Mar 19, 2008

Dunia Tanpa Cinta

Kata orang cinta membuat hidup menjadi lebih berwarna, karena cinta semua menjadi lebih indah. Namun buatku, Ningsih, cinta hanyalah sebilah pisau yang terikat di leher. Sedikit saja kita lengah maka dia akan melukai atau bahkan membuat kita terkapar tak berdaya. Mungkin aku mengatakan ini karena aku pernah patah hati. Namun, sepertinya aku ngga perlu merasakan perihnya patah hati karena pengalaman orang-orang di dekatku sudah sangat cukup untuk membuatku tahu rasanya.
Ibuku menikah atas nama cinta, meski ditentang oleh kedua orang tuanya, dia nekat menikahi ayahku yang hanya seorang preman pasar. Dan pada kenyataannya cinta yang ibu punya tidak cukup untuk memberi kebahagiaan bagi kami. Malah, menurutku cinta telah membutakan matanya. Selama 20 tahun pernikahan mereka, setiap hari ibu dinafkahi pukulan, tendangan dan sumpah serapah. Untuk memenuhi kebutuhan kami, pagi hingga malam ibu banting tulang. Pagi berjualan kue basah dipasar, siang menjadi tukang cuci gosok. Sedangkan, ayah setiap hari cuma mabuk-mabukan. Tapi selama itu pula ibu hanya diam dan tetap melayani ayah dengan patuh. Begitupun ketika ayah menikah lagi, ibu hanya membisu. Aku dan kakak pernah meminta ibu untuk meninggalkan ayah, tapi dengan datar ibu bilang “ibu sangat mencintai ayahmu, lebih baik ibu mati daripada ibu harus hidup tanpa dia.”

Sejak itu aku berjanji dalam hatiku, untuk tidak membiarkan diriku jatuh dalam kebodohan karena cinta. Apalagi kemudian Ratna kakakku menjadi salah satu manusia bodoh. Atas nama cinta dia menyerahkan kesuciannya pada kekasihnya yang kabur setelah tahu dia hamil. Cinta membuat Ratna dan bayi dalam kandungannya hidup menanggung aib selamanya. Begitupun keluarga kami. Akhirnya, aku pun memilih untuk benar-benar menajiskan cinta. Beratnya beban hidup membuat ibuku jatuh sakit dan meninggal. Sejak saat itu ngga ada lagi yang menafkahi kami. Aku pun memutuskan untuk pergi dari rumah, mencari duniaku sendiri.

***

Namaku Tania, aku hidup bergelimang harta. Tinggal dirumah mewah dengan semua fasilitasnya. Teman-temanku bilang aku sangat beruntung. Ya memang, aku beruntung karena aku ngak pernah kekurangan apapun, mau apa tinggal minta namun mereka ngak tahu kalau sejak bayi aku ngak pernah merasakan nikmatnya air susu ibu, aku ngak pernah tahu gimana hangatnya dekapan seorang ibu, hanya ayah dan pembantu yang mengurusku. Ibu selalu sibuk dengan pekerjaannya, tampaknya ibu lebih menikmati perannya sebagai seorang direktur diperusahaan milik kakek ketimbang menjadi seorang ibu rumah tangga. Itu yang membuat ayah merasa tempat tidur pembantu lebih hangat dari tempat tidur sendiri. dan ketika ibu mengetahui hal itu, ayah dan pembantu yang sudah kuanggap seperti ibu diusir dari rumah. Sejak saat itu, aku hidup tanpa kasih sayang dan perhatian. Rumah mewah ini menjadi seperti sebuah gua yang dingin, tanpa kehangatan keluarga. Tapi aku bukan seorang anak yang lemah. Keadaan membuatku mandiri dan tegar. Meski hambar, hidupku baik-baik saja. Sampai pada suatu malam, aku menemukan ibu duduk manis di meja makan, tidak seperti biasanya.

“tumben ibu udah pulang jam segini” tanyaku ketus.

“jangan sinis begitu dong sayang, memangnya ibu ngga boleh makan malam bareng anak sendiri?”

Kata-kata ibu seperti setetes air di padang gurun. Makan malam yang biasanya kuselesaikan dalam 15 menit, hari ini selesai hanya dalam 5 menit. Masakan bibi 100 kali lebih enak dari biasanya.”

Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat karena ibu menyampaikan niatnya untuk menikah dengan om Robi. Sebenarnya aku sangat tidak setuju. Hati kecilku bilang om robi bukan pria baik-baik. Aku merinding dan merasa ditelanjangi setiap dia menatapku. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menolak. Toh, ibu tidak meminta restuku, dia hanya memberitahu.

Sejak om Robi jadi ayahku, rumah jadi seperti neraka. Ngak sedikitpun tersisa rasa nyaman lagi. Aku juga ngga tahu kenapa aku takut dan risih bila berada bersama om Robi dalam suatu ruangan. Sampai suatu malam, ketika aku lagi asyik memainkan jariku di keyboard komputer, tiba-tiba om Robi masuk ke kamarku. Matanya menatapku penuh nafsu.
“mau apa om masuk kekamarku?”

Bukannya menjawab, dia malah mendekatiku, memelukku dan menggerayangi tubuhku. Aku meronta dan berteriak, tapi dia seperti kesetanan. Tubuhnya yang besar dan tenaganya yang kuat membuatku tak berdaya. Malam itu adalah kiamat buatku.

Om robi telah menodaiku. Setelah puas melampiaskan nafsu binatangnya, dia mengancamku. “Jangan sampai ada orang yang tahu kejadian ini, kalau kamu buka mulut maka aku akan membungkammu selamanya”

Sejak malam itu aku ngga punya gairah hidup lagi.. Setiap malam aku dihantui kejadian malam itu. ngga semalam pun aku bisa tertidur pulas. Aku tahu aku ngga bisa terus-terusan hidup begini. Apalagi setiap hari aku harus bertemu om Robi yang membuatku muak dan jijik. Aku harus melakukan sesuatu dan mengakhiri ini semua.

Malam ini aku tidur lelap sekali, namun tidurku terusik oleh jeritan bibi. Satu jam kemudian dengan tangan diborgol aku dibawa kekantor polisi. Atas tuduhan pembunuhan, aku dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Pengacara handal yang mama bayar membuat hukumanku berkurang setengah. Tapi aku bisa merasakan kebencian dari tatapannya. Untuk pertama dan terakhir kalinya mama menemuiku. Hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya.

“Sejak hari ini kamu bukan anakku lagi”. Aku tahu mama begitu membenciku karena telah membunuh pria yang dia cintai dan dia pikir adalah seorang suami yang baik. Memang tak seorang pun tahu alasanku membunuh om Robi. Mereka tidak boleh tahu kalo bajingan itu telah menodai aku.

Setelah 10 tahun berlalu, aku pun menghirup udara kebebasan. Kalau boleh memilih aku ingin tinggal dipenjara selamanya. Aku ngak tahu harus kemana. Datang ke mama dan meminta maaf? Ngga, aku ngak salah. Om Robi memang pantes mati.Meskipun dia udah mati, tapi dia meninggalkan luka di jiwaku yang ngak akan pernah sembuh. Aku bersumpah ngga akan pernah jatuh cinta, karena cinta ayah pada bi Asih membuatnya memilih meningalkan aku. Cinta ibu pada om Robi membuatku menderita luka batin. Di mataku cinta membuat orang tidak lagi memiliki akal sehat Aku bukan wanita lemah, aku pasti mampu bertahan dan menemukan duniaku sendiri.
***
Namaku Suci. Nama yang indah bukan? Tapi ironisnya lingkungan tempatku dibesarkan sangat kontras dengan namaku. Waktu aku di sekolah dasar, teman-teman memanggilku dengan sebutan anak haram atau anak pelacur. Tapi aku ngga peduli. Aku ngga merasa malu dengan sebutan itu. Apa yang mereka bilang memang benar. Ibuku adalah kupu-kupu malam, dan ibu ngga tahu siapa ayahku.

Aku ada karena sebuah kecelakaan. Ketika ibu menyadari kehadiranku dirahimnya, sudah terlalu terlambat untuk sebuah aborsi. Meskipun begitu, ibu tetap membesarkan dan merawatku. Dengan uang hasil melacur dia menyekolahkanku hingga lulus SMA. Ibu juga selalu menjagaku dari tangan-tangan nakal para pria, kata ibu dia ngga mau aku seperti dia. Aku harus jadi wanita baik-baik.

Sebenarnya ibu ingin aku berkuliah, tapi ibu sudah ngga muda lagi. Kalah saing dengan kupu-kupu lain yang lebih aduhai. Apalagi sekarang ibu sering sakit-sakitan. Jadi aku harus puas dengan hanya memegang ijazah SMA. Beruntung aku akhirnya mendapat pekerjaan sebagai buruh pabrik. Meski gaji pas-pasan, tapi cukup untuk membiayaiku dan ibu. Jadi ibu pun pensiun dari pekerjaannya.

Beberapa kali aku menjalin hubungan asmara, dan kebanyakan di antara pria-pria yang singgah dalam hidupku adalah pria brengsek. Mereka hanya tergiur dengan kemolekanku. Kalau pun ada yang baik, pasti mundur teratur setelah tahu aku adalah anak mantan pelacur. Aku hampir jera jatuh cinta sampai aku bertemu Ben.
Dia bekerja di perusahaan yang sama denganku dan merupakan putra salah satu pemilik saham perusahaan. Sebenarnya aku berusaha menjauhi Ben. Aku tahu kalau aku dan dia seperti langit dan bumi. Ngga pantes aku melabuhkan cinta dan harapanku dihatinya. Tapi Ben seperti ngga kenal lelah meyakinkanku kalau dia mencintaiku dengan tulus. Meski aku ngga sekelas dengannya, meski aku anak seorang pelacur, dia memperlakukan aku seperti seorang wanita baik-baik. Dan akhirnya aku menyerah. Kuizinkan cintanya singgah dihatiku. Dua tahun lamanya kami menjalin asmara. Sampai pada suatu malam, Ben melamarku. Kesungguhan Ben membuat aku yakin, belum lagi kondisi ibu yang semakin memburuk. Penyakit kotor telah menggerogotinya. Ibu pernah bilang kalau dia akan sangat bahagia bila melihat aku menikah, sebelum ajal menjemputnya.
Akhirnya aku pun menerima lamaran Ben. Dia memperkenalkanku pada kedua orang tuanya. Bukan sambutan hangat yang aku dapat, tapi tatapan jijik. Di mata mereka aku ini hanya buruh kecil, sampah yang mengotori rumah mereka. Tanpa sungkan, ibunya mengusirku dan bilang aku ngak pantas buat Ben.

Kejadian di rumah Ben membuatku tersinggung. Meski miskin aku tidak terima dihina. Ben memelas memohon maaf. Dia bilang akan meyakinkan orang tuanya untuk menerimaku. Kalau pun mereka ngga setuju, dia akan tetap menikahiku. Dia mencintai aku, dan hidup bersamaku adalah kebahagiaannya. Karena cinta, aku percaya padanya. Aku yakin kebersamaan kami telah menumbukan cinta yang kuat di hati kami. Dan cinta juga yang akan membuat kami bisa menghadapi semua ini.

“Dengar ya gadis gembel, harusnya kamu tahu diri. Wanita seperti kamu ngga pantas buat Ben. Sudah miskin, anak pelacur pula! Sebaiknya kamu berhenti mendekati Ben, dan jangan bermimpi jadi istrinya! Kamu cuma sampah yang akan mengotori rumah kami. Saya tahu kamu mendekati anak saya hanya karena uang. Ambil uang ini, jumlahnya cukup banyak, saya rasa ini cukup untuk membuat kamu menjauhi anak saya. Mulai hari ini pergi jauh dari hidup Ben, kamu juga tidak perlu bekerja lagi di perusahaan ini.” Di depan para pekerja, ibu Ben melabrakku dan melemparkan selembar cek kewajahku. Kuraih cek itu. Sesopan mungkin kuulurkan kearahnya.
“Saya tidak butuh duit ibu. Memang saya orang miskin, tapi saya bukan pengemis. Meski ibu saya seorang pelacur, dia membesarkan saya dengan keringatnya sendiri, bukan dari belas kasihan orang lain. Satu hal yang ibu perlu tahu, anak ibu mencintai saya, kebahagiaannya adalalah bersama saya, ngga akan ada yang bisa memisahkan kami, termasuk ibu”

Dengan garang kutantang tatapan nyonya Handoko yang penuh kebencian.

“Prakkkk…” sekejap mata tangannya mendarat di pipiku.

“Dasar tidak tahu diri! Asal kamu tahu, Ben itu udah punya calon, dia mencintai Kayla, wanita terhormat dari keluarga baik-baik! Kamu hanya pelarian, tempat pelampiasan nafsunya. Lihat saja, sebentar lagi Ben akan meninggalkan kamu dan menikahi Kayla. Dan saat itu kamu akan menyesal telah menolak tawaran saya, karena pada akhirnya kamu ngga memperoleh sepeser pun”

Sudah sebulan sejak peristiwa itu, Ben tidak pernah lagi menemuiku. Telepon-genggamnya tidak bisa dihubungi. Rasanya duniaku porak-poranda. Ibu sekarang masuk rumah sakit. Aku dipecat dari perusahaan, Ben ngga tahu entah dimana. Untuk membayar biaya pengobatan ibu, aku menguras habis tabunganku. Untungnya aku juga dapat pesangon yang lumayan. Beberapa teman ibu di tempat lokalisasi juga ikut membantu.

Tak berapa lama, seseorang datang mengantarkan undangan atasa nama Ben Handoko dan Kayla Wijaya. Aku merasakan aliran darahku seperti terhenti, dunia menjadi buram di mataku. Ternyata cinta hanya omong kosong. Kekuatan cinta hanya isapan jempol belaka. Tapi aku ngga mau larut dalam kesedihan. Ibu membutuhkanku. Hanya dia yang aku punya saat ini. Namun ternyata takdir menggariskan aku untuk sebatangkara. Seminggu kemudian ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan aku sendiri dengan hati yang telah porak-poranda. Aku mencoba untuk tetap berjalan, menemukan duniaku.

Entah takdir atau sebuah kebetulan yang mempertemukan aku dengan Ningsih dan Tania. Ketika aku memandang keramaian kota dari sebuah jembatan dengan tatapan kosong, ngga tahu mau melangkah kemana. Aku melihat bahwa aku ngga sendirian, di dekatku ada dua orang gadis muda yang juga menatap dengan kosong. Setelah dua jam larut dalam pikiran masing-masing, kami pun saling menyapa. Perasaan senasib membuat kami saling berbagi dan menumpahkan kegundahan. Ternyata kami bertiga adalah segelintir orang yang terbuang dan tidak percaya pada cinta.

Akhirnya kami menemukan dunia kami. Di sebuah kontrakan sederhana, kami membangun dunia kami, dunia tanpa cinta. Kami bertiga berjanji tak ada ruang buat cinta di sini. Yang ada hanya keterlukaan, rasa benci dan sakit hati. Bila dulu cinta telah mempermainkan hidup kami, sekarang kami yang akan mempermainkan cinta. Setiap pria yang datang atas nama cinta, kami sambut dengan pelukan, tapi bukan karena cinta. Tapi atas nama uang dan kepuasan batin. Kebanyakan pria yang kami singgahi adalah pria brengsek yang bersembunyi dalam topeng cinta. Pria-pria seperti itu akan kami kuras, setelah itu hanya jadi sejarah dalam hidup kami. Kami akan berhenti ketika kami puas dan punya cukup duit untuk masa depan. Kehidupan yang damai dan bahagia di mata kami. Dunia yang selama ini kami cari, dunia tanpa cinta.
Cerpen By: Yosephine Rosalina

0 comments:

Post a Comment