Apr 2, 2008

Cerpen: Sindroma Mlenting

Secara umur, bisa dibilang kalau gue udah nggak muda lagi. Secara umur pula, ngga disangka kalau gue bakal kena penyakit yang biasa menjangkit anak kecil. Sekitar akhir Januari tahun 2007, tepatnya Jumat malam, gue mulai ngerasa ada yang nggak beres ama tubuh gue. Kejanggalan itu berupa munculnya beberapa benjolan di kepala sama satu-dua di wajah

Antara curiga dan penasaran, gue membatin, “Kenapa sih gue? Masa puber lagi. Nggak banget deh kalau jerawatan. Secara gue udah kepala dua gitu.

“Lagian, gue kan nggak lagi mikirin cewek manapun. Ada sih, tapi nggak banget-banget mikirinnya. Pasti ini cuma mlenting biasa. Yah, mungkin penyakit ini bisa disebut sindroma mlenting lah,” kata gue mengambil kesimpulan layaknya seorang dokter jempolan.

Tapi, nggak taunya mlenting itu malah tambah banyak keesokan harinya. Berwarna transparan dan seolah ada air di dalamnya. Gue belom ngeh juga itu apa. Baru pas hari Minggu, adek Gee, anak Farmasi yang kebetulan lagi balik kampung dari Jogja nyadarin gue dengan bilang, “Loh mas, itu kan... cacar!”

Apa?! Apa-apaan dong, si Dadang maen ding-dong! Gue terkejut sekaligus shock (apa bedanya coba?). Seumur-umur, dari kecil sampe gede, gue belum pernah kena yang namanya cacar. Wajar kalau akhirnya gue ketularan (entah siapa manusia terkutuk yang berani menularkan penyakit biadab itu ke gue). Cuma, gue nggak tahu penyakit macam apa itu. Gue prediksikan sih, penyakit ini sama aja kayak pusing-pusing flu yang biasa gue rasakan. Tinggal kasih obat, 2-3 hari sembuh. Tapi, ternyata gue keliru....

Gue bener-bener panik. Gue pengen segera sembuh. Secara gue baru aja keterima kerja di sebuah PH (Production House) anyar di Semarang. Gue pengen segera cepet sembuh sehingga bisa menyelesaikan PR naskah yang dikasih si bos.

Minggu pagi itu juga gue buru-buru pergi ke dokter. Sendiri, nelangsa dan telantar. Tanpa kekasih di sisi, tanpa ada yang mengantar. Gue cuma bisa menguatkan hati. Secara, gue udah berumur, malu juga kalau mesti bermanja-manja. Lebih parah lagi karena di rumahnya si dokter, cuma gue satu-satunya pasien yang ada. Gue mungkin akan sedikit berbahagia bila ada pasien lain yang penyakitnya lebih parah di sana.

---

“Keluhannya apa?” tanya si dokter dengan muka agak jutek. Mungkin aja keasyikannya nonton kartun di hari Minggu keganggu gara-gara kedatangan gue.

Sebut saja dokter itu “Dokter Uang.” Ini semua demi keselamatan, supaya gue ngga disuntik mati. Kali aja gue sakit lagi, dan kembali ke sini.

“Saya nggak enak badan, Dok,” jawab gue.

“Coba berbaring,” kata si dokter. Gue nurut. Si dokter menggunakan alat berbentuk belalai yang menggantung di kupingnya, untuk menekan dada gue (Jangan keburu nuduh! Gue ngga tau nama alat itu. Namanya Teleskop kan?).

“Hm...” gumamnya singkat.

“Saya sakit apa, Dok?”

Bukannya menjawab, Dokter Uang malah menarik tangan kanan gue, dan menyelimuti bagian lengan atasnya dengan alat semacam plester yang berwarna abu-abu. Si dokter lalu menekan semacam pompa yang ada di ujung alat, sehingga plesternya mengikat erat lengan gue (Gue juga tau kok nama alat itu. Termometer kan?).

“Hm...” gumam si dokter lagi. Itu nggak membuat gue merasa lebih baik.

Satu hal yang gue nggak suka dari sebagian dokter adalah nggak pernah mau nyebutin penyakit apa yang diderita pasiennya. Entah karena dia belum bisa nebak penyakit apa itu, atau karena dia nggak pengen bikin si pasien panik karena penyakit yang diderita ternyata berbahaya (atau sangat berbahaya, bahkan menular!). Dia paling cuma bilang, “Cuma demam biasa. Saya kasih obat, dua-tiga hari lagi sudah sembuh.” Dan begitulah yang dikatakan Dokter Uang ini.

Gue nggak tahan lagi. “Tapi dok, sepertinya saya kena cacar deh,” kata gue sambil menunjuk ke beberapa mlenting di wajah dan leher.

Si dokter membetulkan letak kacamatanya yang sudah melorot sampai di ujung hidung dan membuka sedikit mulutnya. Dokter Uang meneliti bagian tubuh yang gue tunjuk. “Oh iya ya,” jawabnya setuju. Gue cuman bisa manyun dalam hati dan menahan diri untuk enggak menabok si dokter. Kenapa nggak nyadar dari tadi sih?

Sehabis itu, baru si dokter bikin resep. Obatnya sudah ada di rumahnya. Pasien tinggal nunggu obatnya dimasak, eh diracik sama pembokat yang merangkap sebagai asistennya. Selain minum obat, si dokter juga nyuruh gue banyak makan buah dan minum teh hangat. Gue manggut-manggut. Gue lalu teringat satu hal. “Ada nggak pantangan buat penyakit cacar ini, Dok?”

“Nggak ada,” jawab si dokter dengan pedenya.

“Kalau mandi?” Mami gue pernah bilang kalau sakit cacar ngga boleh mandi. Takut penyakitnya nyebar ke seluruh tubuh.

“Boleh. Tapi pakai air hangat. Yang penting kan cacarnya nggak pecah. Itu yang nggak boleh,” terang si dokter dengan senyum berwibawa.

Hati gue pun tenteram. Mami gue ternyata keliru. Dokter bilang boleh.

Celakanya, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Melenting cacar gue tambah menyebar ke seluruh tubuh, bahkan di wajah, gara-gara gue nekat pakai sabun pembersih muka. Cacar mungkin memang tidak pecah, tapi cairan tubuh penyakitan juga bisa menyebarkan penyakit.

“Apa Mami bilang. Kamu nggak usah mandi, Yoz,” kata Mami.

“Tapi kan kata dokter...”

“Kata-kata orang tua tuh yang mesti diturutin,” lanjut Mami lagi. Dan gue cuma bisa terdiam, telentang dan ngos-ngosan di dalam kamar.

Reaksi penyakit cacar emang hebat. Ngga cuma mlenting-mlenting berisi air di seluruh tubuh saja yang kita derita. Kita juga bakal ngerasa demam, pusing, tulang punggung linu, dan bete abis karena gak boleh keluar rumah. Selain dikhawatirkan kita ngga sembuh-sembuh jika kena debu dan angin, dapat diprediksikan pula kalau orang lain bisa ketularan.

Seminggu kemudian gue merasa baikan. Udah nggak pusing maupun demam lagi. Cuma mlenting cacar di tubuh gue belum semuanya kering.

Seneng banget rasanya pas kita lagi sakit ada yang mau nengokin. Temen-temen deket gue yang perhatian dateng bareng-bareng suatu malam. Semuanya enam orang: Waone, Mimid, Ima (pacarnya Mimid), Eka, Mahfud, dan Reza. Mereka semua tampak terkejut melihat tampang gua yang ancur abis saat itu. Di antara mereka berenam, Mahfud dan Reza seumur hidup ternyata belum pernah kena cacar. Muka mereka berdua terlihat horor begitu aku bilang cacar itu menular. Kayak orang yang nahan boker sehari semalam, keduanya keliatan pengen segera cabut pulang dan pergi ke empang.

Demi menenangkan mereka berdua gue pun berkata, “Gue udah baikan kok. Mlentingnya udah pada kempes semua. Mungkin cacar ini udah nggak bakal nularin lagi.”

Wajah mereka berdua beranjak lega, “Tapi ngga tau juga sih kalau ternyata virusnya masih aktif,” gue keceplosan. Mahfud dan Reza serasa mau pingsan.

---

Besoknya, karena bosen diam di rumah, gue pun pergi ke rental komik milik temen gue. Sebut aja namanya Yeyen. Bukan karena gue pengen pinjem komik di sana, tapi karena si Yeyen minta gue buat masangin printer komputer yang baru aja dibelinya.

Si Yeyen ini bertubuh sehat (baca: makmur. Tahu kan maksud gue?). Begitu juga dengan anggota keluarganya yang lain. Maklum, bokapnya punya warung sate kambing yang masakannya yahud punya dan setiap hari laris manis dikunjungi para pembeli. Si Yeyen pernah bilang kalau dia udah kena cacar waktu kecil. Kata ensiklopedia yang ada di komputer gue, orang yang pernah kena cacar ngga bakalan kena cacar lagi. Tubuh kita bakal imun sesudah menderita penyakit itu. Jadi gue merasa oke-oke aja disuruh dateng ke sana.

Yeyen kayaknya sih maklum-maklum aja ngeliat keadaan gue. Mungkin karena terpaksa daripada manggil tukang service komputer. Waktu gue masangin printer, adek sama saudaranya Yeyen pada dateng terus ngeliatin gue. Mungkin batin mereka: “Ih, kok bisa ya orang abis kena cacar masang printer? Lebih keren dari topeng monyet, nih!”

Gue pun menyelesaikan tugas dengan sukses. Selain mendapatkan ucapan terima kasih, gue juga dapet snack dan dipinjami komik gratis sama Yeyen.

Beberapa hari kemudian pas gue ngebalikin komik, Yeyen menatap gue dengan tampang serius. Kayak anggota DPR yang lagi nonton sirkus.

“Zar, cacar itu dari virus apa bakteri sih?” Yeyen tiba-tiba bertanya. Layaknya seorang guru Biologi menguji muridnya.

“Ya, virus lah. Emang kenapa?” jawab gue sembari melihat-lihat koleksi komik Yeyen. Berharap dengan memberi jawaban yang baik dan benar, maka gue bakal dapat pinjeman komik gratis lagi.

“Dasar lo, penyebar virus!” semprotnya.

“Lah, emang kenapa?” tanya gue dengan bingung.

“Gara-gara lo tuh, adek gue, si Nino kena cacar sekarang.”

Mulut gue melongo, “Hah, yang bener? Bukannya keluargamu udah pada pernah kena cacar?”

“Ya, kecuali si Nino.”

“Auw, sorry deh kalo gitu.”

Gue jadi gak enak sama adeknya si Yeyen. Gue pun minta maap sama Nino. Gue ngga ngira penyakit gue ternyata masih berpotensi menular. Untungnya keadaan Nino ngga parah-parah amat. Sebelum mlentingnya nyebar ke seluruh tubuh, Nino berhasil menghasut petugas apotek untuk memberinya salep yang bisa menghambat penyebaran cacar.

Minggu demi minggu pun berlalu. Mlenting demi mlenting cacar di tubuh gue pada kempes, mengering, dan mengelupas. Namun lukanya masih menimbulkan bekas yang sampai sekarang belum bener-bener ilang. Yah musti sabar emang. Gue pun kembali melanjutkan hidup yang penuh cobaan seperti biasanya.

Beberapa bulan berlalu. Gue bener-bener udah sehat walafiat sekarang. Tubuh gue udah imun dari cacar. Namun, ada suatu hal yang baru gue sadari belakangan ini. Di jidat gue mulai muncul beberapa benjolan: merah-merah, agak keras, dan sakit kalau dipegang. Ada yang ujungnya berwarna kuning. Gue tahu dan yakin kalo yang ini pasti bukan cacar lagi. Gue emang udah nggak di umur puber lagi, gue emang lagi ngejomblo, tapi gue enggan ngakuin kalau benjolan-benjolan di jidat itu adalah... JERAWAT! Aaargh... muka gue kembali jadi gawat!


Cerpen by: Amru

5 comments:

  1. menghibur dan informatif sekali...
    (^_^)

    ReplyDelete
  2. Really? I'm glad to hear you say so, but... beware of smallpox :)

    ReplyDelete
  3. wah bahasanya enak dibaca
    ga terlalu baku
    pengalaman pribadi ya???

    ReplyDelete
  4. info tentang cacar-nya ada yg ga akurat tuh.. risoet lagi donk sebelum nulis.:)

    ReplyDelete
  5. tulisan komedi yang kaya gini nih yang lagi banyak di pasaran..raditya-dika-wannabe-banget. but you are not as good enough as Him.

    ReplyDelete