Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Oct 12, 2009

Ayah Pergi di Tengah Hujan (2)

Malam ini seperti malam kemarin lagi. Ada angin ribut menyambangi rumah kami yang reyot di bantaran kali ini. Sehingga setiap kali aku tidur, suara teriakan dan sumpah serapah itu merasuk ke dalam alam mimpi, membuatku tak bisa lelap tertidur sampai pagi esok hari. Seperti tak ada guna aku berdoa, kalau mimpi buruk menyelimuti setiap hari.

Aku merangkak ke pintu kamar. Aku mengintip dari celah dinding bambu, ke ruang keluarga yang juga berguna sebagai ruang tidur, runag makan, dapur, bahkan kalau terpaksa, kamar mandi.

Ibu terduduk di kursi. Membenamkan muka dalam-dalam ke lutut. Baju-baju Ibu berserakan di lantai. Ayah berdiri seperti patung seorang pejuang yang pernah aku lihat di jalan dekat sini. Dengan berkacak pinggang dan mata melotot Ayah seperti mau melompat dan menelan Ibu bulat-bulat.


Aku menempelkan telinga, berharap ada yang bisa kudengar. Benar saja.

"Pergi kamu dari rumah ini kalau kamu nggak betah! Rumah ini mau aku jual!" kata Ayah.

"Aku sama Misha mau tidur di mana, Mas? Ini rumah keluargaku! Kamu yang menumpang di sini, kan?" ratap Ibu sembari tersengguk pilu.

"Persetan rumah siapa ini! Pokoknya aku mau jual rumah ini! Toh kalian hidup dari hasil aku main judi! Harusnya kalian senang hati. Siapa tahu kita akan kaya sebentar lagi setelah aku menang kali ini!" Ayah melangkah pergi.

Tetapi Ibu melompat dan merangkul kaki Ayah sambil terisak. "Mas Aryo, aku mohon jangan! Mau tinggal dimana lagi kita ini? Mau menggelandang? Paling-paling uangnya Mas pakai judi lagi."

"Bangsat!" Ayah menendang muka Ibu. Ayah menendangku dengan perlakuannya kepada Ibu. Aku merasakan sakit Ibu.

"Nggak mau tahu mau kemana. Pokoknya rumah ini aku jual! Kalau menang, aku belikan kamu rumah yang lebih besar. Malam ini kita harus pergi!" Ayah membanting pintu di belakangnya. Tinggal ibu sendiri, menutup mukanya dan cairan bening terus mengalir dari matanya.

Aku menghampiri Ibu dan merangkulnya. "Ayah kemana lagi, Bu?" Ibuku hanya menyunggingkan satu senyuman.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi memetik bintang pagi.

∙∙∙

Tidurku terganggu saat ada seseorang yang mengguncang-guncang badanku. Aku terbangun, mengerjapkan mataku. Ada seseorang di samping tempat tidurku, menempelkan telunjuk di bibirnya dan menyuruhku diam.

"Ibu?"

Ibu membawaku pergi. Ibu membawa tas yang agak besar. Apa itu, aku tak tahu karena aku masih setengah bermimpi. Kami berjalan keluar rumah dengan tergesa.

"Kita mau kemana, Bu?"

"Ibu tak tahu, yang pasti keluar dari penjara ini…"

Setengah bermimpi, aku merasakan ini masih malam hari. Setengah bermimpi, aku melihat Ibu berjongkok lalu melakukan sesuatu. Setelah itu, Ibu membawaku berlari menjauh dari tempat itu.

Setengah bermimpi, aku melihat tempat yang baru saja kutiduri sekarang berada dalam kobaran api. Setengah bermimpi, aku mendengar ada suara orang berteriak-teriak panik menyayat hati. Setengah bermimpi, aku merasakan hujan mulai turun lagi.

"Ayah mana, Bu? Kenapa tidak ikut kita pergi?" Ibu hanya tersenyum kecut sambil terus berlari.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, "Ayah pergi bersama kobaran api."


Malang, 22 Februari 2009, 14:14
C .M

***


Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan

Read More ..

Oct 7, 2009

Ayah Pergi di Tengah Hujan

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

Aku tahu itu hanya akal-akalan Ibu supaya aku cepat tidur dan tak banyak tanya lagi. Padahal aku sudah cukup besar untuk mengerti. Umurku sudah sepuluh tahun dan guruku sudah menjelaskan bagaimana terjadinya pelangi. Aku sudah tak bisa lagi dibohongi.

Aku bisa melihat bagaimana Ayah dan Ibu bertengkar lagi malam itu dan mengapa sampai bertengkar lagi. Aku mendengar mereka saling teriak, saling bentak, bahkan hampir saling jambak. Aku bisa mendengar Ayah marah-marah dan memaksa Ibu menjual perhiasannya untuk membayar hutang-hutang Ayah setelah kalah bermain judi. Aku bisa mendengar Ibu marah-marah dan mengatai Ayah bukan suami yang baik, kerjanya di rumah menganggur saja atau main judi.

Kata Ibu, lebih baik kawin lagi. Ayah tak bisa terima, lalu marah dan hampir membanting kursi. Rumahku kacau balau saat itu, seperti ada badai menyinggahi. Aku meringkuk di sudut kamarku, berharap prahara segera pergi. Aku hanya anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Tak seharusnya aku berada dalam suasana tegang seperti ini. Sudah tiga kali lebaran seperti ini. Mau jadi apa aku nanti kalau cara mendidikku saja seperti ini?

Suara hujan yang menghantam atap rumah teredam suara Ayah dan Ibu yang membahana. Ada sesuatu pecah. Ada sesuatu ambruk. Aku meringkuk. Aku menunduk. Aku ingin mengintip tapi aku takut. Aku kalut. Kuberanikan diri. Ibu jatuh terduduk. Air matanya menitik. Ayah diam mematung. Tangannya teracung. Ayah mengambil sebuah kotak lalu melangkah pergi meninggalkan Ibu sendiri. Bahkan Ayah pura-pura tak melihatku.

Aku menghampiri ibu. Ibu memelukku sambil terisak pilu. Mau tak mau aku ikut menangis bersama Ibu. Aku bingung. Cemas. Ketakutan menguasaiku. Setiap hari aku dibayangi pikiran bagaimana kalau Ayah tak kembali. Siapa nanti yang menghidupi kami? Aku hanya bisa berdoa dalam hati.

"Ayah kemana, Bu?"

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

∙∙∙

Hari ini hujan lagi. Seolah langit ikut menangisi keluarga kami. Aku merasa sendiri di dunia ini. Sosok ibu tak mampu memayungi hatiku. Sosok ayah tak mampu menenangkan jiwaku. Meski mereka begitu baik di depanku, entah mengapa mereka tak bisa sebaik itu saat satu sama lain bertemu. Selalu ada pemicu. Selalu ada sesuatu yang membuat suasana menjadi panas, tegang, dan diakhiri dengan tangis Ibu atau Ayah menggerutu. Selalu seperti itu.

Saat aku pulang sekolah, Ayah tak ada di rumah lagi. Ibu menyambutku di depan pintu, dengan mata lebam dan pipi memerah. Aku tahu apa lagi yang terjadi selama aku belajar di sekolah. Aku malas pulang ke rumah. Tak tahan aku melihat Ibu terus-terusan disakiti Ayah dan cuma bisa pasrah. Aku bertanya kemana lagi Ayah sekarang.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menyongsong matahari.

Bohong. Kemarin Ibu bilang Ayah pergi menjemput pelangi. Tetapi tadi pagi tak ada satu warna pun yang aku lihat mewarnai rumah ini. Padahal seharusnya Ayah membawa warna-warni bagi rumah kita agar tak selalu tenggelam dalam kesuraman. Aku ingin ada pelangi di rumahku. Sekarang Ibu bilang Ayah pergi menyongsong matahari. Aku sangsi apakah nanti malam atau besok pagi Ayah pulang membawa matahari. Membawa sinarnya yang akan memberikan harapan baru bagi kami? Aku tak percaya.

Paling-paling Ayah pergi main judi lagi.

bersambung


Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan

Read More ..

Sep 23, 2009

Lelaki Bermantel Panjang (2)

Takut-takut, aku menoleh padanya. Betul-betul menoleh, memuntir kepalaku ke arahnya. Namun, lelaki itu tak mendongak sekalipun. Ah, mungkin salah dengar? Bukankah rasa takut memang mencemari pikiran? Mungkin kepalaku sendiri yang berbisik.

“Erika!”

Hah! Kali ini, setelah mendengarnya—siapa pun ‘nya’ itu—menggemakan namaku, aku tak menoleh lagi. Aku berjalan makin cepat… tak melambat… makin cepat …makin cepat, hingga akhirnya berlari-lari kecil. Kurasa memang lelaki itu telah menyebutkan namaku cukup keras. Memanggil bukan cuma menyebut apalagi mengeja. Tapi oh, suara lelaki itu mirip sekali dengan suara seseorang yang pernah kukenal. Mirip sekali…

Aku tahu, meski dari sekian ratus juta penduduk di negara ini memiliki tingkat probabilitas kemiripan suara, tapi suara yang barusan terdengar amat familiar. Bukan cuma familiar, tapi juga dekat. Dekat sekali seolah-olah mengenalnya seumur hidup.

Melalui kedua telinga, kudengar langkah jadi ramai seolah kakiku ada empat. Sialan! Lelaki itu masih juga mengikuti. Ia ikut berlari. Napasku mulai terengah-engah dan kakiku makin pegal. Namun, aku terus berlari tanpa mau tertangkap. Apa yang akan terjadi jika ia berhasil menangkapku? Aku akan berlari terus sampai… sampai apa? Ah, kenapa pula rumahku tak kunjung kelihatan? Rasanya tak pernah selama ini. Jangan-jangan lelaki yang mengikutiku ini hantu, dan aku tengah ‘dikerjainya’ sehingga tempat tujuan tak jua sampai?

Ketika pikiran-pikiran itu makin tak keruan, pertanyaan ini menyelip: mengapa lari? Ya, kenapa aku mesti lari? Aku bisa berhenti dan menanyakannya. Lagipula, tasku hari ini cukup berat dipenuhi buku hard cover—lumayan kalau menghantam kepala.

Ya, berhentilah, Erika.

Maka, aku berhenti di pertengahan gang itu. Dari sini, rumahku tersayang sudah kelihatan. Lelaki itu juga berhenti sekitar 10 meter dariku. Bahunya yang tampak bidang naik-turun dengan cepat. Tentu ia sama terengah-engahnya denganku.

“Sebentar! Siapa kamu? Maaf kalau salah, tapi dari tadi kamu terus mengikutiku,” kataku seraya menurunkan tas; menggenggam talinya untuk berjaga-jaga.

Lelaki itu mendongak. Inilah yang aku tunggu: melihat wajahnya. Entah mengapa, aku tercengang. Peganganku pada tali tas mengendur, sementara gudang memoriku membongkar-bongkar isinya; mencari-cari data di mana aku pernah mengenal lelaki itu.

Ya, aku mengenalnya! Sorot matanya tajam digelayuti kantung mata yang membuatnya sendu… Terutama saat kulihat bekas luka menggores alisnya yang lurus. Ingatan itu sudah berdiri di ujung lidahku, seperti sebuah kata yang hendak dikatakan, namun terlupakan. Aku tak berhasil mengucapkan kata apa itu, tapi aku tahu betul yang dimaksud. Aku tahu aku mengenalnya, tapi siapa? Di mana? Kapan? Bagaimana aku mengenalnya?

“Hei, aku mengenalmu, kan?” desisku.

Lelaki itu hanya tersenyum. Kantung matanya menyembul sementara matanya menyorotkan kesenduan tersembunyi yang hanya dia dan Tuhan yang tahu kenapa. Betapa tak adil; aku tak bisa mengingatnya. Ini pasti efek benturan di kepala akibat kecelakan setahun yang lalu. Kuasa Tuhan menyelamatkanku kala itu, sementara lelaki yang memboncengku wafat. Aku pun tak terlalu ingat siapa lelaki yang wafat itu, tapi ibuku bilang namanya Armono.

Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku. Ia terpaku di tempatnya tanpa canggung dan tak terlalu mengintimidasi—berbeda dengan persepsiku sebelumnya. Apakah ia akan berdiri terus di situ, mengantongi tangannya, dan tak menjawab pertanyaanku? Aku pun jadi urung menanyakan ulang. Aku tahu ia tak berbahaya. Aku dapat merasakannya.

Selang beberapa detik, lelaki itu melangkah mundur pelan-pelan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, tanpa sekali pun berhenti menatapku sambil senyum seperti tadi—dengan sorot mata sendu tersembunyi. Ia membuatku tergugu, sehingga mengharapkannya supaya tak pergi. Namun, lelaki itu tetap pergi pada langkah mundur ke empat. Lalu, menghilang ditelan kegelapan sunyi di ujung gang.

***

“Bu, seperti apa wajah Armono itu?”

Ibuku beranjak dari kursi goyangnya menuju rak penyimpan album foto. Beliau membalik-balik halaman per halaman, kemudian berhenti di tengah. Ia kembali duduk di kursi goyang dan meletakkan album itu di pangkuanku. Dengan telunjuknya ia menyentuh sebuah foto, dimana aku tengah berpose bersama seorang lelaki, berlatar belakang lautan. Rambut kami acak-acakan tersapu angin yang sepertinya cukup kencang.

Jadi, inilah si Armono itu. Ibu bilang kami sudah berpacaran cukup lama…

Aku tersentak bangun. Tanggal berapa ini? Kalenderlah hal pertama yang kucari, seperti seorang pengasuh yang baru sadar bahwa anaknya belum pulang padahal malam sudah berganti subuh.

Ah, tadi aku memimpikannya: percakapan antara aku dan Ibu, sebulan setelah kecelakaan itu. Ya, sekarang aku ingat siapa lelaki yang mengikutiku semalam. Pantas begitu familiar. Air mataku pun mengakuinya.

Di pelupuk mata, menari-nari angka 23, bernaung di bulan September. Kemarin adalah satu tahun kematian Armono.

***

Cerpen oleh Novrisa Wahyu Wulandari

Read More ..

Sep 16, 2009

Lelaki Bermantel Panjang

Orang itu terus saja mengikutiku. Menyusuri tiap jejak langkahku. Ke mana pun aku memilih arah, ia ikut. Jalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala sedemikian rupa, sehingga aku tak dapat melihat mukanya yang tertutupi fedora. Siapa, sih, dia? Sungguh mengintimidasi. Entah dari mana asalnya, tapi sejak memasuki gapura kompleks, pria itu terus saja mengikuti. Langkahku makin cepat, ia tetap menyusul. Langkahku lambat, aku malah ketakutan. Ia memang tak melakukan apa-apa—sejauh ini, tapi tingkah lakunya mencemaskan dan mencurigakan.

Pukul 21.30 begini, sudah tak ada angkot yang biasa melewati kompleks. Naik taksi terlampau mewah bagiku. Lagipula, aku sedang irit—tanggal tua, dan upah sebagai penulis lepas di sebuah majalah hampir habis sebelum waktunya. Aku selalu memilih ojek untuk pulang malam. Selain tak ada kendaraan lain, ojek lebih cepat sampai ke kompleks tempat tinggalku, dimana aku tinggal bersama Ibu dan seorang pembantu rumah tangga.

Sebelumnya aku tak pernah cemas pulang semalam apa pun. Hari ini aku menghabiskan waktu di kampus demi menyelesaikan skripsi yang tinggal 2 bab lagi; mencari berbagai referensi pelengkap. Bertemu dosen pembimbing agak sore karena yang bersangkutan mesti mengajar sejak pagi. Tak terlalu lama, tapi butuh revisi di sana-sini. Dan ini sudah yang ke sekian kalinya. Ditambah Ibu Dosen Pembimbing memintaku untuk melengkapi berbagai aspek yang menurutnya kurang. Aku hampir menyerah saja kalau setelah ini masih juga disuruh revisi.

Betapa melelahkan hari ini! Terutama kehadiran lelaki bermantel panjang ini. Sedikit menyesal kenapa tak sekaligus minta diantar sampai di depan rumah oleh tukang ojek. Kalau tahu bakal diikuti seperti ini, tentu aku minta diantar sampai Jl. Bukit Barisan.

Aku berjalan sambil memberanikan diri dan ia masih di belakangku, berbalut mantel panjang selutut warna hitam yang dikancing, tangan yang dimasukkan ke dalam saku mantel, kepala menunduk, bertopi fedora, bercelana abu-abu, dan bersepatu hitam kulit bertali. Mengingatkanku pada mafioso di film The Godfather. Hanya saja... aku tak tahu ia menyembunyikan pistol di balik saku itu atau tidak. Apa ia bertujuan membunuhku atau tidak. Hiii, jangan sampai! Tentu aku masih ingin hidup. Lagipula, punya dosa apa aku sama sanak keluarganya? Sama teman-temannya? Koleganya? Tahu tampangnya saja tidak.

Aku biasa-biasa saja. Aku tak pantas diikuti sedemikian rupa seperti ini. Ataukah kebetulan? Mungkin, kebetulan, di tengah jalan kami berpapasan dan berhubung tempat tinggal kami di RT yang sama kompleks yang luas ini, maka ia terus jalan di belakangku tanpa putus seperti bayangan. Mungkin saja ia akan hilang di belokan depan sehingga tak melengkapi kecurigaanku selama beberapa menit ini. Namun, pria itu tak menghilang di belokan depan, belakang, samping, atau mana pun.

Angin bertiup sedikit-sedikit, kadang banyak-banyak, tapi tetap nyaman. Langit malam ini sepi. Bulan tak kelihatan. Bintang absen berkelap-kelip genit. Awan gemawan hitam menyembul dari mana-mana. Seekor kucing kecil di atas genting entah siapa mengeong keras, nyaring, mungkin minta turun. Tapi kalau memang ia tak bisa turun, bagaimana caranya naik? Apa dia berada di atas situ begitu saja? Atau digondol kucing yang lebih dewasa karena iseng sekaligus sebal dengan kucing kecil kurus tanpa induk dan berisik itu? Ataukah dia terpaksa manjat ke genting karena menghindari sesuatu yang mengikutinya sedari tadi? Seperti aku.

Kutolehkan muka beberapa detik lalu, dan pria berpenampilan seperti mafia itu masih juga membuntuti. Berkali-kali kulambatkan cara jalanku agar pria itu mendahului—barangkali memang ia tak mengikutiku. Tapi ia tak cepat-cepat. Langkahnya berangsur sama lambatnya denganku. Sementara sneakers-ku berdebam-debum di aspal, sepatunya berceletak-celetuk membelah sunyi yang meningkatkan kecemasanku.

Sambil berbelok ke sebuah gang, aku melirik keberadaan lelaki itu. Jalur ini memang jalan pintas menuju rumahku. Jalur biasa jauh. Terlalu jauh untuk menyelamatkan diri secepatnya. Aku bersumpah apabila orang itu masih juga mengikuti, aku akan menghajarnya dengan tongkat kasti dan ketapel. Asal tahu saja, aku masih suka mengantongi ketapel ke mana pun pergi. Memang agak aneh bagi seorang perempuan usia 20-an mengantongi ketapel bukannya semprotan merica atau batubata, tapi melakukannya menjadi jaminan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Entah kenapa.

“Erika…”

Hmm? Aku terkesiap seraya melambatkan jalan—hampir berhenti, tapi atas alasan keselamatan aku mempercepat langkah kakiku yang mulai gemetar ketakutan ini. Sumpah, aku mendengarnya membisikkan namaku: Erika… Apakah aku mengenalnya?

Mendongaklah sedikit, Tuan Mafioso!

bersambung

Cerpen oleh Novrisa Wahyu Wulandari

Read More ..

Sep 9, 2009

One Night Love

Malam itu keduanya pun bercanda-canda dan saling menceritakan hobi masing-masing, seakaan mereka teman yang sudah kenal lama. Tidak ada rasa canggung ataupun segan. Feli yang sifatnya easily impressed mudah sekali menerima Adit yang sangat ramah dan friendly. Di saat Feli benar-benar melupakan Revo karena suasana nyaman yang dibangun Adit, handphone Feli pun berbunyi. Orang yang sangat ingin dihilangkannya dari muka bumi malah menelpon.

Revo Calling...

“Aarggghh.” Feli segera mematikan handphone-nya lalu memasukannya ke dalam tas.

“Rese banget sihh, pasti nanti nelpon-nelpon lagi deh.” Feli bergumam sendiri.

Adit hanya diam dan melihat Feli. Bukan melihat tapi memerhatikan. Rasa kesal Feli yang muncul lagi dan teringat kembali kejadian itu membuat Feli langsung saja curhat ke Adit, Feli merasa tidak bisa lagi menahan kekesalannya.

“Arrrrgghhhh, bete banget... Lo bayangin ya, Dit, Cowok gue ciuman sama temen gue sendiri di depan mata gue.”

“Wooow! Gila juga ya... tapi emang lo udah denger penjelasan dia?”

“Penjelasan? Gue rasa udah jelas dengan tindakan dia itu.”

“Ehhmm. Jadi lo yakin banget dia 100 persen salah?”

“Iya.” Jawab Feli tegas. Mereka berdua pun terdiam. “Lagian kenapa gue harus denger penjelasan? Kan, semuanya udah jelas.”

Cause everything have a reason. Walaupun memang pada akhirnya cowok lo yang salah, lo tau, kan, kenapa dia berbuat itu dan jadi pelajaran buat lo. Nah, kalo lo cuma bisa lari, lo gak akan dapet apa-apa. Yang ada lo akan stuck dengan keadaan yang masih gak jelas.” Perkataan Adit membuat Feli sedikit berpikir dan merenung.

“Mungkin lo ada benernya Dit. Thanks, ya, lo udah kasih ceramah yang bantu gue.”

“Ya udah bayar, kan, penceramah pasti dibayar.”

“Iiihh, gitu banget. Gue bayar pake lagu aja.”

“Emang lo bisa nyanyi?” Nada suara Adit meremehkan Feli.

“Eitss... sini gitar lo.” Pinta Feli. Ia pun segera pindah tempat duduk ke samping Adit.

As so much I love you.” Feli memulai lagunya. Lagu Hate that I Love You pun berkumandang sayup-sayup di pojokan kedai kopi bertaraf internasional yang sekarang pengunjungnya hanya tinggal mereka berdua.

Mereka berdua tenggelam dalam indahnya alunan gitar dan suara Feli. Adit menatap dan memerhatikan Feli begitu dalam. Tatapan itu membuat jantung Feli tiba-tiba berdegup kencang. Ia bahkan tak sanggup menyelesaikan bait terakhir lagunya. “Nih, gantian.” Feli mendorong gitarnya ke Adit dan membiarkan Adit memainkannya.

Feli masih tidak percaya bagaimana bisa ia begitu gugup bersebelahan dengan Adit. Ia merasa tak karuan sekarang. Tak mungkin Aphrodite begitu cepat menancapkan panah cintanya ke hati Feli, tapi Feli merasa sekarang Aphrodite telah melakukannya. Tapi mana mungkin bisa jatuh cinta dengan pria yang baru dikenal dua jam yang lalu? Feli berusaha meyakinkan hatinya.

Saat Adit menoleh ke Feli dan memberikan senyumannya, Feli sangat yakin kalau di sudah jatuh cinta dengan pria yang baru dikenalnya ini. Yang dilakukan Feli sekarang hanya bisa menatap matanya Adit, begitu juga Adit. Adegan pandang-pandangan ini berlangung sekitar lima menit. Entah apa yang ada dipikiran Adit, yang Feli rasakan hanyalah cinta.

“Maaf mas, kita udah mau closing.” Tiba-tiba seorang waitress menginterupsi kegiatan pandang-pandangan mereka.

“Oh, oke.” Adit pun segera merapikan laptop dan membungkus kembali gitarnya.

Mereka berdua segera melangkah keluar bersamaan. Perasaan Feli masih bercampur aduk, ia merasa sekarang logikanya sama sekali tidak bisa berkerja, karena hatinya sudah menguasai dirinya.

“Pulang sama siapa?” Tanya Adit.

“Sendiri, Gue bawa mobil, kok.” Jawab Feli sambil menunjuk ke belakang.

“Oke, bye.” Adit berbalik duluan, tapi badannya masih ragu. Ia berbalik lagi ke Feli, “Ehhm, hati-hati ya udah malam. Bye.” Ia pun melangkah balik.

“Dit.” Panggil Feli, “Thanks ya.”

“Iya.” Adit pun sekarang akhirnya benar-benar pergi dan melangkah menuju mobilnya.

Feli masih tidak percaya kalau Adit pergi begitu saja, tidak ada nomor handphone atau alamat rumah. Bahkan Feli baru sadar ia tidak tahu siapa Adit itu sebenarnya. Yang Feli tau ia sudah jatuh cinta dengan pria yang meninggalkan dia begitu saja. Cinta Feli dimulai malam ini dan berkhir malam ini pula.

Feli baru sadar picks gitar Adit masih ada di tanganya.

Mobil Adit baru mulai berjalan. Feli segera berlari mengejar Adit, namun stiletto sangat tidak mendukung Feli malam ini. Akhirnya Feli memutuskan untuk berhenti.

Picks gitar berwarna hitam dan bertuliskan ‘play with soul’ ini lah yang akan menjadi satu-satunya kenangan yang tertinggal dari Adit.

Tiba-tiba handphone Feli berbunyi lagi. Feli sedikit bingung karena tadi ia yakin sudah mematikannya handphone-nya. Saat melihat layar handphone-nya, ternyata itu dari Revo. Oke, sekarang logika Feli mulai mengambil alih, mana mungkin tiba-tiba Adit yang tidak tau nomor Feli bisa menelponnya.

“Ya, kenapa?” Feli segera menjawab Revo. Ia yakin yang dikatakan Adit benar, kalau semuanya pasti ada sebab dan tidak ada salahnya untuk mengetahui apa yang terjadi daripada harus terjebak dalam ketidak-jelasan.

Dalam hati Feli berucap terima kasih untuk Adit, teman untuk satu malam, pria yang membuka pikiran Feli, menyanyikan lagu untuk Feli, menghibur Feli, dan memberikan indahnya rasa jatuh cinta, juga untuk tissue basah yang menghapus noda maskara yang luntur.

***

Cerpen oleh Rosnalia

Read More ..

Sep 3, 2009

One Night love

Gaun putih, bracelet perak dan stiletto sama sekali tidak membuat Feli tampak cantik kali ini. Bahkan sekarang Feli seperti zombie di film-film hantu karena maskara yang unfortunately tidak waterproof itu luntur. Feli Menangis. Ia sama sekali tidak menyangka kalau malam minggu ini akan menjadi malam minggu terburuk dalam hidupnya. Pasalnya candle light diner yang sudah dibayangkan akan menjadi malam terindah dalam hidupnya hancur berantakan.

Ia tidak pernah menyangka memberikan kejuatan dengan menjemput Revo, pacarnya, malah mendatangkan musibah besar. Feli melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Revo sedang berciuman dengan temannya, Siska—yang sekarang musuh bagi Feli. Tamparan keras belum cukup bagi Feli untuk membalas rasa sakit hatinya ke Revo, tapi Feli memutuskan untuk pulang daripada ia harus mendengarkan penjelasaan yang menurut Feli hanyalah sebuah pembelaan diri.

Perjalanan dari rumah Revo ke rumah Feli sekarang terasa lebih jauh dari biasanya, tangisan Feli dan suara penyiar radio saling berlomba. Yang ada dipikiran Feli hanyalah adegan Revo dan Siska yang berciuman di depan teras rumah Revo. Untungnya alam bawah sadar Feli yang terjaga, membuat Feli tetap dalam kondisi pengemudi yang benar.

“Huhuhuuu.. dasar cowok sialan,” umpat Feli.

“Siska juga cewek murahan, apa-apaan sih mereka ciuman di depan teras. Dasar pasangan tidak beradab!” Tangisan Feli semakin kencang.

“Maksudnya Siska apa coba? Dia, kan, tau kalo gue sayang banget sama Revo.” Di saat Feli sibuk mengumpat, tiba-tiba radio Jakarta memutarkan lagu Where Are You dari J. Roman feat. Soluna yang merupakan lagu Feli dan Revo.

Baru mendengarkan bait pertamanya saja tangisan Feli semakin menjadi. Langsung saja ia mengganti stasiun radionya. Terhindar dari Where Are You, ia sekarang harus mendengarkan Take A Bow-nya Rihanna. Dan sekarang Feli benar-benar menangis dan memberhentikan mobilnya tiba-tiba. Ia merasa tidak akan sanggup lagi menyetir dalam keadaanya ini. Feli yang masih berada di daerah Thamrin memutuskan untuk sejenak menenangkan diri di Starbucks.

Feli menghela nafas panjang. Aroma hot chocolate sedikit menenangkan pikiran Feli. Ia menyandarkan kepalanya ke sofa lalu memejamkan matanya, sejenak. Saat ia membuka matanya, tiba-tiba ada seorang pria di hadapannya.

“Waaaaaaaaa. Siapa lo?” teriak Feli kaget.

“Emmhh, kayanya ini tempat gue deh. Tadi gue ke toilet bentar tapi...”

“Oh, Sorry sorry.” Balas Feli. Segera, ia berdiri dan mencari tempat, namun sayangnya malam minggu membuat tempat itu full dengan pengunjungnya.

“Di sini aja juga gak apa-apa, gue sendirian kok.” Cowok itu mempersilahkan berbagi tempatnya ke Feli. Mana ada cowok yang tega mengusir cewek yang matanya sembab dan sendirian di malam minggu.

Feli sekarang hanya menatap hot chocolate-nya sambil curi pandang ke cowok di depannya yang sedang sibuk dengan laptop. Ia masih bingung bagaimana bodohnya ia, sehingga tidak sadar kalau tempat ini ditempati orang.

Ganteng juga. Tiba-tiba kalimat itu terlintas di pikirannya. Tipikal cowok manis yang pendiam dan tampaknya ia cowok yang pintar. Ini terlihat dari pembawaanya yang kalem dan serius. Tiba-tiba cowok itu menatap balik Feli, tertangkap basah sedang melihat cowok itu membuat Feli salah tingkah.

“Nih..” tiba-tiba cowok itu memberikan Feli tissue basah.

“Buat?" Tanya Feli bingung.

“Maskaranya.“ jawabnya ragu. Dan saat itu pula Feli langsung mengeluarkan compact powder-nya dan melihat bagaimana mengerikannya wajahnya.

“Thanks.” Ucap Feli sambil menghapus sisa-sisa make up-nya.

“Adit.” Tiba-tiba cowok itu memperkenalkan dirinya.

“Feli.” Jawab Feli.

“Kayanya hari yang berat ya?” Tanya Adit tiba-tiba. Feli menjawabnya hanya dengan sebuah anggukan dan senyuman kecil. “Wanna hear a good song?” tanpa mendengar jawaban Feli, Adit langsung saja mengambil gitarnya. “Summer parade by Depapepe, bisa naikin mood, loh.”

Fell annoyed. Tentu saja tidak, Feli malah merasa sedikit terhibur dengan Adit yang sangat ramah dan sedikit sok deket. At least, ada sesuatu yang bisa melupakan Revo untuk sejenak. Permainnannya sangat sempurna. Adit memainkan lagu Summer Parade sama persis dengan Depapepe. Usaha Adit untuk membuat mood Feli naik itu pun berhasil.

“Woow.” Feli kagum dengan permainan gitar Adit. Ia pun tanpa segan memberikan applause.

“Gue suka banget sama depapepe, gue punya satu album di iPod gue.”

“Gimana udah gak bad mood?”

“Ehhmmm, kayanya satu lagu lagi deh baru bisa ilang bad mood-nya.”

“Oke.” Adit langsung saja memetik gitarnya dan sekarang ia menyanyi. Feli sedikit terpana mendengar suara Adit yang sangat merdu. “Ayo tebak lagu siapa?” Tanya Adit tiba-tiba yang membuat Feli segera bangun dari lamunannya.

“Emmhh... aduhh gue lupa lagu siapa.” Feli masih terus menerawang nada-nada tadi dan memikirkan lagu apa tadi. “aaahhh lupaaaa.” Feli pun menyerah, “terus itu lagu siapa?”

“PR buat lo. Ehhehhe.” Jawab Adit.

bersambung


Cerpen oleh Rosnalia

Read More ..

Aug 26, 2009

George (2)

"Yak, sepertinya waktunya sudah cukup. George harus berangkat secepatnya untuk memulai tour perdananya," guruku tiba-tiba berkata.

"Apa kau sudah selesai?"

"Belum," aku menggerutu.

Oke, aku bodoh. Tuhan, ulangi waktu beberapa detik saja untukku agar bisa menjawab pertanyaan George dengan benar!

Tangannya tiba-tiba sudah sampai di mejaku. Jari-jari panjangnya hampir menyentuh jari-jariku hanya beberapa milimeter--

"Ini untukmu," George berkata dengan pelan. Kuperhatikan tatapan sopannya sambil merasakan tangan kami yang sedang bersentuhan. Dingin. Surat untukku dari dia pun sudah di genggamanku.

"Aku belum selesai," aku berkata. Kata-kataku hampir tidak bisa keluar dari tenggorokanku sebagaimana mestinya.

"Apakah suratnya panjang?" ia bertanya. Bukan panjang bodoh, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Berhenti menatapku seperti itu.

"Kau mau yang panjang?" aku tanya balik.

"Surprise me."

George berdiri dari tempat duduknya lalu menyebarkan surat-surat yang ditujukan kepada yang lain. Guruku membantunya. Aku mengambil oksigen di sekitarku sedalam mungkin. Aku benar-benar hilang inspirasi.

Setelah ia sudah balik ke bangkunya untuk mengambil tasnya, ia menaruh semua surat dari teman-teman sekelasku di tasnya yang berwarna kelabu itu. Ia menatapku lalu bertanya, "sudah?"

Aku mengangguk. Kulipat suratnya lalu kuberikan kepada dia. Sekali lagi, tangan kami bersentuhan. Firasatku sentuhan itu akan jadi yang terakhir. Pertemuan kami ini pun akan jadi yang terakhir.

Ia tiba-tiba tersenyum.

"Ada apa?" aku bertanya.

"Kau tidak ingat, ya?"

Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mengerti apa yang ingin ia sampaikan.

"Tidak apa, lupakan saja," ia menjawab dengan datar. Ia berjalan ke depan kelas, mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya untuk terakhir kalinya lalu meninggalkan ruangan. Aku masih pangling tapi aku yakin, yakin sekali bahwa ia tidak menaruh suratku di dalam tasnya. Ia menggegamnya erat di tangan kirinya.

"Ha! Konyol sekali anak itu!" Salah satu murid di kelasku tiba-tiba mengetuk keheningan yang ganjil itu. Aku melihatnya menggenggam surat dari George. "Ia hanya menulis, 'Aku suka baju oranyemu.' Konyol sekali!"

"Ia menulis 'Cuaca hari ini panas sekali, ya?' di suratku!" perempuan di sampingku berkata.

"Hey, ini tulisan seorang rockstar! Akan laku keras kalau dilelang!!"

Keributan pun membuat kelas rusuh. Diantaranya terkesima dari surat George, ada yang membentuk lingkaran, berbisik-bisik rencana penjualan surat berisikan tulisan George, sisanya membuat kertasnya jadi kertas pesawat.

***

Hening. Istirahat, semuanya sudah keluar dari kelas kecuali aku. Aku membuka suratnya lalu perlahan membaca. Hanya ada dua buah kata yang tersirat di kertas putih itu.

Maafkan aku.

Untuk orang lain, kedua kata itu tidak akan berarti apa-apa. Tapi dua kata itu mampu membasahi kedua pipiku. Mataku terselimuti butiran air mata yang tak mampu kubendung, merabunkan mataku, menyengat kulitku saat airnya meraba pipiku perlahan-lahan. Kehangatan dari air mataku bagaikan buih-buih yang satu-satunya bisa bersimpati kepadaku saat itu. Aku benci diriku sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa George menanyakan apakah aku ingat sesuatu. Sweater hijau yang ia kenakan milikku.

Saat itu musim hujan, anginnya terlalu berbahaya untuk siapapun yang keluar dari gedung rumah sakit. Aku tidak bisa pulang, dia tidak bisa keluar karena harus menemani bapaknya. Aku heran mengapa ia hanya memakai baju lengan panjang yang sangat tipis. Aku yang memakai tiga rangkap sweater pada malam itu memberikan salah satunya kepadanya.

Kami bercerita dari guru-guru yang berbau kubis dan sup sampai cita-cita kita di masa depan. Aku sudah tahu suatu saat ia akan meninggalkan sekolah kita menjadi apa yang diinginkannya. Semua sudah terjadi saat pertama kalinya aku melihatnya di TV, memainkan alunan gitar dengan kemampuan bakatnya dan potensialnya yang amat besar.

"Bagaimana denganmu? Apa yang kau inginkan di dunia yang belum tersampaikan?"

"Memakan burger terbesar," aku jawab lirih.

Ia tertawa. Tertawa lepas sekali. Malam itu aku ingin menghiburnya sebisa mungkin. Aku mendengar bahwa bapaknya kian keras dengannya, adu fisik pun sering terjadi di rumahnya. Kunjungan ke suster sekolah yang sering, memar di tangannya menjelaskan segalanya.

Walaupun malam itu hanyalah malam dimana aku berbincang panjang lebar dengannya. Semenjak itu, sejak malam itu, ia tidak pernah balik lagi ke sekolah. Seperti Tuhan sudah mendesain kejadian itu. Seperti Tuhan menginginkan aku terlukai oleh kepergiannya. Seperti Tuhan ingin menyakitiku.

Kuusap tangisan terakhirku. Aku tidak terisak, aku tidak bersuara, hanya air saja yang keluar dari mataku dan tidak ada yang bisa memberhentikannya selain waktu. Aku menyesal memberikan surat yang kuberikan kepadanya. Aku sungguh menyesal.

***

Sesosok lelaki berumur belasan tahun sedang duduk di salah satu kursi bandara. Ia memperhatikan layar TV yang memberitahukan kapan keberangkatannya ke New York. Tangannya memegang secarik kertas, kertas yang satu-satunya yang akan dibacanya. Surat dari dia, si pemberi sweater hijau. Ia membukanya, menarik nafas perlahan, tidak melepasnya sampai ia mengedipkan kedua matanya untuk memastikan kata-kata yang tertera di kertas itu benar.

Selamat jalan.


Cerpen oleh Nadya Imanda Sabran

Read More ..

Aug 19, 2009

George

Pernahkah kau berpikir kau tahu masa depanmu? Kau tahu dan yakin apa yang akan terjadi padamu detik itu juga? Tidak perlu membaca majalah, menelusuri halaman Astrologi dan berharap apa yang dikatakan oleh para peramal itu benar-benar akan terjadi. Aku tahu masa depanku. Karena aku telah menapaki masa depanku kemarin, hari ini dan juga besok. Semua hal yang sama terjadi di hari berikutnya. Ironisnya, hari-hariku seperti jarum jam yang hanya bisa berputar mengitari 12 angka dan langkah selanjutnya melakukan hal yang sama.

Kutatap guruku dari bangku paling belakang. Seketika keributan kelas terkuliti, pena yang terjatuh pun terdengar begitu kencang di telinga. Hening.

“Anak-anak, perhatian semua,” guruku memulai, “Hari ini ada berita buruk."

Mataku kemudian tertuju ke pintu yang diketuk dengan cukup sopan. Seketika pintu terbuka dengan pelan. Kulihat guruku tersenyum simpul saat melihat sosok yang berdiri dengan canggung di balik pintu, seperti guruku sudah menantinya dari tadi. Perlahan, salah satu murid di kelasku yang hampir setiap hari absen sudah berdiri di depan kelas.

"George, ayolah, sodorkan senyuman tenarmu itu," hibur sang guru.

Ada yang salah dengan cahaya di ruang kelas. Aku yakin itu, aku sangat yakin. Saat ia memasuki ruangan kelas, sepertinya hanyalah George yang bersinar. Mungkin cuaca di luar menjelaskan semuanya, saat matahari mengikis kulit dan menyengat mata, hanya Georgelah yang berkulit putih. Seperti hantu. Ini musim panas, bagaimana ia bisa terlihat seperti lilin? Mengapa ia mengenakan sweater berwarna hijau di cuaca panas seperti ini?

"George Vawandia sayang sekali harus meninggalkan sekolah," guruku memulai. Perhatianku pun teralih olehnya. Seketika perutku mengoceh perlahan, seperti ada beban.

"Well, kita semua tahu apa yang harus kita lakukan bila ini terjadi," guruku tersenyum, mengambil setumpuk kertas dan pena lalu diberikannya kepada George, "duduklah di tempatmu sebentar, ini tidak akan lama kok."

Aku tahu apa yang diinginkan guruku, begitu juga dengan murid yang lain. George pun mengerti. Kita pernah melakukannya setidaknya dua kali tahun ini. Si kembar Anna dan Annie Anggani yang harus ke Semarang, juga kota Surabaya yang memanggil Ryan Dunn membuat , sekelas melakukan ritual yang membosankan. Memberikan setiap murid sepucuk kertas berisikan kesan dan pesan. Aku tidak begitu kenal dengan ketiganya, jadi di ketiga kertas aku hanya menulis, "Selamat jalan."

George berjalan ke tempat duduknya saat dia sudah memegang lembaran kertas dan pena. Mata coklatnya tiba-tiba menangkap kedua mataku yang meneliti sweater-nya. Aku pernah melihat sweater itu... Tapi dimana? Aku mendapatkan George beradu tatapan denganku. Setidaknya untuk beberapa milisekon. Ia segera mengalihkan tatapanya ke tembok.

Ia duduk persis di depan bangkuku. Tempat yang biasanya kosong berisikan oleh dia sekarang terlihat begitu asing. Seperti ia tidak pernah cocok memasuki bingkai kelas.

Mataku menelusuri punggungnya yang terselimuti oleh sweater hijau. Hidungku perlahan mengendus, mencium parfumnya yang sudah lama tak pernah kucium. Ia tidak pernah berubah. Ia masih berbau vanila, kulitnya seperti warna vanila. Rambutnya yang halus bagaikan coklat topping yang harus segera dimakan sebelum meleleh. Kedua tanganku terkepal, kukuku menggali daging telapak tanganku. Aku tidak tahu apakah alasanku yang tiba-tiba ingin mengelus rambutnya. Sial, beban di perutku muncul lagi.

Aku mengalihkan perhatianku dengan mengambil secarik kertas, karena sepertinya semuanya sudah memulai menulis "pesan dan kesan" mereka untuk George. Sebagian besar murid di kelas bingung ingin menulis apa. George tidak pernah dikategorikan sebagai "murid" di kelas kita semenjak kenaikan kelas. George pun sepertinya terlihat bingung. Aku perhatikan jari panjang telunjuknya menggaruk sisi kiri kepalanya.

Menulis sepucuk surat kepada orang di depanku bagaikan memberikan surat kepada orang asing. Tidak akan berkesan dan juga pasti tidak akan dibaca.

Alasan ia harus meninggalkan sekolah karena dunia memanggil namanya. Seorang rockstar, itulah George sekarang. Semenjak ia memasuki band butut itu, ia merekam album perdananya lalu boom, dunia ini tidak berputar sebagaimana mestinya untuk George. Aku mulai menghiasi kertas dengan tinta hitamku, kutulis namanya, menaruh koma setelah itu berhenti.

George,

Aku tidak tahu harus menulis apa. Sungguh, aku tidak tahu.


bersambung


Cerpen oleh Nadya Imanda Sabran

Read More ..

Aug 12, 2009

Kamila (2)

“Camilla, jangan harap kau menang!” sulut Rose saat kami berdua menghabiskan sandwich telur buatan Mom.

“Oh, tentang Kodiak?”

“Kau menyukainya, kan?”

Aku menggeleng. “Cuma teman.” Lalu aku buru-buru menambahkan untuk melihat reaksi Rose.

“Teman akrab.”

Rose nyaris muntah saat aku mengatakannya. Dua-kosong, Rose. Kemenangan yang harusnya membuat bangsaku bangga. Mungkin aku bisa dikenang sebagai pahlawan nasional dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Yay, aku suka ide itu.

“Bercanda,” kataku polos, “aku tahu kau yang menyukainya.”

“Kau ingin mulai perang makanan sekarang?”


“Nanti malam saja. Perang masker ketimun.”

“Oh, Kamila. Kumohon, seriuslah. Cuma kau yang mendapat tepuk tangan Kodiak, tadi.”

“Barangkali aku sedang mujur.”

Rose tampak pucat, sepucat manisan prem yang diawetkan bertahun-tahun. Harusnya aku senang karena poinku bertambah jadi tiga, tapi kali ini aku merasa sangat menjijikkan kalau aku mengibarkan bendera kemenangan. Kenapa ya?

“Kau sakit?” tanyaku segera.

Dia tidak menjawab. Tangannya menyeka keringat yang melunturkan maskaranya. Ini membuat wajah Rose semakin tak karuan.

“Rose!” teriakku. Semua orang menatapku dan mereka semua tahu kalau aku dalam masalah. Lumayan gawat, karena tak ada saksi sama sekali dan bisa-bisa aku dijebloskan ke penjara gara-gara membuat saudara angkatku tersedak telur. Konyol.

Dia mulai batuk-batuk. Aku segera menepuk semua bagian yang bisa kutepuk, entah berguna atau tidak. Setelah segumpal kuning telur yang tidak lagi kuning berhasil dimuntahkan dari mulutnya, wajah Rose kembali berwarna krem.

“Hampir saja,” ujarku. “Kau kenapa sih?”

Dia tidak menjawab dan mengacungkan sesuatu padaku. Wajahku langsung menjadi manisan prem yang diawetkan seabad. Uh oh.

Itu kertas yang diberikan Kodiak kepadaku.

***

“Jadi, kau ingin Camilla pergi dari sini,” tanya Mom kepada Rose saat kami bertiga di ruang makan. “Cuma gara-gara dia merebut pacarmu?”

“Mom,” aku membela diri, “aku tak merebut siapapun! Bahkan Rose juga tidak pernah pacaran!”

“Sok tahu!” balas Rose.

“Kenyataannya memang begitu kan?!”

Rose terlihat tak tahan dan berteriak, “Pergi sana! Ke tempat dimana kau ditemukan dulu!”

Sedetik kemudian, dia mendekapkan tangan ke bibirnya, “Maafkan aku! Aku tak bermaksud, Kamila!”

Mom bahkan tak bisa berkata apapun. Kupingku memanas, mataku berair, tapi aku kehilangan kata-kata. Aku berlari ke kamar. Menangis.

Tak lama kemudian aku mendengar pintu kamar berderak dan muncul Rose. Oh, pasti dia disuruh Mom untuk minta maaaf atau uang sakunya dipotong sebulan penuh. Saudara macam apa dia?

“Maafkan aku, Kamila.”

“Untuk apa?” aku muak memandang wajahnya.

“Untuk semuanya. Kodiak dan....”

“Dan tanah airku! Keluargaku! Kau pikir aku menyukai tsunami menghantam kampungku dan meninggalkanku sebagai yatim piatu di sana!”

“...aku benar-benar menyesal. Waktu itu semuanya keluar begitu saja.”

“Tapi kau menikmatinya, kan!”

“Kamila, dengar. Aku tahu kita terlalu sering bertengkar, dan kita bahkan tak bisa berbagi odol atau shampo enam bulan ini. Tapi aku ingin kau tahu, bahwa aku menyayangimu.” dia menambahkan dengan tekanan yang sangat lembut. “Sebagai saudara.”

Saat itu aku menuntutnya. “Buktikan.”

“Dengan apa?”

“Sesuatu yang selalu kau lakukan padaku.” Aku menunjuk wajahku. Kuharap dia mengerti. Hei, dia orang Amerika dan kupikir bahasa nonverbal jauh lebih mudah untuk digunakan.

“Oh...,” dia mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Ah, dimulai dengan huruf k!

“Sempurna,” kataku saat aku melihat namaku di sana. “Sini kutambahkan.” Aku menambah hati dan empat huruf lainnya di bawah namaku. “Kamila dan Rose. Saudara selamanya.” Lalu kutunjukkan itu padanya.

Entah kenapa dia yang menangis duluan dan aku yang mengikutinya. Kali ini aku yang tidak kreatif!

Mungkin kalau Mom masuk dan melihatnya, dia akan berpikir bahwa kami berdua adalah dua orang idiot dari suku bangsa berbeda, dengan warna kulit dan rambut berbeda, bahasa dan dialek yang berbeda, namun memiliki sepasang hati yang sama. Ah, kata-kata yang bagus!

Dan, Mom benar-benar masuk dan melihat kami berdua berpelukan sambil saling merengek.

“Aku melihat kemajuan!” Soraknya. “Jadi, bagaimana kalau kita makan di luar sekarang. Ada restoran Italia baru di blok sebelah! Ayo Rose, Camilla!”

Rose mendahuluiku berdiri.

“Hei Mom,” katanya “Dia bukan Camilla!”

Aku terperangah. Dia memang benar-benar berubah! Aku memberinya tanda penuh persetujuan dan sedikit banyak aku mengagumi keberaniannya sekarang.

Dia menjulurkan lidah ke arahku, “Panggil dia Camille, sebab nama itu jauh lebih bagus untuknya.”

Argh! Dia mulai lagi!

***

Cerpen oleh Ben Jacob
http://readlicious.blogspot.com/

Read More ..

Aug 5, 2009

Kamila

Aku benci saat Rose menulis namaku dengan c dan e. dan dengan dobel l. Hei, aku ini orang Asia, bukan Eropa!

Apa kalian pikir aku akan ikut-ikutan budaya kalian dengan mudahnya?

“Tapi, Camille jauh lebih indah daripada Kamila,” kilah Rose saat aku marah padanya.

“Suka-suka aku!” bentakku pada saudara angkatku itu. Aku sudah di rumahnya selama enam bulan, dan tidakkah dia mengerti arti namaku sedikitpun? Kamila tersusun atas kaf dengan fathah, mim dengan kasrah, dan lam dengan fathah lagi. Kalau bukan ketiga huruf itu, arti namaku akan berubah!

“Kau tahu bunga camellia? bukannya namamu berasal dari sana?” tanya dia lagi. Dasar seenaknya. mentang-mentang namanya berasal dari nama bunga lantas dikiranya nama semua orang harus dari tetumbuhan berkelopak?

“Ngaco. Kamila artinya sempurna!”

“Bahasa apa itu?”

“Arab!” sergahku cepat.

“Kau bilang kau dari Indonesia!”

“Apa itu berarti namaku harus berbau Indonesia?”

Rose terdiam saat aku menanyakan itu. tahu rasa dia. “Yah, tidak harus, sih.”

“Rose Amelie McKevin,” aku menyebutkan namanya dengan memainkan setiap suku kata sehingga terdengar seperti suara yang dihasilkan saat aku menggesek ketiakku.

“Diam!” dia melemparku dengan bantal.

“Kalau begitu balas aku!”

“Namamu kan cuma Kamila!”

“Memang. jadi kau kalah!” aku membalasnya dengan bantal. Senang rasanya menjadi unggul dibandingkan manusia-manusia kaukasia ini. sekali-kali setidaknya bangsa Indonesia bisa menang melawan orang Eropa.

Aku terkikik, dan dia ikut-ikutan terkikik. Dasar tidak kreatif!

“Apa kalian bertengkar lagi?”

Suara itu menghentikan kikik kami berdua. Lebih tepatnya membekukan. Seperti waktu aku mencelup tanganku di danau beku, rasanya mungkin seperti itu.

“Rose, tak bisakah kau berhenti menggoda Camilla?” Mom mulai meracau. Nah, aku suka saat Rose kena masalah setelah dia membuat masalah denganku. Tapi Mom juga salah. Aku bukan Camilla!

“Camilla, maafkan Rose. Jangan tanggapi dia kalau dia mulai bertingkah lagi,” lanjut Mom. Bagus, aku juga kena. Dari jauh kulihat sorot mata Rose meliar. Kupastikan Rose melihatku juga pada posisi siaga. Dalam diam, pertengkaran kami berlanjut.

Setelah Mom pergi, Rose mendesah, “Kau tahu, mungkin Mom ada benarnya juga.”

“Maksudmu tentang jangan menanggapi tingkahmu?”

“Bukan, tapi namamu lebih bagus kalau ditulis dengan Camilla!”

Argh!

***

Di sekolahku, kelas yang sama dengan Rose, aku duduk di belakang Kodiak. Kami berdua sama-sama jadi korban dalam urusan nama, hanya karena kami bukan orang Amerika. Ini rasis sekali!

“Codiac, maju,” Mr. Preston menyuruhnya membaca puisinya di kelas.

“Sir, namaku Kodiak,” protes Kodiak.

“Terserahlah. Baca saja.”

Kodiak maju dan membaca puisinya. Seluruh kelas menjadi hening, bahkan Rose berhenti mengetik SMS di bawah mejanya. Aku tahu dia tergila-gila dengan Kodiak, dan parahnya dia bisa menulis Kodiak dengan benar. Sedang namaku? Puih.

“Lumayan,” ujar Mr. Preston, “selanjutnya Camilia.” Dia memanggil namaku.

“Ka-mi-la,” koreksiku tegas, dan aku mulai membaca. Seperti biasa, jari-jari Rose kembali bergerak cepat dan beberapa anak di sudut kembali mengobrol. Bagus, hanya Mr. Preston yang mendengarkanku dengan separo hati.

Dan setelah aku membaca cuma Kodiak yang bertepuk tangan. Satu-kosong, Rose.

“Puisimu bagus,” kata Kodiak saat Rose maju, “begitu berbeda.”

“Terima kasih. Orang-orang Melayu biasanya pintar membuat sajak.”

“Oh, kau dari Malaysia?”

“Indonesia,” jawabku santai, “hanya saja daerahku dekat sekali dengan Malaysia. Cuma segini.” aku memeragakannya dengan memisahkan kedua tanganku hingga berjarak kira-kira dua milimeter, “di peta.”

“Wow.” Kodiak melongo. “Lalu kenapa kau pindah ke sini?”

“Beberapa hal terjadi begitu cepat dan tahu-tahu aku di sini.”

Setelah Rose selesai membaca puisinya, tidak ada yang bertepuk tangan. Lalu bel pelajaran berbunyi, sehingga aku dan Rose beringsut ke kantin secepatnya. Sebelum aku meraih pintu keluar, Kodiak menyelipkan selembar kertas di antara buku-bukuku.

Aku membacanya.

namamu bagus.


bersambung




Cerpen oleh Ben Jacob
http://readlicious.blogspot.com/

Read More ..

Jul 15, 2009

Entedu! Entedu! (2)

”Setuju untuk apa?” Georgia menyikut Ramon yang sangat aktif itu.

Ramon terdiam, menunjuk-nunjuk saya. Saya jadi bingung sendiri. Berbicara sepatah kata pun tidak, tetapi Ramon tiba-tiba bilang setuju dengan saya. Ramon ngimpi apa lagi, sih? Otaknya memang kurang waras!

”Italia, Saverio. It’s so cool,” ujar Ramon dengan cengiran lebarnya.

Saya sangat amused mendengar persetujuan dari Ramon. ”You got my point, boy!”

Georgia tampak kesal. ”Ke Italia naik apa? Malas ah,” ujarnya cuek.

We can go without you, lady!” seru Ramon.

Lagi-lagi saya sumringah dan amused mendengar jawaban Ramon yang pasti. Ini menye-nangkan, sangat menyenangkan. Panorama Italia pun menari-nari di benak saya.

Georgia yang satu-satunya cewek di antara kami, memang tukang ngambek. Dan dengan secepat kilat dia menyeringai. ”Lebih baik aku pulang! Kalian memang cowok-cowok menyebalkan!”

Saya sangat senang dengan tawaran Ramon ini. Saya pun tidak peduli dengan ejekan dari Georgia. Bisa diurus nanti. Biasanya kan cewek memang seperti itu.

Roma dan Valencia adalah dua kota yang saya idamkan dari dulu.

Let’s go!” Ramon menepuk pundak saya.

”Eh?” Saya heran. Apa maksud dari ajakannya itu? Apa Ramon bermaksud ke Italia sekarang juga?

”Sekarang?”

”Kapan lagi. Lekas,” tukas Ramon. ”Saverio itu kenalanku. Nanti akan aku kenalkan sama kamu. Lagipula dia bisa bahasa Indonesia juga sedikit karena istrinya orang Indonesia. Waktu aku mengunjungi mereka, mereka bilang suka dengan rendang. Sekalian ingin tahu bagaimana rasa rendang. Di Bali aku tidak pernah makan rendang.”

Whatever he talked. Yang saya perlukan memang refreshing ke Italia.

Ramon pun mengacuhkan Georgia yang pergi dan merangkul saya untuk segera main ke rumah Saverio. Nampaknya saya lebih tertarik dengan Italia daripada kota ini. Dulu sih iya, saya sangat ingin sekali ke Paris. Ternyata hanya begini saja. Awalnya memang rasanya menyenangkan, tetapi kian lama saya bosan dengan pemandangan yang itu-itu saja. Saya maunya berpetualang! Ke tempat yang belum pernah saya kunjungi ke negara lain dan itu adalah Italia.

”Kamu lupa dengan paspor?! Saya nggak punya paspor. Nanti di perbatasan saya harus bilang apa?!” seru saya panik, baru ingat kalau ada yang kurang.

Ramon nyengir lebar sekali. Ia menepuk pundak saya. ”Keep calm, tenang saja. Percayakan padaku! C’est entendu?”

Entendu!” seru saya riang. Untunglah housemate saya adalah Ramon. Dia memang penuh dengan kejutan.

”Untuk bisa melewati perbatasan, kita harus pergi ke tempat temanku. Kita harus ke sana, Wil,” ucap Ramon.

Saya hanya manggut-manggut menurut. Mau dikata apa, saya memang tidak mengerti. Urusan begian saya serahkan pada yang ahlinya saja.

Kami pun sampai di apertemen bernuansa Italia dengan dominasi warna cokelat yang kental. Apertemen ini nampaknya mewah. Hmm… mungkin temannya Ramon ini adalah orang penting yang mengurus soal begituan. Yeah, saya percaya dengannya.

Ia menuntun saya untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Saya pun mesem-mesem senang. Bukan cuma liburan ke Italia saja, ternyata saya akan menambah dua orang kenalan. Yang satu adalah teman Ramon ini, dan yang kedua adalah Saverio—si pemilik dompet.

Ramon mengetuk pintu dua kali. Dan langsung direspons dengan cepat dengan empunya tempat. Saya terpana melihat interior dari apertemen ini. Benar-benar indah.

Come in, Ramon,” ujar yang membukakan pintu. Wow, tinggi sekali orang itu. Sepertinya orang Eropa juga. Lelaki itu tampaknya juga orang Prancis, karena saya mendengar pengucapan bahasa Inggris dengan sengau—khas Prancis sekali. ”And you’re too.”

Saya mesem-mesem, masuk.

Orang itu menyuruh saya dan Ramon agar tidak sungkan duduk dan menikmati sampanye milik-nya. Rasanya sangat tidak cocok minum alkohol di musim panas begini.

Get off your clothes,” kata cowok ini.

Saya bergidik heran—sekaligus was-was. Kata-kata yang kurang masuk akal itu…

Saya mencoba melirik Ramon yang tampaknya enteng sekali membuka semua bajunya—pun itu kaus dalam dan celana dalamnya. Dengan tatapan nanar saya menatap dua orang di hadapan saya.

C’est à moi (7). Habis itu kamu, Wil.” Ramon menatap saya penuh arti. Ia langsung memeluk pria yang namanya tidak saya tahu itu.

Saya menelan ludah, bergidik ngeri.

Pikiran-pikiran ngaco pun hadir di benak saya sejak melihat pemandangan ajaib di hadapan saya: dua orang sesama laki-laki berhubungan seks. Menjijikan.…

Saya pun langsung ambil tindakan. Saya berlari ke arah luar dan mencoba membuka pintu. Tetapi ternyata sudah dikunci oleh Ramon. Saya memandang ke arah dua orang itu, dan mereka tertawa tertahan. Ramon pun maju ke hadapan saya.

”Tak perlu terkejut, Wil. Aku sudah lama menanti saat ini, menanti kau akan jatuh di pelukanku. Bukan di pelukan Georgia. Aku terus memperhatikanmu tiap kamu tidur di kamar. Sungguh menggairahkan.” Ramon tersenyum.

Ia menahan tangan saya, sedangkan orang yang bernama Saverio itu melucuti baju saya satu per satu.

Saya menelan ludah—lagi.

Sinting!

Gila!

Ramon memang penuh kejutan, tetapi bukan kejutan yang seperti ini yang saya mau!

Padahal saya dan Ramon sudah berteman selama…

Ah, ternyata waktu segitu tidak membuktikan kau tahu tentang orang itu. Saya jadi ingat pepatah Indonesia. Hell, saya lebih cinta Indonesia! Saya tidak mau di sini! Saya tidak mau di Prancis! Saya tidak mau ke Italia!

Saya ingin bertolak ke Indonesia!!!

* * *

…Built a wall around my heart, I'll never let it fall apart. But strangely I wish secretly, it would fall down while I'm asleep…

Lagu Nothing Lasts Forever milik Maroon 5 yang saya suka mengalun samar, membuat saya terjaga dari tidur saya.

Tiba-tiba saja saya ingat peristiwa itu. Peristiwa konyol itu di mana saya telah—diperkosa?—oleh dua warga Prancis dan Italia itu…

”Kak Wil, ayo sarapan! Jangan ngayal melulu pergi ke Eropa! Belajar yang bener, baru pergi ke Italia!” seru suara khas yang sangat saya kenal itu—Keshia.

Saya pun mengucek-ucek mata saya.

Ini ternyata mimpi! Saya masih ada di rumah, masih memegang buku Lonely Planet negara Prancis dan Italia. Olalala… kadang mimpi memang terasa nyata!

Saya pun bersyukur, karena ini semua tidak terjadi. Saya pun langsung beranjak turun ke bawah rumah untuk sarapan bareng keluarga saya. Mungkin saya bermimpi karena membaca buku itu, buku untuk tour guide yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Saya juga baru tahu arti entendu dari buku itu—yang ternyata membuat saya bermimpi yang tidak-tidak.

Tapi sebelum itu, saya risih dengan sebuah benda yang terselip di buku Lonely Planet Italia. Saya pun mengambil benda tersebut.

Sebuah dompet yang saya kenal…

Saya pun membuka dompet itu dan melihat kartu pengenal.

Namanya Saverio, dan terdapat sebuah tulisan tangan yang berbunyi: ”C’est entendu?”

---------------------------

(7) Ini giliranku.


***
selesai



Cerpen oleh Tri Saputra Sakti

Read More ..

Jul 8, 2009

Entendu! Entendu!

JE viens d’Indonésie (1).” Saya berkata sesopan mungkin, mencoba kefasihan saya dalam berbahasa Prancis yang sudah lama saya pelajari.

Entah kenapa Ramon dan Georgia terkikik heran melihat saya berbicara. Apakah ada nada yang aneh dengan bahasa Prancis yang saya ucapkan? Apakah saya salah mengucapkan sesuatu?

Of course, Sir. I know you’re an Asian-boy. And what’s wrong with that?” Wanita Eropa itu menatap saya sengit. Dengan langkah yang membuat pekak telinga—karena wanita Eropa itu mengenakan stiletto—ia pergi.

Saya berpaling ke arah Ramon dan Georgia. ”Kalian benar-benar menjengkelkan!”

Ou, vous venez de très loin! Étudiant(2)?” Ramon yang asli Prancis berkata demikian, berusaha mengolok saya.

”Sudahlah, Wil. Lebih baik kita segera ke stasiun. Lebih cepat lebih baik, bukan?” Georgia mencoba menengahkan.

Saya tentu saja setuju. Tetapi perbuatan tadi tidak dapat saya terima. Bayangkan saja, dengan seenaknya tadi Ramon bilang kalau wanita Eropa yang cantik itu menyapanya dengan dalih ingin bertanya negeri asal saya. Dan ketika saya berkata sesopan mungkin dengan bahasa Prancis, ternyata orang itu sama sekali tidak melakukan apa yang dibilang Ramon. Dan dynamic duo itu malah tertawa melihat respons orang itu.

***


Seketika saya terkagum melihat sekumpulan wanita yang rupanya sangat menakjubkan. Mereka tampak stylish dan trendi. Mungkin mereka model, atau sekedar kalangan socialite Paris saja?

Elles habitent près d’ici (3).” Ramon mencoba memberitahu saya. Sudah saya duga, bukan? Orang-orang yang tinggal di dekat sini memang salah satu kumpulan social elite yang ada di Paris.

”Nggak penting ah, ngeliatin orang kayak gitu. Liat deh, rata-rata bodinya mirip papan gilesan! Yuk, ah!” Georgia yang sudah tinggal di Jakarta selama enam tahun memang fasih berbahasa Indonesia, bahkan ia sangat gemar dengan bahasa Betawi. Sedangkan Ramon, cowok Italia berpostur tinggi dan punya sifat kekanakan itu hanya tahu identitas Indonesia sebagai Bali. Dia tahu Bali tapi tidak tahu Indonesia. Sungguh ironis!

”Untuk ke perbatasan Italia, kita mesti naik apa?” tanya saya.

”Lho, siapa yang mau ke Italia?” Georgia mengernyit heran.

”Biasalah, orang Indonesia ini punya penyakit akut yang aneh,” seloroh Ramon.

Saya jadi bingung sendiri. Padahal saya masih ingat sekali kalau tadi pagi mereka bilang akan mengajak saya pergi ke Italia siang ini. Jarak Italia dari Prancis tidak terlalu jauh, dan kami sekarang masih di Paris.

”Bukannya kita mau melihat fashion show?” Georgia malah balik bertanya pada saya.

”Bukan, bukan! Kita mau ke Eiffel, kan? Katanya kamu belum pernah ke sana, Wil?” Ramon memotong.

Duh, kok rasanya saya mirip jadi turis asing begini. Padahal kami bertiga sudah menjadi housemate selama dua tahun. Dan minggu ini adalah minggu terakhir saya menginjakkan kaki saya di Paris, Prancis.

”Kita sudah bersama-sama pergi ke Eiffel, berapa kali, heh? Saya ingin ke Italia, saya ingin ke Milan.” Saya mencoba menjelaskan.

Milan Fashion Week sudah lewat!” Georgia menyumbang suara. ”Kalaupun ada fashion show, pastinya fashion show kecil-kecilan. Aku tidak berminat melihatnya, Wil.”

Hahh… apa-apaan Georgia ini. Saya kan mau menghabiskan minggu terakhir saya dengan kesan yang tak bisa dilupakan! Kenapa malah lari ke fashion show?

Ramon malah tertawa melihat reaksi saya yang linglung. ”Lebih baik kita pergi naik sepeda keliling Paris, lebih menyenangkan. Atau kita buat pesta, bagaimana?”

Huh, pesta, pesta dan pesta. Saya sudah bosan dengan yang namanya pesta ala orang Paris. Saya juga sudah bosan kena omel induk semang saya yang mengkomplain kalau tetangga sebelah terganggu oleh kebisingan pesta itu. Sebenarnya sih yang membuat bising itu suara Ramon! Bayangkan saja dengan suara bass yang nyaris tak bernada, ia menyanyikan lagu Anggun!

”Hey! Lihat tuh cewek itu! Rambutnya unik sekali!” pekik Georgia melihat seorang perempuan dengan rambut yang disasak tinggi lalu diikat.

Itu sih bukannya unik, tetapi absurd!

”Tidak penting. Sekarang kita mau ke mana sih?” Ramon akhirnya berkata seperti itu. Cukuplah untuk mewakili suara saya. ”Ke Italia? Itu jelas-jelas tidak mungkin. Aku hanya punya uang sedikit sekali.”

Langkah kami terhenti. Yang tadinya ingin ke stasiun, langsung berubah pikiran untuk ke restoran saja. Pupus sudah harapan saya untuk ke negara tetangga Prancis tersebut. Saya memang sudah lama mengidamkan menginjakkan kaki di Italia, khususnya Milan. Bukan karena fashion show-nya lho! Tapi kota itu memang sudah lama memikat hati saya.

Entah kenapa, di hati saya Paris tidak begitu istimewa lagi. Apa karena saya yang homesick, membuat saya rindu akan jalan berdebu dan panas di Jakarta?

”Ngelamun saja.” Georgia menegur saya. ”Malu ya, kalau nanti ditanya sama teman-teman kamu belum pernah ke Italia?”

”Bukan. Malas kalo nanti teman-teman kampus bertanya pada kita ’Où est-ce que vous préférez passer vos vacances (4)?’ nantinya!” jelas saya ketus.

”Iya sih, besok kan kita masih masuk kuliah,” kata Georgia. ”Jawab aja…”

Marcher dans les rues, manger au restaurant, faire du camping, aller au théâtre, visiter des musées, et rester chez des amis (5).” Ramon memotongnya sambil terkekeh.

”Bah, jawabannya kok kayak udah ngelakuin liburan, bukannya mau liburan,” sembur saya.

Ramon lagi-lagi terkekeh. Dasar makhluk planet!

”Udah deh, mendingan kita ke restoran. Gak sadar perut udah keroncongan begini ya?” Ramon memegang perutnya agar terlihat meyakinkan.

Entendu (6)!” seru Georgia yang tampaknya sama-sama lapar. Ia memandang ke arah saya yang keliatan nggak setuju dan akhirnya bertanya lagi. ”C’est entendu?”

Entendu!” seru Ramon nyengir. Saya tetap diam.

”Hoala, dia nggak setuju tuh!” tunjuk Georgia. Yang dimaksudkan tentu saja saya.

Tapi Ramon tampaknya tidak ambil pusing dengan ajuan kontra dari saya. Ia mengamit Georgia layaknya pacar, lalu meninggalkan saya. Benar-benar menyebalkan. Saya pun ikut lari bersama mereka yang hendak ke restoran tersebut.

Saya berdecak kagum pada Georgia yang mau saja dibawa lari dengan Ramon. Lihat apa yang ia kenakan. Stiletto berhak supertinggi dan tetap stabil berjalan. Dia memang terobsesi untuk jadi model.

Kami akhirnya sampai ke restoran Prancis dan memesan makanan—kalau yang ini hanya mereka, karena saya cuma memesan espresso.

Ajaibnya, ketika saya duduk di kursi restoran tersebut, saya menduduki sebuah dompet yang ketika saya cek adalah milik orang Italia.

Saya lihat namanya. Saverio. Ou ou ou. Tampaknya saya harus mengembalikannya. Dan ini dapat dijadikan alasan kenapa saya harus ke Italia.

Tetapi ketika saya bilang pada Ramon dan Georgia, mereka hanya mendesah dan menyarankan untuk mengembalikan saja ke pihak berwajib.

Saya memandang dompet milik Saverio tersebut. Terbuat dari kulit berwarna hitam. Seperti dompet bapak-bapak di Indonesia.

Entendu!” seru Ramon tiba-tiba, membuat saya dan Georgia tampak terkejut.

-----------------------

(1) Saya berasal dari Indonesia.

(2) Oh, Anda berasal dari tempat yang jauh! Mahasiswa?

(3) Mereka tinggal di dekat sini.

(4) Ke mana kalian akan melewati liburan?

(5) Jalan-jalan, makan di restoran, berkemah, nonton teater, mengunjungi museum, dan istirahat di rumah teman.

(6) Setuju!


***
bersambung



Cerpen olehTri Saputra Sakti

Read More ..

Jul 1, 2009

Secret Admirer (2)

Kecurigaan Andrea terhadap Jaka, teman satu jurusannya, ternyata tidak terbukti. Sudah banyak hal yang menunjukkan kalau Jaka itu bukan Radit. Hal ini membuat Andrea semakin keras memutar otaknya. Hampir dua minggu Radit jadi secret admirer Andrea, dan selama itu pula, tidur Andrea nggak pernah bisa nyenyak. Menurut analisa Andrea beberapa hari ke belakang, ada kemungkinan bahwa Radit bukan salah satu dari orang-orang yang dekat dengan Andrea, yang emang punya niat iseng sama dia. Radit juga bukan berasal dari jurusan yang sama dengan Andrea. Radit nggak pernah nyambung kalau diajak ngebahas tentang mata kuliah yang Andrea hadapi ataupun tentang himpunan mahasiswa jurusannya. Dia juga udah ngecek nomer HP Radit ke teman-temannya yang menurut dia berpotensi memberikan nomor HP-nya tanpa izin dia ke orang lain, dan hasilnya nihil. Radit tetap menjadi misteri.

Andrea duduk termenung di tempatnya. Tempat di mana dia biasa memperhatikan Zaky mengajar para mahasiswa keolahragaan, di lapangan sepak bola UBS ini. Dia sendirian. Viona nggak bisa menemani dirinya karena harus menemui pacarnya. Selasa pagi ini adalah pertama kalinya dia duduk di tangga batu itu sendirian. Selasa pagi ini juga pertama kalinya—sejak dia mempunyai hobi memperhatikan Zaky mengajar—dia gak begitu fokus sama apa yang menjadi tujuannya duduk di sana. Pikirannya masih terpaku pada satu nama. Radit.

Ini satu hal yang nggak disukai Andrea. Penasaran. Dia ingin semuanya jadi jelas sesegera mungkin.

“Haduh, pusing gue. Apa ini karma yah gara-gara gua suka merhatiin Zaky tanpa sepengetahuan dia? Sekarang gue ngerasain hal yang lebih parah. Gue tau ada yang merhatiin gue, tapi gue nggak tau siapa orangnya. Zaky kan,nggak pernah tau kalo gue suka merhatiin dia, jadi dia pasti nggak akan ngerasa keganggu dong. Lah gue, tau punya secret admirer tapi nggak tau orangnya yang mana. Gue mah, jelas-jelas keganggu. Parah nih,” Andrea melakukan monolog di dalam hatinya. Menggerutu pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba suara merdu Anthony Kiedis yang melantunkan lagu Aeroplane, membuyarkan lamunan Andrea. Membuatnya sedikit melonjak dan berteriak. “Viona calling” tertera di layar HP-nya. Dengan segera Andrea menjawab panggilan itu.

“Iya, Na. Kenapa?”

“Lo masih di stadion, Ndre?”

“Iya, emang kenapa? Lo mau ke sini? Udah ketemuannya?”

“Gila lo! Mau kuliah nggak? Udah jam berapa nih. Ngeliatin Zaky ampe lupa buat kuliah gini. Cepetan lu ke sini kalo ga mau di depak dari kelas.”

“Ya ampun, telat gue.”

Klik. Obrolan dihentikan secara sepihak dan tanpa kompromi. Andrea langsung ngibrit ke kelas, melupakan Zaky dan juga Radit.

# # #

Beruntung Andrea selangkah lebih cepat dari sang dosen. Dengan nafas yang masih acak-acakan, dilengkapi dengan wajah yang teramat pucat—akibat naik tangga sebanyak empat lantai dengan berlari—Andrea mendudukkan badannya dan semua rasa pegal di kakinya di kursi yang sudah disiapkan Viona. Saat dia mengeluarkan HP-nya, satu pesan telah masuk. Dari Radit.

“Hi Andrea. Kok td d stadion sndr sih?
lg ad mslh?ko senyum yg biasa aku liat d wjh km,
td ga ada yah?”

Andrea udah menemui jalan buntu untuk menjawab rasa penasarannya. Kepalanya udah pusing banget. Amarahnya juga udah gak kebendung lagi. Satu-satunya jalan dia harus menghentikan semua ini. Dia harus bikin Radit berhenti menghubungi dia.

“Aduh, dit. Gw udh ga thn sm lu.
ckp y lo mata2in gw.
Slm ini gw brusaha sbr dan cari taw sndr ttg lu.
tp skrg gw udh ksl bgt sm lo.
klo lo jntan temuin gw hr ini jg.
Atow jgn pnh nghubungn gw lg!!!!!”

Message sent to Radit Aneh. Message delivered.

Lama Radit nggak membalas SMS Andrea.

Mungkin Radit emang gak mau ketemu sama gue. Atau dia emang orang yang gak suka sama gua dan sengaja bikin gua stres, pikir Andrea.

Tapi, saat jam 12.30 siang, tepat saat Andrea selesai kuliah, Radit memberi kabar yang membuat Andrea tercengang dan mematahkan semua prasangka buruknya terhadap cowok itu selama ini.

“Andrea, aku tnggu km skrg ddlm
stadion spk bola.”

Secepat kilat Andrea meninggalkan gedung tempat di mana dia baru saja, menimba ilmu. Dia nggak menghiraukan teriakan Viona yang memanggilnya berkali-kali. Rasa penasaran yang dibalut antusias, menghapus semua kesal di hatinya—juga rasa pegal di kakinya. Rasa penasaran itu juga yang menuntunnya untuk terus berlari menuju stadion sepak bola.

Dengan waktu yang mendekati manusia tercepat di dunia saat ini, Usain Bolt, dan dengan nafas yang berantakan, Andrea akhirnya sampai ke stadion. Dadanya berdetak begitu kencang. Bukan karena dia baru saja lari sprint, tapi karena dia lebih deg-deg-an untuk bertemu Radit. Sebelum masuk ke dalam stadion, Andrea berusaha membuat dirinya terlihat seperti mahasiswi biasa bukan seperti pelari olimpiade. Kedua tangannya sibuk merapikan kaos oblong putih dan celana jeans coklat yang kini melekat di tubuhnya. Rambut ikal sebahunya dia biarkan terurai. Satu hal yang membuatnya selalu merasa percaya diri.

Segala hal berkecamuk di kepala Andrea. Bagaimana tampang Radit? Apa Radit sesuai dengan apa yang dibayangkannya? Apa Radit memang benar-benar secret admirernya atau hanya orang iseng? Dan yang terpenting, apa Radit bisa bikin dunianya seakan terhenti seperti halnya Zaky? Saat semua pertanyaan itu berlarian di kepala Andrea, dia mendengar seseorang yang mengindikasikan adanya jakun memanggil namanya.

“Ya,” jawab Andrea sambil membalikkan badannya ke arah sumber suara.

“Radit,” lanjut cowok itu diiringi uluran tangan dan senyumnya yang sangat manis.

Andrea mematung. Tenggorokannya tercekat. Detak jantungnya serasa berhenti. Untuk kedua kalinya dia merasakan dunianya seolah kembali terhenti. Untuk beberapa saat dia nggak mampu menggunakan otaknya untuk berpikir. Dia merasa senyum cowok yang masih menggantungkan tangannya menunggu uluran tangan Andrea di hadapannya itu adalah senyum termanis yang pernah dia lihat.

“Zaky,” sahut Andrea kemudian, lirih. “Elo Zaky, kan?” lanjutnya mulai tersadar.

Sejurus kemudian tangan kanannya digapai oleh tangan kanan cowok itu. “Aduh tangan aku pegel nih ngegantung terus. Kenalin nama aku Muhammad Zaky Praditha. Kamu Andreany Zain kan?”

“Ya ampun. Jadi selama ini Radit itu elo? Kok… bi… sa?” seru Andrea gak percaya seraya menampar-nampar pipinya dengan tangan kirinya.

“Iya. Aku Zaky yang selalu kamu perhatiin dari tangga batu itu setiap Selasa pagi,” timpal Zaky sambil menunjuk tempat di mana Andrea ditemani Viona biasa memperhatikan dirinya.

“Aku juga Radit yang selama dua minggu ini selalu SMS-in kamu. Aku sadar, kalo setiap Selasa pagi selalu ada dua cewek yang duduk di tangga batu itu. Yang satu selalu terfokus sama buku di tangannya, sedangkan cewek chubby di sampingnya dengan cuek selalu terfokus sama seseorang yang ada di lapangan sepak bola ini. Viona udah certain semuanya,” lanjutnya.

“Apa? Jadi kamu udah kenal Viona? Sebagai informasi nih, selama waktu itu juga gue nggak pernah bisa tidur nyenyak,” timpal Andrea sewot seraya melepaskan tangannya dari genggaman tangan Zaky. Cowok di hadapannya itu hanya tersenyum geli.

Tuhan mengapa senyumnya selalu terlihat begitu manis? pikir Andrea.

“Kamu udah bikin aku terbiasa ngeliat cewek aneh yang senyum-senyum sendiri setiap Selasa pagi di sini. Kamu juga udah bikin aku kelimpungan dan ditegor dosen gara-gara aku mikirin di mana kamu waktu kamu nggak dateng ke sini. Kamu udah bikin aku suka sama kamu. Maaf kalau aku sempet bikin kamu kesel selama dua minggu ini.”

Andrea terdiam. Setetes air perlahan mulai mengalir dari matanya. Dia sekarang tau kenapa senyuman cowok dihadapannya ini adalah senyum terindah yang pernah dia lihat. Karena senyuman cowok itu sekarang untuknya bukan untuk orang lain.

# # #
selesai


Cerpen oleh Euis Wulandari

Read More ..