Apr 4, 2008

INO: POINT OF VIEW

Tips ino: Point of view (POV)

Dari hasil belajar nulis lagi, ino mendapatkan ilmu baru yang dengan senang hati dibagiin ke temen-temen. Semoga berguna!


* * *
Sebelum mulai menulis, ada baiknya kamu tau dulu POV macam apa yang akan kamu pakai. Tadinya ino pikir POV tuh cuma ada tiga: sudut pandang orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Ternyata... BANYAK!

Objective viewpoint (OV): teknik ini pernah ino denger sebelumnya. Kalo di sekolah nulis, dikenal dengan istilah ‘kamera satpam’. Pada prinsipnya, penulis menjelaskan adegan seolah-olah dia menontonnya di layar televisi. Jadi, penjabaran karakter hanya sebatas apa yang mereka lakukan dan katakan: bukan apa yang mereka ketahui, mengerti, duga, percaya, dan sebagainya.

Contoh:
Andar membolak-balik halaman majalah dengan wajah bosan. Diliriknya jam yang masih menunjukkan pukul lima sore. Lalu, dia kembali memusatkan perhatiannya pada para model yang berpose dengan wajah ceria di halaman fashion.

Bayu menyenggol bahu Andar. “Nunggu siapa sih?”

“Bukan siapa-siapa.” Andar meraba saku kemeja dan menemukan kotak rokoknya. Diambilnya satu dan disulutnya. Sejurus kemudian lingkaran tipis asap rokok mengepul keluar dari mulutnya.

Bayu geleng-geleng kepala sambil tersenyum penuh arti. “Bukan siapa-siapa kok keliatannya cemas banget.”

Cara seperti ini cocok untuk percakapan dengan tokoh figuran yang nggak perlu. Pembaca kan nggak butuh tau tentang apa yang mereka pikirkan? OV cocoknya dikombinasikan dengan Limited Omniscient (LO). Entar deh dibahas.

In Modified Objective Viewpoint (IMOV): narator nggak tau apa yang sedang dipikirkan karakternya, hanya menebak-nebak. Kadang-kadang tebakannya salah, tapi perkiraan si narator benar-benar ‘jujur’ dan seiring kejadian sebenarnya akhirnya diketahui, narator maupun pembaca dibawa pada kesimpulan yang sama. Ini teknik yang sulit karena salah-salah bisa membuat pembaca malas melanjutkan cerita. Nggak cocok buat novel romance!

Contoh:
Sandra menatap bayangannya di cermin dengan gundah. Kenapa? Bukannya pertemuan tadi malam dengan gebetan lamanya baik-baik saja? Makan malam yang romantis, di bawah taburan bintang yang mengerjap-ngerjap cantik di langit secantik satin. Mungkin bukan. Tapi matanya berkaca-kaca dan sejurus kemudian sebutir air mata bening menetes di pipi. Apapun yang sedang ditangiskan Sandra, jelas banget adalah masalah berat. Meskipun menangis identik dengan perempuan, Sandra tidak termasuk di golongan rata-rata itu. Orangnya logis dan saat menghadapi masalah dia selalu menempatkan rasio di atas emosi. Jadi kenapa menangis?

In First-Person Subjective Viewpoint (IFPSV): ini sih udah terkenal banget ya? Sudut pandang orang pertama. Novel ditulis selalu berdasarkan sudut pandang subyektif (bisa saja tokoh protagonis, antagonis, apa aja!) dan menceritakannya dari sisi yang lebih personal. Meskipun kedengarannya gampang, pada kenyataannya cara menulis seperti ini membutuhkan jam terbang tinggi karena banyak batasan-batasan yang nantinya akan ditemukan penulis. Misalnya: si tokoh ‘aku’ nggak bakalan tau dong apa yang sedang dibicarakan orang lain tentang dirinya kecuali dia ‘dengar’ sendiri.

Contoh:
Gue sadar ini salah, tapi setiap kali melihat Andar bersama pacarnya, gue nggak bisa nahan diri. Sakit! Rasa sayang gue ke Andar terlalu dalam, terpupuk sejak gue dan dia masih berseragam putih biru. Gue sebangku dengan Andar pas kelas 1 di SMPN 2. Gue nggak butuh waktu lama buat nyadarin perasaan gue ke dia. Gue sayang dia... tapi kepengecutan gue membungkam fakta itu selama bertahun-tahun sampai akhirnya gue kena getahnya sendiri.

Sekarang, Andar udah punya pacar. Udah terlalu terlambat buat mengklaim dia sebagai milik gue.

Second-Person Narrative (SPN): Cara bercerita ini nyaris jarang dipake di dunia literatur, tapi bukan berarti nggak ada lho. Coba deh baca buku Melissa Bank yang judulnya The Girls’ Guide to Hunting and Fishing, dia make sudut pandang orang kedua: ‘kamu’.

Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus perfect dong... jadi sejak tiga per empat jam yang lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai make up. Lalu, setelah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final di make up natural look yang kau rasa akan memesona teman-teman barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan kaki (salah satu wujud kebiasaan jaga-jagamu), dan... ke udara. Sedetik berikutnya, kau melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu.

Kau tersenyum ke arah cermin. Sempurna, pikirmu.

Limited Omniscient (LO): Menurut ‘ahlinya’, ini yang paling cocok buat novel romance. Menceritakan dari sudut pandang orang ketiga, tetapi membatasi diri, tidak sampai mengetahui pikiran karakter orang lain di novel ini. Kenapa dibilang paling oke? Karena... dengan batasan seperti ini, pembaca akan penasaran dengan isi cerita karena disingkap sedikit-sedikit, dari sudut satu tokoh utama doang pula.

Contoh:
Saat melihat Andar, Sandra refleks menyentuh rambutnya. Menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai di pelipisnya. Sandra tersenyum semanis mungkin. Ini momen yang selama ini dia tunggu-tunggu. Bertemu dengan Andar setelah sekian tahun lamanya. Ahh... tapi sekarang, rasanya seperti kemarin saja.

“Di sini!” Sandra melambaikan tangan, membuat Andar menoleh dan balas melambai. Saat melihat Andar berjalan ke arah yang berlawanan, Sandra punya firasat cowok itu belum melihatnya. Ternyata memang benar.

Sandra nyaris tersedak ludah sendiri saat melihat sosok Andar hanya berselisih dua langkah saja darinya. Mata Sandra dengan rakus menikmati setiap inci pesona imaji Andar yang kini semakin tampan saja. Rambut pendek yang acak-acakan, kaus hitam yang dipadu jaket dari bahan jeans. Benar-benar berubah dan membuat Sandra sempat meragukan dirinya sendiri, jangan-jangan ini bukan Andar yang dikenalnya dulu? Tapi keraguan itu lenyap saat matanya tertumbuk pada sorot mata lembut cowok itu. Masih memabukkan seperti dulu.

Sepasang mata itulah yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya, pikir Sandra, mendadak melankolis.

“Sori ya, gue telat,” kata Andar sambil menarik kursi di hadapan Sandra. “Macet banget gila!”

Sandra tersenyum. Satu lagi yang disadarinya, Andar belum menghilangkan kebiasaannya yang suka ngomong ceplas-ceplos itu. Bukan sesuatu yang buruk, sebenarnya. Malah... seksi, batin Sandra, mendadak tersipu karena pikirannya sendiri.

Omniscient Viewpoint (OmV): sudut pandang dengan narator bersikap seolah dialah tuhan. Mahatahu. Dia mengetahui yang dipikirkan para karakternya, latar belakang mereka, dan motif mereka melakukan sesuatu.

Contoh:
Saat wajah mereka berdekatan, terlalu berdekatan malah, harusnya keduanya sama-sama tahu bahwa sesuatu yang tak terelakkan akan benar-benar terjadi. Sandra menahan napas, pelan-pelan memejamkan mata. Menunggu.

Sebaliknya, di dalam diri Andar malah sedang terjadi pergulatan batin. Sebagian dari dirinya ingin mendekatkan bibirnya ke Sandra. Menumpahkan semua kerinduan yang tersimpan lama, hingga mengendap di dalam dirinya. Tapi, sebagian dirinya memperingatkan. Bukan keputusan baik, Andar, dia mengingatkan dirinya sendiri. Jangan lupa satu hal....

Andar mengumpat dalam hati. Rahangnya mengeras, tanda dia akan sulit sekali menahan godaan ini. Tapi harus.

“Maaf, San....” Andar menjauhkan diri. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat roda kemudi, berharap itu bisa menahan dirinya supaya tidak melakukan kesalahan yang dia yakin belakangan akan disesalinya.

Mata Sandra spontan terbelalak. Kaget, sekaligus malu. “Ke-kenapa?” bisiknya sedih.

1 comment:

  1. wah =D les menulis gratis. baik sekali kk kk gagasku ini :) postingan kayak gini membuat tulisan - tulisan anak muda bangsa kita jadi lebih berkualitas =D

    ReplyDelete