Jun 4, 2008

Merah Itu Indah

Saat kubuka mataku. Pertama-tama yang kutatap adalah langit-langit ruangan tempat tubuhku terbaring. Semua nampak berwarna merah. Kemudian, kuputarkan mataku menuju ke sekelilingku. Merah. Tak lama kurasa hatiku mulai berbungah. Aku berada di dalam sebuah ruangan yang semuanya serba merah, sampai-sampai tempat tubuhku terbaring pun merah warnanya.

“Ya, inilah nampaknya tempat impian abadi!” gumamku, tapi tak lama kemudian ada satu suara yang tiba-tiba membuyarkan pandanganku.

“Oh, syukurlah ternyata anda sudah sadar” ujar seorang suster yang tengah akan mengganti infusku. Aku tercenung.

“Suster, saya dimana sekarang?” tanyaku.
“Bapak sekarang berada dirumah sakit,” ujarnya, sedangkan aku tambah terbelalak. Bagaimana mungkin rumah sakit memiliki suasana seperti ini. Merah. 'Akh, aku rasa suster itu berbohong, aku rasa aku saat ini bukan berada dirumah sakit, ya, mana ada rumah sakit seperti ini, full merah! Kalaupun ini benar rumah sakit, berarti ini adalah rumah sakit pertama yang pernah aku temui yang suasananya penuh warna merah!’ ujarku.

“Maaf suster, apakah ini benar-benar rumah sakit?” tanyaku dengan benak yang masih tak percaya. Sedangkan sang suster cantik itu, ketika mendengar pertanyaanku, ia sejenak langsung tercenung, memandangku aneh.
“Maaf bapak, ini memang benar rumah sakit!” ujar suster itu.

“Tapi, apakah suasana ruangan ini memang dirancang dengan penuh warna merah?” tanyaku lagi.

“Maksud bapak?” suster itu makin tak mengerti.

“Maksud saya, ini adalah rumah sakit teraneh yang pernah saya temui! ya, karena semua sudut ruangan ini didekorasi dengan menggunakan penuh warna hidup saya, merah!” jelasku pada suster itu, tapi lagi-lagi suster cantik itu hanya terbelalak menatapku keheranan.

“Maaf bapak, warna yang mana yang bapak maksud berwarna merah diruangan ini?”
“Dindingnya, plafonnya, ranjang ini, dan pintu itu...” jelasku, sedang si suster dengan sifatnya yang sopan berucap padaku.

“Maaf, bapak, mungkin anda saat ini masih belum terlalu sehat, sehingga anda jadi sedikit ngawur seperti ini!” kata sang suster.

“Apa maksud suster?” tanyaku.

“Ya, bapak salah mendeskripsikan warna ruangan ini! Dinding yang anda bilang berwarna merah itu sebenarnya berwarna hijau muda, sedangkan langit-langit dan ranjang ini warnanya putih!” ujar suster itu menjelaskan. Sedangkan aku, lagi-lagi hanya terbelalak.
*
Aku terlahir bernama Firman. Masa kecilku terbilang cukup menderita. Aku berasal dari koloni kaum pengemis, keluarga dan seluruh kerabatku pun juga pengemis. Pengemis tanpa ilmu. Pengemis penadah tangan, pelepak tempurung belah, tapi aku bukan gelandangan.

Pengemis adalah julukan yang cukup membanggakan bagiku. Sekalipun demikian, aku bercita-cita tinggi untuk dapat meraih bintang. Dari mbah kakungku, aku memperoleh warisan puluhan buku bermutu buah karya masa lalu. Semua sampul buku itu berwarna merah.

Menurut mbah kakungku, dulu, merah adalah lambang keberanian, perjuangan, kecerahan, dan bukan hanya cinta, tapi merah juga bisa melambangkan kemarahan. Tapi, pada intinya merah itu indah!

Ketika beranjak remaja, di dalam dadaku tumbuh tekad besar yang terus bergenderang menggebu. “Ya, aku ingin jadi penerang bangsa ini. Aku mau jadi presiden,” begitu tekadku malam itu. Entah pengaruh apa kemauan itu lahir. Tapi, yang pasti keesokan harinya aku langsung bergabung bersama kelompok aktivis pro demokrasi. Aku tak lagi menjadi pengemis. Tapi, aku telah menjadi seorang aktivis. Melakukan berbagai demonstrasi. Membawa yel-yel penuh jiwa semangat, kertas karton yang bertulis tentang penolakan, kemauan, atau berbagai macam kata yang menyangkut tentang demonstrasi yang tengah terjadi, atau malah berjerit meneriakkan kebenaran dan kemauan.
Ketika aku menginjak usia yang ke-33 tahun aku dipilih menjadi pemimpin kelompok ini. “Ini negara otokrat, diktator. Kita menolak semua itu. Mari kita berjuang untuk rakyat. Dan aku adalah pemimpin kelompok ini. Ya, akulah pemimpin kalian. Maka, segala sesuatu yang berkaitan dengan kelompok ini, aku yang memutuskan!” ujarku dengan karas.

“Mulai sekarang, nama kelompok kita adalah Merah!” ujarku berapi-api ketika masih diberi kesempatan untuk mengutarakan sambutanku di depan kelompokku. Maka sejak saat itu, aku mulai merancang semua atribut untuk memerahkannya.
*
Hari ini, aku merencanakan demonstrasi besar-besaran untuk mengutuk pemerintah diktator dan meminta pemimpinnya turun dari jabatan. Tentu atas persetujuan dari berbagai pihak dalam kelompokku.

Sejak hari itu, berbagai pers langsung sigap dan dengan gencarnya memberitakan rencana besar kami. Sedangkan kelompok pro presiden, turut menyiapkan barisan.

“Mereka semua merah. Mudah kita kenali dan mudah mengidentifikasi mereka. Maka, jika mereka marah dan mengeluarkan kekasarannya, maka kita babat saja mereka selayaknya membabit rumput-rumput liar....” ujar komandan laskar pro-presiden dengan penuh berapi-api.
Esok harinya, kami melaksanakan niat yang sudah tertata rapi ini. Kami tahu, sang diktator, presiden itu sebentar lagi mendarat dibandara. Lapisan pengamanan kepresidenan itu demikian ketat tak akan mudah kami tembus. Tapi, nampaknya tekad kami sudah memerah.

Sampailah kelompok kami pada tempat yang akan dituju. Pusat komando angkatan udara negara sudah pada berjaga. Setelah melakukan dialog, yang hasilnya tak memenuhi harapan, maka konflik keras pun menelan korban. Tak lama kemudian, semuanya—baik dari kelompok yang kupimpin ataupun kelompok laskar pro presiden—saling beradu. Kusaksikan benar, kalau kawan-kawanku semuanya jatuh. Mereka banyak yang tersungkur, terjungkal, diantaranya banyak yang mengaduh, adapula yang diam bergelimpangan, akibat pertemupran diatara dua kubu ini. Sebisa mereka, ada yang menembak, memukul, menendang, menujah dan... membabit, sehingga karena hal itu, lapangan ini akhirnya menjadi sebuah arena yang penuh memerah.

Sedangkan aku, sebagai seorang pemimpin tak hanya diam. Ya, aku akhirnya ikut berlaga dalam pertempuran ini. Hingga akhirnya, aku tersungkur, kepalaku terasa hancur, seribu kunang-kunang beterbangan di atas kepalaku. Aku masih tersadar sedikit, tapi hanya ada warna merah yang mewarnai pandanganku.

“Merah itu indah!” ujarku. Lalu perlahan, mataku terpejam. Dan akhirnya, bayanganku tentang merah menghilang, selanjutnya hanya ada bayangan tentang keabadian dibenakku.***
ASPA, 250508, 22.16wib
Cerpen by Jyumanlee Johnsy

1 comment:

  1. thank's ya buat team kandangagas, coz udah mau mublish naskah cerpen gw ini! but, plis dong, tinggalin komentarna!

    ReplyDelete