Aku merangkak ke pintu kamar. Aku mengintip dari celah dinding bambu, ke ruang keluarga yang juga berguna sebagai ruang tidur, runag makan, dapur, bahkan kalau terpaksa, kamar mandi.
Ibu terduduk di kursi. Membenamkan muka dalam-dalam ke lutut. Baju-baju Ibu berserakan di lantai. Ayah berdiri seperti patung seorang pejuang yang pernah aku lihat di jalan dekat sini. Dengan berkacak pinggang dan mata melotot Ayah seperti mau melompat dan menelan Ibu bulat-bulat.
Aku menempelkan telinga, berharap ada yang bisa kudengar. Benar saja.
"Pergi kamu dari rumah ini kalau kamu nggak betah! Rumah ini mau aku jual!" kata Ayah.
"Aku sama Misha mau tidur di mana, Mas? Ini rumah keluargaku! Kamu yang menumpang di sini, kan?" ratap Ibu sembari tersengguk pilu.
"Persetan rumah siapa ini! Pokoknya aku mau jual rumah ini! Toh kalian hidup dari hasil aku main judi! Harusnya kalian senang hati. Siapa tahu kita akan kaya sebentar lagi setelah aku menang kali ini!" Ayah melangkah pergi.
Tetapi Ibu melompat dan merangkul kaki Ayah sambil terisak. "Mas Aryo, aku mohon jangan! Mau tinggal dimana lagi kita ini? Mau menggelandang? Paling-paling uangnya Mas pakai judi lagi."
"Bangsat!" Ayah menendang muka Ibu. Ayah menendangku dengan perlakuannya kepada Ibu. Aku merasakan sakit Ibu.
"Nggak mau tahu mau kemana. Pokoknya rumah ini aku jual! Kalau menang, aku belikan kamu rumah yang lebih besar. Malam ini kita harus pergi!" Ayah membanting pintu di belakangnya. Tinggal ibu sendiri, menutup mukanya dan cairan bening terus mengalir dari matanya.
Aku menghampiri Ibu dan merangkulnya. "Ayah kemana lagi, Bu?" Ibuku hanya menyunggingkan satu senyuman.
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi memetik bintang pagi.
∙∙∙
Tidurku terganggu saat ada seseorang yang mengguncang-guncang badanku. Aku terbangun, mengerjapkan mataku. Ada seseorang di samping tempat tidurku, menempelkan telunjuk di bibirnya dan menyuruhku diam.
"Ibu?"
Ibu membawaku pergi. Ibu membawa tas yang agak besar. Apa itu, aku tak tahu karena aku masih setengah bermimpi. Kami berjalan keluar rumah dengan tergesa.
"Kita mau kemana, Bu?"
"Ibu tak tahu, yang pasti keluar dari penjara ini…"
Setengah bermimpi, aku merasakan ini masih malam hari. Setengah bermimpi, aku melihat Ibu berjongkok lalu melakukan sesuatu. Setelah itu, Ibu membawaku berlari menjauh dari tempat itu.
Setengah bermimpi, aku melihat tempat yang baru saja kutiduri sekarang berada dalam kobaran api. Setengah bermimpi, aku mendengar ada suara orang berteriak-teriak panik menyayat hati. Setengah bermimpi, aku merasakan hujan mulai turun lagi.
"Ayah mana, Bu? Kenapa tidak ikut kita pergi?" Ibu hanya tersenyum kecut sambil terus berlari.
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, "Ayah pergi bersama kobaran api."
C .M
Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan