Mar 25, 2008

1st Chapter: Penculik dan Pembunuh Jangkrik

Rumahnya memang jauh, tetapi bukan itu yang membuat aku harus mengeluarkan umpatan dan makian, dalam hati pastinya. Iya, kelakuan ayahnya yang nyentil. Pura-pura baik kalau pas aku bawa wajik kesukaannya, tetapi malah menunjukkan watak aslinya, kala kudatang dengan tangan hampa. Semuanya lebur dalam semangatku dan rasa ingin ketemu anak semata wayangnyalah yang membuatku terpaksa berjalan kaki 2 kilometer menapaki pematang-pematang sawah dan jalanan licin Kampung Babakan.

“Halo, Bdulll. Oh ya, si Neng lagi nyiapin bubur sum-sum khusus buat elu tuh. Qeqeqeqe,” panggilan kepadaku dan tawanya yang terakhir yang selalu membuatku berandai ingin sekali mengelupas kumis tebalnya lalu mengiris-iris dan menguncirnya empat bagian.
Segelas kopi sudah terseduh di depan meja, aku duduk sambil bersiul lalu kubuka sebuah plastik, malam itu aku membawakan wajik rasa nanas yang dibeli dari warung Uwa Ape. Tetap saja, aku selalu bilang wajik buatan emakku.

“Rasa nanas ini baru ya, Bdulll? Hmm...tapi enakan wajik nyang elu bawa dua minggu kemarin deh,” beberapa kalimat terakhir sebetulnya menyindirku. Aku tidak membawakannya minggu kemarin, lalu dia bertingkah aneh dan tidak menyapaku. Dalam benakku, terserahlah dia maunya apa. Toh aku bukannya naksir dia, tapi anak semata wayangnya, Siti Syamsiatul Azhari alias Syamsiah.

Aku masih terduduk di beranda depan sambil mendengarkan bunyi mulut calon mertuaku yang duduk di samping, ia sedang mengunyah wajik. Entahlah, wajik memang kue yang aneh menurutku. Selain rasanya seperti ampas kelapa. Ya, memang terbuat dari parutan kelapa, aku selalu kapok jika makan wajik terlalu banyak, pencernaanku selalu berontak seakan selalu merintih “Hentikan Bdulll kunyahanmu. Hentikan! Please“.


Selengkapnya, klik "Bab Pertama Kamu" pada menu di samping

0 comments:

Post a Comment