Apr 16, 2008

Cerpen: Seri Kakek Sanjaya (Pernikahan dan Perceraian)

Ana berjalan cepat–cepat. Tidak dipedulikannya panas matahari yang menyengat dan kakinya yang terasa perih akibat kerikil–kerikil di jalanan yang kadang masuk ke sela antara kaki dan sandal jepit bututnya. Dia sedang terburu–buru. Pokoknya harus bertemu Kakek Sanjaya segera –hanya itu yang ada di pikirannya saat ini.

Dengan bercucuran keringat dan terengah–engah, Ana berdiri di hadapan sebuah rumah sederhana. Ditatapnya pintu pagar dari kayu yang tidak pernah terkunci itu. Entah kenapa tiba–tiba saja dia menjadi ragu untuk membukanya. Akhirnya Ana pun hanya berdiri mematung di depan pintu.

Sepuluh menit berlalu dalam keheningan. Rumah kakek Sanjaya yang berada di tepi sawah itu memang jarang dilewati penduduk kecuali para petani ketika berangkat dan pulang dari sawah. Di siang yang terik seperti sekarang, Ana tetap saja berdiri mematung di depan pintu pagar rumah Kakek Sanjaya hingga ada seseorang menepuk halus pundaknya. Ana terlonjak kaget dan segera membalikkan tubuh. Dia melihat kakek Sanjaya tersenyum ramah, berdiri di belakangnya.

“Ayo masuk. Kalau kamu terus berdiri di sini bisa–bisa kamu pingsan.”

Dalam diam Ana mengikuti langkah tegap kakek Sanjaya. Ana tidak tahu pasti berapa umurnya, tetapi yang jelas Ana tidak melihat tanda–tanda penuaan dalam diri kakek Sanjaya, selain rambut dan jenggotnya yang sudah mulai memutih. Kulitnya yang hitam legam karena terbakar matahari masih belum juga tampak keriput. Badannya juga tegap dan masih sangat kuat untuk bekerja di sawah.

Di dalam rumah mungil itu, hanya ada satu kamar tidur dan satu ruangan luas tanpa sekat, dengan meja kayu di tengahnya. Ana menarik satu dari empat kursi yang mengelilingi meja itu lalu duduk sambil menunggu kakek Sanjaya yang sedang menaruh cangkul dan capingnya di sudut ruangan.

“Wah, hari ini terik sekali ya, An? Kakek jadi lapar berat nih, kamu temani kakek makan siang ya!”

Sekali lagi Ana hanya mengangguk dan terus diam. Dia bahkan tidak ikut membantu kakek Sanjaya mempersiapkan makanan seperti biasanya. Ana masih terlarut dengan pikirannya tentang kejadian di rumah yang membuatnya buru–buru ke sini.
***
“An, sini duduk sebentar. Ibu mau bicara.”

Ana heran mengapa Ibu menunggunya di ruang keluarga sepulang sekolah. Biasanya kan ibu pasti sedang sibuk menata meja makan atau kalau tidak sibuk menyelesaikan pesanan jahitan dari tetangga. Mengapa sekarang tiba – tiba ibu menunggunya dan tampak ingin bicara serius? Pasti ada sesuatu yang penting.

“Ada apa sih, Bu? Sebentar ya, aku taruh tas dan ganti baju dulu, ya.”
Ibu mengangguk dengan tatapan kosong. Ana sedikit bingung, dia tahu ibu pasti sedang punya masalah besar. Maka Ana pun cepat–cepat masuk kamar untuk menaruh tas dan mengganti baju seragamnya.

“Ibu kenapa? Kok keliatannya sedih?” tanya Ana ketika ia sudah siap duduk mendengarkan ibunya berbicara.

“Ibu…” Ana mendengar suara ibu tercekat seperti hendak menangis. “Ibu dan Ayah akan bercerai.”

Awalnya Ana mengira ibu bercanda dan sedang menirukan artis–artis yang sering dilihat beliau di acara gosip televisi. Tapi kemudian Ana tahu ibu tidak bercanda karena tak lama kemudian ibu melanjutkan kata–katanya sambil menangis.

“Maaf ya, An. Tapi kamu tenang aja, nggak akan ada yang berubah. Semuanya akan tetap sama. Kamu akan tetap tinggal di sini dengan ibu, seperti biasanya. Dan ayah juga akan sekali–sekali datang mengunjungi kamu.”

Ana bingung, dia tidak tahu harus bekata apa. Memang selama ini ayah jarang ada di rumah. Ayah bekerja di kota, sementara dia dan ibu tinggal di desa. Tapi cerai? Ayah dan ibu akan bercerai? Kenapa? Kenapa? Bukannya selama ini ayah dan ibu tidak pernah kelihatan bertengkar? Selama ini kalau ayah pulang juga semuanya tampak baik. Kenapa tiba – tiba ibu bilang mereka akan bercerai??

“Ibu tahu ini cukup mengejutkan. Tapi memang ayah dan ibu sudah tidak cocok lagi dan kami tidak bisa bersatu lagi. Mungkin lebih baik kami berpisah dan jadi teman.” Ana melihat ibu menghapus air mata dan mencoba tersenyum.

Ana masih tidak mengerti. “Kenapa?”

“Hmm… ibu tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tapi ada hal – hal yang… Ah, bagaimana mengatakannya ya? Pokoknya ada hal–hal yang akan kamu mengerti setelah kamu dewasa nanti.”

“Apa ayah selingkuh?”

Ibu tampak terkejut dengan pertanyaan Ana. “Bagaimana… Ah, sudahlah Ana. Kamu makan siang dulu ya.”

Ana pusing. Tiba–tiba saja dia merasa mual dan ingin muntah. Dunianya tiba–tiba saja terasa runtuh. Ingin rasanya dia menangis. Tapi Ana tahu dia tidak boleh menangis. Kalau dia menangis, ibu pasti akan makin sedih. Selain itu Biyan, adiknya yang masih berumur tiga tahun akan ikut-ikutan menangis dan membuat ibu semakin repot.

Di samping itu dia masih tidak mengerti kenapa ayah dan ibu harus bercerai. Orang – orang di kampungnya belum pernah ada yang bercerai sebelumnya. Yang dia tahu, hanya artis–artis di acara infotainment yang bercerai. Bukan orang biasa seperti ayah dan ibunya.
***
“Hei, ngelamunin apa sih? Ayo kita makan dulu.”

“Eh? Iya, Kek.”

Teguran kakek Sanjaya menyadarkan Ana dari lamunannya. Ternyata kakek Sanjaya telah selesai memasak dan kini di hadapan mereka telah terhidang sebakul nasi berserta sepiring tempe goreng, tumis kangkung dan juga sambal terasi.

Kakek Sanjaya mulai mengambil nasi dan lauk pauknya dengan bersemangat. Namun Ana tetap menatap ke arah makanan itu dengan pandangan kosong.

“Hayo, makanannya jangan dicuekin dong!”

Karena Ana tak kunjung bereaksi juga, kakek Sanjaya pun ikut meletakkan sendoknya dan menatap Ana dengan penuh kasih. Dilihatnya raut wajah Ana yang tampak kosong.

“Kamu ini? Ada masalah apa? Kalau kamu sudah siap cerita, kakek juga siap mendengarkan.”

Ana menghela nafas. Dia bimbang karena masalah yang ingin diceritakannya adalah masalah pribadi keluarga. Dia tahu aib keluarga tidak sepantasnya disebarkan kepada orang lain. Tapi dia juga tidak sanggup menahan sendiri beban mental itu.

“Kek… aku ingin kakek berjanji satu hal padaku.”

“Apa itu? Kalau Kakek bisa penuhi, Kakek janji akan melakukannya.”

Ana sangat lega mendengarnya. Dia tahu dia datang ke orang yang tepat. Kakek Sanjaya, walaupun bukan kakek kandungnya tapi sudah dianggapnya demikian, adalah orang yang jujur dan bijaksana.

Ana pun menceritakan kejadian di rumah yang baru saja dialaminya sepulang sekolah tadi. Kakek Sanjaya mendengarkan baik–baik cerita Ana. Raut wajahnya ikut menjadi sedih ketika Ana menangis. Dengan sabar kakek Sanjaya menunggu sampai emosi Ana sedikit tenang.

“Kau sudah sedikit lega? Bagaimana perasaanmu?” tanya kakek Sanjaya sambil mengulurkan segelas air putih kepada Ana.

“Aku lega akhirnya aku bisa menangis. Aku tidak bisa menangis di rumah karena Biyan pasti akan ikut menangis juga, dan ibu akan semakin sedih.”

“Kamu selalu bisa datang ke sini kapan saja kalau kamu butuh,” kata kakek Sanjaya.

“Tapi satu hal, Ana. Kamu tidak perlu berpura–pura tegar dan kuat. Kamu boleh lemah dan menangis sesekali. Jangan takut berbagi kesedihan dengan ibumu. Kamu tahu, karena keadaannya sudah seperti ini, seharusnya kamu lebih banyak berbagi dengan ibumu dan saling mendukung.”
“Iya, Kek,” Ana menganggukkan kepalanya. Yang dikatakan kakek Sanjaya benar juga. Sekarang dia sebagai anak tertua harus mengambil alih peran ayahnya sebagai teman berbagi ibunya. Tapi masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya.

“Kek, menurut kakek kenapa ayah dan ibu bercerai? Apa gara–gara aku dan Biyan? Kalau kami tidak ada kan ayah dan ibu tidak perlu banyak uang untuk membiayai kami. Kalau begitu kan ayah tidak perlu jauh dari ibu dan mereka tidak akan bercerai seperti ini. Iya kan, Kek?”

“Ana… Ana… Jangan pernah berpikir begitu. Ayah dan ibumu bercerai, mereka pasti punya alasan sendiri.”

“Ibu bilang, mereka sudah tidak cocok dan kalau berpisah mereka masih bisa jadi teman. Mengapa kalau mereka bisa akur sebagai teman mereka tidak bisa akur sebagai suami istri? Kalau akhirnya mereka bercerai, kenapa mereka dulu menikah?”

“Ana, pernikahan itu banyak hal yang terjadi di dalamnya. Waktu ayah dan ibumu pacaran dulu, mereka merasa cocok, kemudian memutuskan untuk menikah. Kalau sekarang mereka berpisah, mungkin mereka tidak bisa lagi mempersatukan prinsip-prinsip hidupnya. Tapi kalau mereka berpisah, mereka bisa saling menghormati sebagai teman, karena mereka tidak lagi sebagai satu.”

“Maksud kakek?”

“Bayangkan ayah dan ibumu berjalan dari rumahmu sampai kemari. Awalnya mereka berpikir karena tujuan mereka sama, akan menyenangkan kalau kalian berjalan bersama memakai bakiak. Tapi kalau langkah ayah dan ibumu berbeda, mereka pasti akan sering jatuh, kan? Dan kau tahu di jalanan banyak kerikil yang bisa menyakiti mereka. Jadi kemudian mereka berpikir akan lebih baik mereka tidak lagi berjalan di satu bakiak tapi masing–masing mengenakan sandalnya sendiri jadi mereka tidak perlu sering jatuh dan terluka. Bagaimana menurutmu?”

“Ya, begitu lebih baik. Jatuh dan kena kerikil itu sakit.”

“Nah, bakiak itu ibarat pernikahan ayah dan ibumu. Kalau langkah mereka sudah tidak lagi sama, bukankah mereka lebih baik melepas bakiak itu dan memakai sandal masing–masing? Apa kau bisa mengerti?”

Ana tampak berpikir sebentar. “Benar juga. Walaupun aku tidak terlalu suka ayah dan ibu berpisah, tapi kalau mereka bisa lebih baik dengan keadaan itu aku kan coba menerimanya.”

“Bagus kalau begitu. Kalau ada apa – apa lagi, kamu selalu bisa cerita ke kakek. Sekarang, ayo kita makan.”
Cerpen by Fei

2 comments:

  1. re: hai fei,cerpennya menarik. cuma judulnya dikira seri 'orang pintar' Kakek Sanjaya.padahal cara bercerita kamu manis lho. feelnya dapat; ana kecil yang polos dan sedih.kakek sanjaya sendiri kurang dideskripsikan jelas, siapakah dia, kenapa ana lari ke kakek? mungkin bisa diceritakan hubungan emosional yang pernah terjalin antara ana dan kakek sanjaya (pernah ada kejadian apa).

    -- Bayangkan ayah dan ibumu berjalan dari rumahmu sampai kemari. Awalnya mereka berpikir karena tujuan mereka sama, akan menyenangkan kalau kalian berjalan bersama memakai bakiak.-- kok, ada kata ganti kalian ya di sini.

    ReplyDelete
  2. waduhh... soal 'kalian' itu baru sadar. maaf...
    dan makasih banget loh, kritiknya. lain kali bakal lebih diperhatikan lagi.

    soal Kakek Sanjaya dan hubungannya dengan Ana, emank bingung juga mau jelasin gimana, soalnnya kan cerpen dan dibatesin ga boleh kepanjangan. ada saran?

    selain itu kenapa judulnya 'Seri Kakek Sanjaya', itu karena akan ada cerpen2 lain soal Kakek Sanjaya dan orang - orang di kampung dengan masalah mereka masing2. apa itu bisa dijadikan argumen??

    ReplyDelete