Mar 25, 2009

Tanah Garapan Tanah Harapan

“Mencari pekerjaan sekarang juga butuh modal, butuh uang… lagi–lagi uang ?!" celetuk Adi dengan spontan. Adi yang dulu bintang pelajar sekarang telah bergelar S.Pd, sebuah titel yang seringkali diplesetkan sebagai ‘Sarjana Penuh Derita’.

“Klop sudah, sarjana penuh derita tinggal di dalam istana gubuk derita”, itulah komentar yang seringkali dilontarkan Sugeng, ekonom muda lulusan perguruan tinggi terkemuka yang berharap bisa berbuat banyak untuk tanah kelahirannya, namun belum tahu harus memulai dari mana.

Pada suatu malam Adi datang dengan menenteng sebuah gitar. Kami bertiga mulai menduga-duga. “Gerangan apalagi yang bakal dipertontonkan Adi di depan kami”

“gitar tua yang bertuah,” katanya seraya membuka catatan berisi notasi lagu-lagu baru.

“Sama sekali tidak kelihatan seperti satria bergitar," celetuk Sugeng.


“Pantasnya, sih, disebut penyanyi 'ndesit' bersuara gemetar," sahut Nasir.

Adi kemudian menyanyikan beberapa tembang Ebiet G Ade. Kegalauan hatinya menampak jelas dari bait-bait syair yang disuarakannya.

Saat sampai “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang” tiba–tiba senar gitar Adi putus. Seketika ia beringsut turun dan meletakkan gitar tuanya itu tepat di tengah sebuah pematang tidak jauh dari gubuk. “Gitar tua tak berguna, biar saja diambil orang," Katanya dengan nada kesal.

Tak lama kemudian tanpa kami sadari sebuah lampu senter berkilat–kilat mendekati tempat kami namun kami acuhkan begitu saja sampai keesokan harinya kami mendapati gitar tua itu benar–benar telah lenyap. Beberapa hari kemudian seorang yang mengaku bernama Lukman mengantarkan gitar tua itu.

“Saya biasanya tidak pernah lewat jalan ini, tapi entah mengapa tiba-tiba terbersit keinginan untuk lewat jalan ini. padahal, kan, lebih jauh dan gelap."

“Rupanya Tuhan sengaja menggerakkan saya untuk mengambil gitar itu… Tuhan pula yang menggerakkan saya untuk menyambung senarnya dan mengantarnya kembali ke gubuk ini. Jadi pertemuan ini bukan semata suatu kebetulan melainkan telah digariskan oleh yang Maha Kuasa."

Harus bergembira ataukah sebaliknya? Entahlah… yang jelas anggota kami yang semula empat orang kini bertambah seorang lagi, menjadi lima sekawan.

Tanpa kami sadari suasana gubuk kesayangan kami tak seperti dulu lagi, ungkapan – ungkapan mas lukman selalu saja mengejutkan, apa yang diucapkannya terkadang sungguh menarik namun adakalanya terkesan disengaja untuk menyudutkan kami.

Menurut mas Lukman, “mana mungkin seorang yang hanya duduk diam di sebuah gubuk bisa merubah dunia, merubah kehidupannya sendiri saja belum tentu bisa.”

“Mana mungkin orang yang tidak kreatif dan tidak produktif akan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Bisa saja itu terjadi, namun bukan saat ini, di kehidupan nyata. Melainkan dalam dongeng–dongeng klasik”.

Adakalanya mas Lukman berusaha keras membangkitkan semangat kami namun terkadang pernyataan-pernyataannya justru menjadikan kami merasa serba salah dan tidak berguna . Namun mas Lukman memang pandai dalam bertutur kata, sehingga tahu kapan harus melunak di saat telinga kami mulai memerah.


bersambung

Cerpen oleh Badrut Tamam Gaffas

0 comments:

Post a Comment