Mar 19, 2008

Tentang Setting by Christian

Sebelumnya, aku cerita dulu deh. Aku ini penggemar berat komik Jepang. Kalo nongkrongin toko buku, pasti disempet-sempetin ngeliat komik-komik baru. Sekarang aja lagi ngikutin serial Babysitter Gin sama Wish You Were Here—bagus banget deh, sumpeeeh!

Selain nama besar pengarang, cerita yang seru, alasan lain aku memutuskan beli komik adalah cara dia menggambar latar. Kalo kamu baca Babysitter Gin pasti setuju deh, Waki Yamato tuh jago banget bikin illustrasi rumah Gin yang bergaya barat. Lekukan-lekukan, arsiran, sampe suasana pemandangan di luar rumah nggak luput dari perhatiannya.

Novel beda sama komik, I know. Tapi prinsip komikus memanjakan mata pembacanya dengan ilustrasi seeting yang cantik bisa kita contek lho saat mulai nulis novel.

Prinsip yang harus kita inget adalah: SETTING ITU BUKAN SEKADAR BACKDROP ATAU WALLPAPER DINDING. Maksudnya, setting itu nggak cukup dengan nama tempat atau nama kota aja. Bilang kalo tokoh kamu lagi di Paris nggak bikin pembaca langsung kebayang suasana Paris.

Pembaca itu kadang-kadang manja, pengen dipuaskan seutuhnya, nggak cuma cerita yang bagus dan mengharu biru, tapi juga ngarepin pengalaman baru setelah baca novel kamu. Tarik ke pengalaman pribadi masing-masing deh, setelah baca Travelers’ Tales langsung berkhayal pengen jadi backpacker dan ngalamin pertualangan seru kayak di novel itu kan?

Saat kamu nentuin tempat tertentu sebagai setting yang perlu kamu pertimbangkan adalah:

1. Seberapa besar pengaruh setting ke dalam cerita?
Buat yang lagi nulis novel bersetting luar negeri, misalnya, coba dites deh. Kalo novelmu yang mengambil lokasi di Perancis itu misalnya dipindahin ke Wonogiri, bagian-bagian mana aja yang berubah? Yang aku maksud bukan cuma nama-nama tempatnya ya, melainkan inti cerita novel kamu. Kalo nggak ada perubahan, hmm, berarti kamu perlu ngawinin setting kamu itu dengan plot yang kamu bikin. Contoh novel Gagas yang kawin dengan plot: No Volvere (Ita Sembiring).

2. Seberapa besar pengaruh setting terhdap tokoh?
Perkawinan lain yang memungkinkan adalah setting dengan tokoh. Khusus yang ini, selain setting tempat, kamu juga perlu merhatiin seberapa besar pengaruh filosofi atau prinsip hidup di setting. Apakah si tokoh punya keberatan tertentu dengan jalan pikiran orang-orang di sekitarnya? Apakah si tokoh malah punya harapan pengen nyatu dengan lingkungannya? Contoh novel Gagas yang tokohnya kawin sama setting: Istoria da Paz (Okke ‘Sepatumerah’).

3. Perkawinan poligami setting-karakter-plot? WOWWW... bagus banget. Tapi biar perkawinan ini langgeng, kamu perlu sedikit bekerja keras, lho! Riset tempatnya, budaya masyarakat setempat, terus pandangan si tokoh terhadap kedua hal itu. Contoh novel Gagas yang ‘poligami’ ini: Travelers’ Tales.

Kata Mas A.S. Laksana, penulis dan guru nulis di Jakarta School, pernah bilang, cara mudah untuk mendeskripsikan setting tempat adalah dengan memanfaatkan kelima indra yang kita punya. Gambarkan apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu cium, lalu apa kesan-kesanmu terhadap tempat itu. Nggak harus dipake semua kok—seperti petunjuk di botol vitamin: minum bila perlu.

Contoh:
Kugotong koperku menaiki tangga sempit, remang-remang, dan berpanel kayu yang melingkari ruang tengah. Bagian tengah semua anak tangga batu itu aus karena sudah berumur dua ratus tahun. Sembari berjuang sendiri menggotong koperku yang berat di belakang para orang tua, wali murid, dan valet yang membawakan koper para gadis lain, aku menghirup dalam-dalam campuran bau lilin lebah dan cairan pembersih lantai yang memenuhi ruangan.

Jendela berlapis kaca patri yang menampilkan lukisan Santa Theresia sedang membuat mukjizat membiaskan matahari temaram ke tangga, meskipun di luar sana panasnya minta ampun dan matahari bersinar terik. Dengan badan terbungkuk-bungkuk menggotong koperku yang berat dan pundak sakit teriris tali tas peralatan anggarku, aku menengadah dan memandangi sosok sang santa yang tenang dan damai itu. Dalam hati aku berharap, seandainya saja beliau mau melakukan mukjizat untukku, misalnya membawakan koper sialan ini ke lantai atas.
(Pulling Princess—Menggaet Pangeran: 19-20)

Cara lain supaya setting nggak berkesan tempelan adalah dengan meleburnya bersama dengan jalan cerita. Masih pake prinsip lima indra juga, tapi deskripsinya disebar-sebarin ke bagian-bagian cerita.

See? Ternyata, nggak susah-susah banget kan bikin setting keren?

1 comment:

  1. wah... makasih banget kk ino.
    ini bener2 tips yg lagi gw butuhin

    ReplyDelete