman sekarang ternyata lebih suka cowok yang terlihat bersih dan rapi. Kayak cowok-cowok blasteran yang sering muncul di iklan dan sinetron di TV. Blasteran bule maksudnya bukan dengan anjing atau kentut.

Oleh sebab itu berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berabad-abad lamanya gue menjomblo. Dunia percintaan gue seret. Jarang banget ada cewek yang mau deket ama gue, kecuali kalau lagi ada yang butuh tempat curhat karena abis diputus pacarnya, atau sebagai tempat latihan cewek SMP sebelum nembak cowok yang ditaksirnya. Gue cuman jadi pihak yang pasif, sama sekali gak kreatif.

Secara naluri, gue juga butuh seseorang untuk disayangi dan menyayangi gue. Gue pun mulai mempertimbangkan untuk makeover. Mengubah penampilan gue abis-abisan dari sebentuk gembel, jadi sebentuk gembel yang sedikit lebih bersih dan rapi. Inspirasinya sih datang dari temen-temen kos gue sendiri.

Ceritanya, salah satu temen kos gue ada yang mirip banget ama Nicholas Saputra. Kulitnya putih, hidungnya mancung, tapi pipinya agak tembem. Sebut saja dia Kopiannya Nicholas Saputra atau Koplasap. Si Koplasap yang lebih muda beberapa tahun dari gue dan ganteng presto ini rajin banget merawat diri. Meski nggak banci, kosa kata produk kecantikannya nggak kalah lengkap dari petugas salon yang banci. Orang-orang nggak perlu heran kalau seminggu sekali dia luluran (di kamar mandi, sendiri, bukan diluluri banci salon). Tiap pagi Koplasap rajin pake pemutih wajah sebagai pengganti bedak dan malamnya pake susu pembersih. Dan kalau mau pergi, hukumnya wajib bagi Koplasap untuk pakai pewangi. Kalau parfum favoritnya yang bisa bikin cewek-cewek jadi gokil itu abis, dia jadi kelimpungan. Untungnya gue punya banyak persediaan minyak kayu putih dan balsem otot untuk menenangkannya.

Ternyata nggak si Koplasap aja yang rajin merawat diri. Teman kosan gue yang lain juga sama saja. Yang ikhwan aktivis dakwah dan yang dosen muda psikologi EyeCandy juga demen pakai kosmetik. Harus kita akui, dewasa ini keberadaan cowok-cowok metroseksual semakin marak. Gue serasa ketinggalan jaman, dan hidup seperti Tarzan selama ini. Terlalu naif dan apa adanya.
Gue pun nanya-nanya ke mereka, gimana biar kulit wajah dan tubuh gue bisa dibikin lebih putih. Tapi jangan pakai ampelas atau dempul tentunya.


“Pake kosmetik yang bisa bikin putih dalam enam Minggu itu aja, mas,” kata si Koplasap.

“Betul,” sambut si dosen psikologi EyeCandy. “Tapi itu aja nggak cukup. Kamu juga mesti luluran. Coba deh ‘Lulur Tampan Pangeran Raja’,” ucapnya bijaksana. Seolah semua masalah cowok jomblo yang berkonsultasi padanya dikarenakan mereka belum pernah pakai lulur merek norak itu. Si Ikhwan aktivis dakwah cuma manggut-manggut dikit. Menjaga masker irisan ketimun di wajahnya biar tidak jatuh.

Gue akhirnya mengikuti saran mereka. Berbagai pemutih kulit yang ada di iklan TV gue coba semua. Dari yang katanya bisa mencerahkan dalam enam minggu sampai yang bisa memutihkan hanya dalam 14 hari. Tapi ternyata nggak ada satu pun yang sesuai dengan iklannya. Kulit gue tetap cokelat gelap... lap... lap... Cewek-cewek masih nggak bisa ngelihat gue dengan takjub.
Gue yakin cewek cakep yang jadi model iklan itu udah putih dari sononya. Mungkin pas lahir kecemplung di kolam cat. Gue curiga iklan itu cuman trik kamera atau edit video aja. Kayak yang biasanya gue lakuin pada foto gue yang ada di komputer. Tinggal di-photoshop: tampang gelap jadi terang, baju ijo jadi biru, wajah jerawatan jadi mulus. Sayangnya Photoshop nggak bisa dipake dalam kenyataan. Kalau bisa praktis banget hidup ini.


“Mas Yozar bener-bener pengen jadi putih?” tanya si Nur, pacar temenku yang akhir-akhir ini kelihatan lebih chubby dan putih. Pasti kosmetik yang dipakainya cespleng. Bukan cuman camilan yang dimakannya. Aku mengangguk bersemangat. Mungkin ada cara lain untuk memutihkan kulit tanpa harus memakai kosmetik. Gue udah capek.

Si Nur mengeluarkan dua krim beda warna dalam dua wadah silinder dari dalam tasnya. Yang satu kuning muda, yang satu cokelat muda. Dahi gue langsung mengerut dan bibir gue tertarik ke bawah. Yang pasti gue bukan lagi senam muka. Kosmetik lagi? batin gue.

“Ini bukan sembarang kosmetik, mas,” kata Nur seolah bisa membaca pikiran gue layaknya seorang dukun sunat.

“Kalau mas pakai kedua krim ini. Dijamin deh, dalam waktu beberapa hari aja kulit mas bisa seputih kulitku,” katanya berpromosi. “Pasti manjur!”

Manjur! Sebuah kata yang provokatif. Seorang sales yang baik nggak cuman ngomong sampai mulutnya berbusa-busa dan berasap saja. Sebagai mahasiswi Ekonomi semester empat, Nur rupanya cukup pintar. Dia menawarkan produknya sambil memperlihatkan hasilnya: Wajahnya yang kelihatan lebih putih dari pas gue ketemu dia pertama kali (Tentu saja, waktu itu kan gue diajak pacarnya ke rumahnya dan dia belum sempat pakai bedak).

Biar begitu gue akhirnya nyoba juga saran si Nur. Gue pesen dua biji krim tanpa merek seperti itu darinya. Krim yang berwarna kuning dan lengket kayak lem tikus dipakai sebelum tidur, sedangkan krim yang cokelat muda dan wangi tinja dipakai di pagi hari. Sehari-dua hari belum begitu kelihatan hasilnya. Layaknya tobat, ternyata obat pun butuh waktu. Dan di hari ketiga gue mulai merasakan hasilnya: kulit gue perih, merah-merah, dan mulai mengelupas!

Ternyata krim pemutih itu nggak cocok ama kulit gue. Gue panik bukan kepalang. Apalagi saat mami gue bilang, “Wah, Yoz kenapa wajah kamu kayak kena radiasi gitu? Makanya jangan sering di depan komputer.”

Dengan penampilan seperti ini, mau ditaruh di mana muka gue?! Di kolong tempat tidur? Atau malah di kolong jembatan aja?

Gue pun meminta pertanggungjawaban si Nur. Tapi jawabnya, “Emang gitu reaksi kosmetiknya, mas. Sabar aja. Ntar juga kalau udah mengelupas semua kulit mas jadi putih, mulus, dan bercahaya.”

Yak, bagus sekali. Biarin aja semua kulit gue mengelupas. Abis itu kumpulin semua, jemur, lalu goreng. Ta-ra! Jadilah kerupuk rambak kulit manusia. Bukan kulit Kerbau. Dan permukaan tubuh gue bakal jadi belang-belang kayak orang panuan.
Tapi karena sama sekali nggak pengalaman soal kosmetik, sekali lagi gue kemakan juga omongannya si Nur.


Seminggu kemudian ternyata keadaan kulit gue masih sama aja. Gue pun memutuskan berhenti menyiksa diri. Untung (bukan namanya, tapi yang artinya kebetulan) salah seorang tante gue punya salep anti iritasi. Dengan berbekal salep itu, perlahan-lahan kulit gue pun balik seperti sediakala. Udah nggak perih lagi, udah nggak merah-merah lagi, dan udah nggak pada mengelupas lagi. Baik dan sehat!... Dan juga gelap :(

Gue akhirnya menyadari bahwa biarlah kulit gue gelap apa adanya. Toh pesona seorang pria biasanya diukur dari dompetnya, bukan warna kulitnya. Seperti layaknya seorang preman bejat, gue pun bertobat. Gue berjanji dalam hati nggak akan pake kosmetik yang nggak jelas juntrungnya lagi.

Biar begitu gue masih kepikiran juga soal salep yang dikasihin tante gue. Benda itu sungguh sangat berjasa menyelamatkan muka gue.

“Tante dapet salep anti iritasi dari mana kemarin?” tanya gue yang sedang duduk santai di teras rumah, sambil menyedot es lilin rasa rujak yang pedes-pedes nikmat.

“Dari dokter kulit langganan tante.”

“Oh.”

“Kenapa, manjur banget kan?”

Manjur! Kata yang sakral itu sekonyong-konyong muncul lagi dan dengan teganya merasuki akal sehat gue. Seharusnya tante jangan pernah sekali-kali mengatakannya. Bahkan bila dia disekap dan diancam mau disetrum juga.

Secara spontan gue pun bertanya, “Kalau pemutih kulit yang manjur, dia punya juga nggak?”

“Ya jelas iya,” jawab tante gue tanpa curiga. “Kalau Yozar mau, tante bisa ajak ke sana.”

“Boleh-boleh.”

“Tapi biaya periksanya agak mahal. Minimal dua ratus lima puluh ribu.”

“Yah, nanti saya bobol ATM dulu deh,” jawab gue tanpa daya. Tawaran ini terlalu menarik untuk diabaikan. Demi semua cinta, demi para gadis di dunia, semua tobat, semua sakit, semua dosa sekarang sudah terlupa. Gue pun kembali terjerumus ke dalam jurang kosmetika coba-coba.

Cerpen by: Yozar F. Amrullah

7 comments:

  1. Yup, but still many people (IMHO women espescially) sacrifice many things for beauty

    ReplyDelete
  2. amru...pengalaman pribadi ya??? :D

    ReplyDelete
  3. so far, so good, make it more fun yach???

    ReplyDelete
  4. hahaha sumpah lucu bgt cerpennya, pasti pengalaman pribadi y? heheheh

    ReplyDelete
  5. @ quavi (lia) & mita: ehem.. kurang lebih begitu lah, hehe..

    @ ameru & my talent machine: thank you

    ReplyDelete