Aug 25, 2008

Bagaimana Aku Bisa Hidup Tanpamu

How do I get through one night without you

Aku memandangi bintang di atas sana. Ingin kuraih bintang-bintang itu untuk kupeluk. Untuk menemani kesendirianku tanpanya, mulai malam ini. Kupandangi foto yang terletak di sampingku. Aku menatap foto itu, melihat dirinya yang tersenyum bahagia saat kupeluk waktu hari ulang tahunnya. Tanpa terasa air mata menetes di pipiku. Aku merindukannya.

***

Di sebuah lapangan luas, dimana garis cakrawala antara langit dan bumi terlihat jelas. Di sana hanya ada aku dan dirinya yang asyik memandang bintang-bintang. “Eh, kamu percaya kalau orang yang meninggal akan menjadi bintang?” tanyaku membuka pembicaraan.

Dia menoleh padaku dan mengernyitkan dahinya, “Memang kamu percaya?” tanyanya heran.

Aku tersenyum lalu kembali memandang langit, “Sebenarnya sih enggak, tapi aku anggap aja itu benar. Daripada aku harus menangisi seseorang yang telah meninggal dan menyakiti diriku sendiri? Lebih baik aku memandang langit dan memikirkan mitos itu. Jadi aku akan merasa tidak sendirian,” celotehku panjang lebar.

Lalu dia ikut memandang langit, “Kalau begitu, kalau aku meninggal kamu akan memandang langit juga?” tanyanya.

Aku menoleh padanya terkejut, “Kok kamu ngomong gitu?” tanyaku heran. Tapi dia hanya memandangku sambil tersenyum lalu kembali memandang langit.

***

If I had to live without you what kind of life would that be?

Aku terbangun dari tidurku di pagi hari. Dan kudapati sudah tidak ada lagi sosoknya di sampingku. Tatapanku kini kosong, seolah-olah tak ada lagi yang bisa kulihat. Tanganku ringan, seolah-olah tak ada lagi yang bisa kupeluk untuk kulindungi. Dan jiwaku tiba-tiba sangat hampa dan tak terkendali.

Tak ada lagi ucapan selamat pagi darinya kini. Akan seperti apa hidupku nanti???

***

“Pagi...,” sapanya sambil memelukku yang terlelap. “Hey, jangan males dong! Ayo bangun!” ucapnya lagi.

“Aah...berisik! Aku kan baru tidur jam tiga pagi...,” gerutuku setengah sadar.

“Loh? Kok bisa?” tanyanya heran.

“Kamu berisik sih! Dengkuran kamu itu loh... ugh...,” ucapku sambil tersenyum nakal menatapnya.

“Iiiih...nyebelin ya!” ujarnya sambil menggelitikku.

“Ampuuuun!!!” teriakku kegelian.

Dia menatapku dan perlahan mengecup dahiku, “Bangun yuk... Kita jogging bareng,” ajaknya sambil membelai rambutku.

“Males ah...,” ucapku sambil memeluk guling. Dia malah kembali menggelitikku

***

I need you in my arms, need you to hold, Your my world my heart my soul

Tiba-tiba saja rumah ini terasa kosong. Hanya terdengar suara air mengalir dari cucian piring, suara pembawa berita di TV, suara anjing tetangga menggonggong meminta makan. Dan aku hanya bisa mendengar suara detak jantung diriku. Tak terdengar lagi detak jantungnya.

“Kamu ada di mana sekarang...?” lirihku memanggilnya berkali-kali. Aku tak peduli harus meneteskan air mata berapa banyak, aku hanya ingin dia bersamaku. Karena dialah jantungku, dialah jiwaku, dia adalah duniaku. Tanpanya, aku bukan apa-apa.

***

“Maksud kamu apa ngomong gitu?!” bentaknya kesal dan menatapku penuh kemarahan.

Aku tertunduk dan perlahan menggeleng. Dia mengangkat kepalaku seolah-olah menyuruhku untuk berbicara. Aku menatapnya, “Aku benar-benar iri sama kamu... Kamu itu sempurna!” sahutku dengan mata berkaca-kaca.

Dia memegang kedua pipiku dan menatapku dalam, “Aku tidak sesempurna yang kamu lihat, aku ini sangat rapuh!”

Aku mengernyitkan dahiku dan menggenggam tangannya yang memegang pipiku, “Katakan padaku apa ketidaksempurnaanmu!”

Dia menundukkan kepalanya dan menempelkan dahinya dengan dahiku, “Kamu pasti tahu suatu saat nanti...,” bisiknya, “yang pasti, gak ada orang yang sempurna sampai kamu jatuh cinta kepada orang itu...”

***

Without you, there’d be no sun in my sky…

Aku melangkah gontai keluar rumah. Dengan pakaian serba hitam, aku menyusuri trotoar pinggir jalan. Pikiranku berantakan. Aku tak siap melakukan ini. Aku masih tidak percaya. Kuhentikan langkahku sejenak lalu memandang langit. Semuanya tampak kosong walaupun kusadari matahari bersinar terik di atas sana. Tapi entah kenapa langitku terasa tak bermatahari. Semua terasa hilang. Tak ada lagi cinta di hidupku. Dunia telah meninggalkanku.

Aku menundukkan kepalaku dan kutarik napas panjang. Kudongakan kepalaku dan menatap depan, walau banyak orang. Tapi kosong. Kulangkahkan kembali langkahku.

There would be no love in my life, there would be no world left for me

***

Aku menangis di sampingnya. Ini bukan tangisan sedih, tapi ini suatu kemarahan tak terungkapkan. Apalagi ketika melihatnya terbaring di rumah sakit lemah. Dia tak sedikitpun menoleh padaku. Matanya hanya menatap pemandangan luar sana. Tapi aku tahu, dia pun menangis.

“Jadi ini ketidaksempurnaan yang kamu maksud?” tanyaku dengan lirih. “Jadi ini yang selama ini kamu sembunyikan?!” tanyaku lagi dengan tangis tertahan. “Jawaaaab...”

Dia menoleh dan menatapku, “Maafkan aku...”

Aku tersenyum sinis, “Cuma itu yang bisa kamu ucap?!” teriakku kesal. “Kamu bakal selalu di samping aku kan?” tanyaku dengan air mata yang tak dapat kuhentikan.

Dia tersenyum dan mengangguk, “Hatiku akan selalu menemanimu...”

***

Baby, I don’t know what I would do, I’d be lost if I lost you…

Sudah cukup lama aku berdiri di depan toko bunga itu. Hingga akhirnya muncul seorang wanita. Dia menghampiriku, “Cari bunga apa?” sapanya lembut.

“Sebentar ya, saya lihat-lihat dulu...,” ucapku sopan. Wanita itu kembali memasuki toko bunga tersebut. Kupandangi bunga lily. Bunga favoritku yang selalu diberikannya di hari ulang tahunku. Kuambil setangkai bunga itu dan kupandangi lebih teliti bunga itu. Tapi bunga itu malah terlihat kabur. Mataku basah.

Aku tundukkan kepalaku. Ternyata aku memang tidak bisa apa-apa tanpa dia. Akhirnya kuhapus air mataku. Dan aku mencari wanita yang melayaniku tadi.

“Mbak...,” panggilku. Wanita itu muncul. “Saya pesan bunga krisannya sebuket ya...”

***

Tiba-tiba saja rumah terasa kosong tanpanya. Dia malah menyuruhku pulang dan jangan menemaninya di rumah sakit. Aku pun tak bisa melawannya ketika menatap matanya yang penuh pelas.

Sesampai di rumah, aku langsung mengambil telepon. Kupencet nomer HP-nya.

“Ada apa?” tanyanya langsung begitu menerima telepon dariku.

“Kamu gak apa-apa sendirian?” tanyaku cemas.

“Aku baik-baik aja kok...,” jawabnya.

“Aku kangen kamu, aku bingung mau ngapain tanpa kamu...,” ucapku lirih menahan tangis.

“Hey, besok juga kita ketemu kok... Yang sabar ya, aku juga pasti nunggu kamu kok disini...,” ucapnya berusaha tegar. “Aku juga kangen sama kamu...,” tiba-tiba saja dia memutuskan teleponnya.

Aku terdiam sesaat sambil memandangi gagang telepon itu lalu menghela napas panjang. Mataku langsung beralih ke apa yang di depanku. Tapi isi pikiranku kosong. Mataku pun jadi tak tahu apa yang harus kulihat.

***

If you ever leave baby, you would take away everything real in my life

Kupandangi wajahnya. Seolah-olah dia hanya tertidur. Kudekatkan tubuhku padanya dan kukecup bibirnya. Tanpa kusadari, air mataku menetes. Aku tersenyum miris sambil menatap matanya yang terpejam, “Kenapa kamu mengingkari ucapan kamu...?” tanyaku lirih. “Kenapa kamu meninggalkan aku?”

Akhirnya dirinya dibawa ke pemakaman. Aku melangkah sendiri di belakang sambil membawa sebuket bunga krisan favoritnya. Kuhentikan langkahku dan memandang langit lagi, “Semoga kini kamu menjadi bidadari yang cantik ya...,” gumamku sambil tersenyum.

***

Kubawakan sebuket bunga krisan favoritnya. Dengan rasa tidak sabar, aku mempercepat langkahku menyusuri lorong rumah sakit. Tapi jantungku serasa berhenti berdetak ketika mendapati banyak perawat dan dokter yang keluar masuk kamarnya dirawat dengan muka panik. Hal itu membuat perasaanku tidak enak. Aku langsung berlari menuju kamar itu.

Aku melihatnya, dia sangat menderita. Seorang dokter sedang memeriksa detak jantungnya. Dia terlihat setengah terpejam. Tapi dapat kusadari dia sedang menatapku. Tangannya terangkat seolah menyuruhku mendekatinya. Aku langsung menggenggam tangannya setelah menjatuhkan sebuket bunga krisan untuknya.

“Hera...,” aku memanggilnya.

“Maafin aku...,” lirihnya. “Aku gak bisa bertahan lagi...”

Aku langsung menangis, “Jangan tinggalin aku, Hera...,” pelasku.

Dia menggeleng pelan, “Aku harus pergi,” lirihnya seraya menutup matanya secara perlahan dan tiba-tiba saja terdengar bunyi panjang melengking dari mesin pendeteksi detak jantung. Aku terdiam.

Seorang dokter langsung memeriksa detak jantungnya. Mencoba memompa detak jantungnya. Nihil. Dokter itu pun memeriksa pupil matanya. Tapi tetap saja nihil. Dokter itu memandangku, “Maaf, Mbak Amy...Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi...,” ucap dokter itu. Aku terpaku, tak percaya dengan apa yang sudah keluar dari mulut dokter itu.

Aku menoleh kepadanya yang terlihat tertidur. “Hera, aku mohon jangan bercanda...,” lirihku sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya. Tak ada tanggapan.

“Mbak Amy, kami turut berduka cita...,” ujar dokter itu lagi.

“Heraaaa!!!” aku menangis sejadi-jadinya.

***

Lima Tahun Kemudian...

Kupandangi batu nisannya. Tak terasa, lima tahun telah berlalu sejak dia meninggal. Seperti setengah hatiku yang sudah mati semenjak kepergiannya. Kini tak ada lagi dirinya. “Hera...aku tersiksa, Ra...Tak kudapati lagi senyummu, tatapanmu bahkan kecupan semanis kecupanmu tak ada lagi...,” lirihku. “Jelaskan padaku bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Ra! Karena hanya kehampaan yang kurasa sampai detik ini!”

Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang, “Amy, aku mengerti bagaimana sakitnya dipisahkan dengan orang yang dicintai...,” bisik orang yang memelukku itu. Aku menoleh dan kudapati seorang pria separuh baya. Dialah pasangan hidupku kini. Bukan Hera, seseorang yang paling kucintai.

“Makasih ya, Ar...,” ucapku sambil tersenyum. Lalu pria itu mengecup pipiku.

“Tapi kamu yang dulu sangat menyakiti orang tua kamu...,” tambah pria itu.

“Aku tahu, Ar... Aku tahu...,” gumamku sambil memejamkan mata. Aku tahu bahwa kepribadianku yang menyukai sesama jenis ini tak pernah bisa dimaafkan, hingga meninggalnya Hera, orang tuaku langsung menjodohkanku dengan lelaki ini. Aku menoleh ke makam Hera, “Semoga aku bisa bertahan, Ra...,” gumamku sambil tersenyum menatap makam itu.

“Aku cinta kamu...,” bisik Ardi sambil memelukku penuh sayang. Lalu dia menarikku pergi.

Di saat terakhir, mataku terus memandang makam Hera, “Aku selalu cinta kamu...,” ucapku singkat.

***

And tell me now…

How do I live without you?

I want to know

How do I breathe without you?

If you ever go

How do I ever survive?

How do I live without you, baby…



Cerpen by Fitri Wira Darya

0 comments:

Post a Comment