Sep 9, 2008

Surat dari Laki-laki yang Menulis Surat


Ada yang unik dari kemasan novel terjemahan terbaru GagasMedia The Wednesday Letters (Surat Cinta di Hari Rabu). Di bagian terakhir novel ini terdapat amplop yang di dalamnya ada surat. Surat ini merupakan epilog dari cerita. Nah, biar kesan surat lebih dapet, halaman itu ditulis tangan secara manual.

Kebetulan, Bapak Ismail Isdito, nama si penulis surat itu juga seseorang yang sangat senang menulis surat. Bukan hanya karena dia seorang pensiunan kantor pos sehingga dia bersahabat dengan surat, tapi karena dia memang senang berkorespondensi. Tulisan berikut ini merupakan sebagian dari pengalamanannya bahwa menulis surat itu lebih dari sekadar bertukar kata.


MENULIS ITU MENGUNGKAP LEBIH BANYAK

Kartu pos bergambar yang dikirimkan Alit, anak bungsu saya, bercap tanggal Amsterdam 22 Juli 2004 mengandung banyak hal untuk diungkap lebih panjang. Di samping cap tanggal yang diterakan di atas prangkonya, Kantor Pos Amsterdam juga membubuhkan cap khusus yang berbunyi “schrijven zegt meer” yang artinya kyang tercantum di kartu pos itu kurang lebih bahwa menulis surat itu mengungkap lebih banyak dibandingkan dengan penuturan lisan. Kartu pos itu sendiri berbicara lebih banyak. Rupanya anak saya membeli kartu pos tersebut pada waktu ia sempat singgah di sebuah kota kecil di Prancis dan baru sempat mengeposkannya waktu ia tiba di Amsterdam dalam perjalanan pulang kembali ke tanah air. Ingatannya ke rumah bukan sekadar dari tulisan “aku kangen” belaka melainkan juga ditunjukkan dengan gambar masakan tradisional Prancis yang tercantum di kartu pos itu yang membawa ingatan kami pada kebiasaan kami memasak di rumah.

Surat memang bisa mengungkap perasaan kita secara sangat khas. Saya telah menjalin hubungan surat-menyurat selama lebih dari dua puluh tahun dengan sesama pegawai Kantor Pos hingga kami berdua pensiun. Hubungan surat-menyurat antara saya dengan Sadao Kobayashi, demikian nama kawan korespondensi saya tersebut, semula kami lakukan dengan menggunakan bahasa Inggris, namun karena begitu cintanya dengan seni dan budaya Indonesia, Kobayashi-san akhirnya mempelajari bahasa Indonesia secara intensif di Asahi Culture, Tokyo, dan selama ini kami berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Keakraban kami juga terlukis juga dengan tukar-menukar berita tentang keluarga, dari mulai anak-anak kami masih kecil hingga kami bercucu.

Korespondensi saya dengan suami istri Christiane dan Djebbari, pasangan Jerman dan Aljazair, juga sangat menyenangkan dan berlangsung dalam waktu yang lama. Kebiasaan Christiane yang selalu mengirimkan kartu pos bergambar dari berbagai tempat di dunia benar-benar sangat menyenangkan.

Masih ada beberapa teman korespondensi saya yang berlangsung dalam waktu lama, antara lain Dr. K. B. H. Nayar seorang pejabat tinggi Kantor Pos di New Delhi, seorang pastor dari suatu kota kecil di Negeri Belanda yang saya sudah lupa namanya dan seorang desainer dari Swedia masing-masing memberi kesan tersendiri.

Dari hubungan korespondensi itu satu hal yang dapat saya simpulkan adalah adanya hubungan antarsesama umat manusia yang sangat tulus tanpa membedakan kebangsaan, keyakinan, latar belakang ekonomi, politik, dan sebagainya.

Sangat disayangkan kebiasaan itu bagi bangsa Indonesia pada umumnya sangat rendah. Jauh sebelum berkembangnya alat komunikasi elektronik yang semakin berkembang saat ini angka rata-rata orang Indonesia yang mengirim surat dalam satu tahun memang sangat memilukan. Sekadar ilustrasi, tahun 1990-an, kita berada jauh di bawah Sri Lanka dan saaat ini pasti makin terpuruk lagi.

Bagaimana dengan kegiatan surat-menyurat di rumah? Kami masih tetap memeliharanya walaupun tidak sederas dulu karena SMS rupanya tak terbantahkan banyak membantu kami bahkan di tengah malam sekalipun. Namun, betapa pun juga sampai saat ini bagi saya komunikasi melalui surat, apalagi bila dibubuhi prangko yang menarik, tetap nerupakan kebiasaan yang sehat, mendidik, dan menyenangkan.

Suatu hal yang sangat manis yang saya rasakan adalah bahwa almarhum istri saya dengan cermat menyimpan surat-surat yang pernah kami pertukarkan, sejak kami mulai pacaran hingga kami membentuk rumah tangga. Ada rasa sesal saya, waktu itu istri saya ingin membaca surat itu di depan anak-anak, tetapi saya larang. Kalau saja pembacaan surat-surat berbahasa Jawa yang sentimentil, “jadul”, penuh ungkapan-ungkapan mendalam itu kami beberkan di depan anak-anak disertai penjelasan yang baik, rasanya akan memberikan gambaran yang baik bagi anak-anak untuk lebih mengenal orang tuanya. Seingat saya tidak ada kalimat-kalimat “gombal” dalam surat-surat yang mulai menguning itu, walaupun sudah barang tentu mengandung ungkapan-ungkapan yang melukiskan rindu dan cinta kasih.

Andaikata….


Ismail Isdito





1 comment:

  1. pipo....

    terima kasih ya sudah mau direpotin oleh Gagas. kita nggak bermaksud memanfaatkan semua dipunyai alit, kok.

    hehehehe

    sekali lagi, terima kasih banyak untuk semua yang sudah dilakukan untuk Gagas.

    sungguh, surat-nya pun menghangatkan hati.

    luv u, pipo ;)

    ReplyDelete