Apr 9, 2008

Cerpen: Romeo's Star

Semusim telah kulalui,

Telah kulewati

Tanpa dirimu….

Tetapi bayang wajahmu

Masih tersimpan di hati….


Sepenggal syair yang berasal dari suara di i-Podku terngiang keras di telinga. Kubuka earphone yang sedari tadi terpasang. Aku tidak tahan berlama-lama mendengarkannya. Lagu ini semakin menyayat luka di hatiku. Aku melamun melihat badan jalan di balik jendela kaca café yang biasa aku kunjungi. Dan seperti biasa aku duduk di kursi ini. Dari kursi ini aku dapat dengan jelas melihat wajah kota dengan segala aktivitasnya. Ya, aku dan dia selalu berada di sini, dulu. Bercanda dan tertawa bersama. Kadang-kadang kami hanya terdiam dan melamun di tempat ini. Melamunkan hal yang sama. Aku dan dia bersama. Dulu....

Kututup mata agar dapat lebih dekat dengan kenangan masa laluku. Angan imajinasiku bersamanya. Saat ini kugerai rambut ikalku, rambut yang paling suka dililitkan dijemari tangannya. Dia bilang dia suka saat aku melepaskan ikatan kuciran yang selalu menjadi ciri khasku. Cantik, katanya. Anggun dan lembut, dua ciri yang paling disukainya dariku.

Kupejamkan lagi mataku sambil menghirup aroma hujan yang jatuh membasahi jalanan yang beraspal. Dapat kubayangkan uap mengepul dari atas jalanan beraspal. Panas mentari yang merasuk di dalam aspal kini menghilang didinginkan oleh si hujan. Hatiku yang membara pun sama, kini telah membeku. Tidak dingin seperti hujan ini, namun sedingin balok es.

Kubuka mataku ketika terjaga oleh bisik-bisik pegawai café yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatku duduk. Kuarahkan pandanganku pada hal lain di sekitarku. Sering sekali aku mencoba untuk mengalihkan pikiran dari dia yang kucinta. Namun kerap itu hanya bertahan lima menit karena menit-menit selanjutnya hal yang aku pikirkan selalu saja berhubungan dengan dia. Samar-samar aku dengar pembicaraan mereka tentangku.

“Katanya kekasihnya meninggal karena kecelakan seminggu sebelum hari pernikahan.”

“Iya, kasihan sekali, apalagi ia sudah bertunangan setahun dengan kekasihnya.”

“Iya, sering ke sini untuk mengenang masa-masa indah bersama kekasihnya…”

Hah.. entah apa saja yang dikatakan orang tentangku. Sikap mereka pun berbeda-beda. Ada yang simpati, ada yang berempati ada pula yang menghinaku dan menganggap aku agak stres. Sampai saat ini aku tidak peduli dengan semua itu. Aku tidak memikirkan apapun selain dia dan kenangan-kenangan tentang dia. Kuteguk kopi terakhir yang tersisa di cangkir, kemudian aku bangkit berdiri dari kursi. Kubetulkan posisi syal yang melilit di leherku sambil kubiarkan rambutku terus tergerai. Hujan telah berhenti ketika aku berjalan keluar. Tinggal rintik-rintik tipis yang memberi nuansa kelam pada senja. Entah mengapa saat ini aku merasa semua benda yang ada di sekelilingku mengerti keadaanku. Kopi yang kumium pekat, sepekat pikiranku. Cuaca di luar kelam, sekelam hatiku. Sepertinya Tuhan tahu perasaanku dan memerintahkan benda-benda di sekitarku berempati terhadap relung hati terdalamku. Sejujurnya aku tidak perlu empati kalian semua. Yang aku perlu hanya dia. Kembalikan dia padaku!
***

Jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Semenjak pulang dari luar, aku terus berdiam sambil memandang keluar dari balik jendela kamar apartemenku. Telah lebih dari 4 jam aku dalam posisiku. Aku pun beranjak dari kursi, mengambil remote TV kemudian memijit tombol merah sehingga TV itu pun menyala. Siaran yang pertama sekali terbuka di layar sedang menayangkan cerita drama Romeo dan Juliet. Cerita romatis karangan Shakespeare yang terus menjadi inspirasi pasangan-pasangan romantis dunia. Suara di TV terus terngiang ketika aku beranjak ke kamar mandi dan menghidupkan keran bathtub. Kutanggalkan semua bajuku dan aku menyeburkan diri ke dalam air secara perlahan. Cerita Romeo dan Juliet sudah aku kenal semenjak SD. Dari dulu, aku selalu kagum akan kemurnian cinta Romeo dan Juliet.

Juliet meninggal di usia 14 tahun ketika ia menemukan Romeo meninggal disampingnya. Apakah aku harus menjadi sesosok Juliet bagimu? Menyusul tindakan Juliet mendapatkan cinta sejatinya? Aku sekarang 24 tahun dan 10 tahun lebih tua dari Juliet? Masa tindakan begitu saja aku tidak berani melakukannya? Air di bathtub terus meninggi selagi aku masih memikirkan cerita cinta Juiet dan Romeo.

Romeo... Romeoku… kira-kira apa menurutmu cara mati yang paling pantas untuk gadis yang membela cinta sejatinya? Haruskan aku menyanyat pergelangan tanganku, agar bulir-bulir darah yang mengalir dari urat nadiku dapat membuktikan seberapa merah cintaku. Ataukah aku harus meminum racun agar dapat tertidur nyenyak dalam perjalanan mimpiku menyusul dirimu.

Air yang mengalir dari kran tidak berhenti. Kutenggelamkan seluruh tubuhku yang telanjang dalam buih -putih buih sabun. Mataku kubiarkan terpejam dalam rendaman air. Ingatanku kembali saat hari terakhir bertemu dengannya. Dia tersenyum manis menyambutku dari kejauhan. Dengan pakaian yang rapi plus jas hitam dan dasi biru ia berlari menyusulku. Aku tahu ia baru pulang kerja. Aku sangat mengenalnya. Aku juga mengenal lambaian tangannya menyapaku.
Ingatanku kembali berpacu. Aku teringat semua tentang dirinya. Pertama kali bertemu saat di toko buku. Saat pandangan kami pertama kali beradu. Saat pertama kali ia menghubungiku lewat telepon, pertama kali ia mengajakku berkencan. Saat pertama kali ia datang kerumahku dan berkenalan dengan orang tuaku dan saat ia melamarku. Aku ingat semuanya. Semuanya, semuanya kecuali samar ucapannya saat di Rumah Sakit. Saat hari terakhirnya, kepalaku terasa kacau. Aku tidak ingat apapun yang dikatakanya. Aku hanya memikirkan suatu hal: aku ini hanya bermimpi dan ternyata… aku salah.

Belum pernah hatiku menderita seperti ini. Memebrikan efek ke seluruh bagian dalam tubuhku. Bila aku menyusulmu seperti Juliet, mungkin aku tidak akan merasakan penderitaan yang sama. Haruskah aku menyusulmu? Air terus mengalir dari keran bathtub dan menutup seluruh wajahku. Kupejam mataku dan kuingat kejadian terakhir. Ia berlari-berlari dan tiba-tiba Blash….

Heks… air itu tidak sengaja terhirup dari hidungku dan membuatku tersedak. Uhukk... uhuk... aku terbatuk dan segera bangkit dari situ. Kusiram tubuhku dengan air shower, kemudian kubungkus diriku dengan handuk putih. Kubuka lemari pakaian, aku menerawang memandangi tumpukan baju yang berantakan di dalam lemariku. Kubuka lemari yang sebelah lagi. Aku tersentak melihat sebuah gaun indah penuh dengan payet-payet putih dan manik-manik indah.
Gaun itu berkilauan di dalam lemariku. Kupakai gaun pernikahanku itu. Begitu indah, begitu ayu, seperti yang disukainya. Aku berputar-putar di atas tempat tidur sambl memandangi pantulan bayanganku di jendela apartemen. Aku cantik! Ya, cantik. Sayang, riasanku kurang. Kuambil peralatan riasku dan mulai kutambahkan maskara di bulu mataku, garisan pinsil di atas alisku, blush on di pipiku dan warna-warna cerah kusentuhkan di kelopak mataku. Sempurna! Aku cantik jelita. Kau pasti terpesona padaku di hari pernikahan kita. Tapi, masih mungkinkah hal itu? Aku mengenalmu sebagai orang yang kuat. Aku megenalmu sebagai orang tegar.
Mengapa kau harus duluan pergi mendahuluiku? Aku tidak bisa terima… tidak bisa terima!!!
PRANKK… cermin bulat yang aku gunakan untuk melihat riasan di wajahku kucampakkan kearah cermin meja rias sehingga membuat keduanya hancur berantakan di atas karpet.

Huhuhuhhuhu... Hwawa… Tangisku semakin menjadi-jadi. Huhuhu... aku tidak bisa. Aku tidak bisa menghentikannya. Sama seperti aku tidak bisa menahan perasaan sedihku, seiring perasaanku yang masih terus tumbuh padamu. Huhuhu… kembali padaku. Padaku!

Blasss… tirai apartemenku yang putih cerah terbang tertiup angin kencang yang entah dari mana datangnya. Aku terpana dan terdiam dalam posisiku. Pelan-pelan aku langkahkan kakiku. Pikiranku berputar. Mungkinkah ia datang tiba-tiba untuk menjemputku? Mungkin ia memintaku untuk menyusul dirinya? Langkahku terus berayun menuju ke arah teras. Ketika aku tiba di depannya, tirai telah turun dari kibarannya. Kulanjutkan langkahku keluar teras masih dengan gaun putih terseret yang memberatkan langkahku. Apakah tadi dia datang ke sini, menghampiriku? Apakah dia tahu jeritan hatiku? Tahukah kau betapa menderitanya aku?
Kupandang ke kanan ke kiri mencari sosoknya, namun yang ada hanya kelipan lampu-lampu temaram.
Aku memandang ke bawah melihat jalan-jalan raya serta mobil-mobil yang melintas bagai tidak mengenal waktu. Aku rindu saat berpetualangan bersama dia di malam hari. Melihat indahnya gemerlap cahaya malam dan wajah kota yang dihidupkan oleh lampu-lampu karya manusia. Terlintas di pikiranku bila aku terjun ke bawah, tentu aku akan semakin dekat dengan gemilang cahaya di bawahku. Dan yang terpenting, aku akan semakin dekat dengan dirinya. Tapi tidak, tidak! Bila aku menjatuhkan diriku ke bawah, dari lantai 20 ini, tentu saja badanku akan hancur lebur. Aku tidak akan terlihat ayu lagi dan tidak akan disukai olehnya lagi. Tidak! Aku tidak boleh terjun ke bawah. Kupandang bintang yang ada di atas dan kulihat betapa berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Bintang begitu banyak dan langit yang menjadi latar belakangnya begitu jingga. Bintang-bintang itu berkelip-kelip seakan mengajakku untuk tidak menangis lagi. Sejenak memang menenangkan pikiranku. Aku tiba-tiba teringat perkataan Papa sewaktu menghiburku di hari pemakaman mendiang Mama.

“Jangan menangis Sayang. Lihat bintang-bintang di atas, salah satunya itu Mama yang menemanimu. Mama nggak pergi kemana-mana, kok. Dia tetap ada di sisimu, menjadi terang yang menemaimu ketika gelap. Ia tidak pergi jauh, Sayang. Ia tidak pergi jauh… dia adalah bintang itu….”

Hampir tiap malam aku memandangi malam semenjak kepergian Mama. Bahkan hingga aku beranjak remaja, aku masih sering menerawang ke arah langit. Aku akan sedih ketika kabut menutupi bintang-bintang sehingga aku tidak bisa membayangkan Mama berada di sampingku. Aku sadar, aku mulai menghilangkan kebiasaan itu ketika dia mulai berada di sisiku. Perlahan-lahan aku mulai dapat menghilangkan pilu akibat kehilangan Mama berpuluh tahun yang lalu. Namun ketika ia juga ikut pergi meninggalkanku, aku merasa bagai terhempas jatuh ke dalam pusaran yang terdalam dalam diriku. Aku egois hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tidak pernah memikirkan keberadaan mereka di sana.

Ah, bintang jatuh! Aku harus buru-buru menyebutkan permohonan. Aku mohon semoga dia dan Mama bahagia di sana. Uh, di sana ada bintang yang semakin bersinar cerah. Apakah itu kau? Apakah kau memintaku untuk tetap tabah. Kalau itu yang kau dan mama minta, bantulah aku semakin tegar menjalani hidupku. Sinarilah aku tiap malam dengan cahayamu.
Cerpen oleh Olivia

1 comment: