Apr 2, 2009

Tanah Garapan Tanah Harapan (2)

Demikianlah, setiap berangkat dan pulang dari mencari cacing, belut, bekicot dan entah apalagi mas Lukman kini selalu menyinggahi gubuk kami, bahkan kini teman-teman mulai terbiasa mendengarkan sesuatu yang berbeda darinya.

Suatu saat mas Lukman bercerita tentang kesengsaraan yang begitu rupa dialami bangsa barat akibat kekuasaan raja-raja yang sewenang-wenang.

“Saat agama hanya jadi alat kekuasaan maka kehidupan menjadi benar-benar gelap”

Hal ini terjadi di eropa pada abad pertengahan yang terkenal sebagai “The Dark middle age”, abad pertengahan yang sungguh teramat gelap.



“Ada sebagian orang yang melihat kegelapan dari sisi yang lain, mereka merasa masih ada sisi dunia lain yang lebih terang dan lebih menjanjikan."

“Mereka pun berlomba-lomba mencari tanah baru demi untuk menggubah sejarah.”

“Mereka berjuang dengan gigih melalui beberapa kali pelayaran samudera melintasi mancanegara. Dan… kini kita harus berkiblat ke barat untuk mengukur sebuah kemajuan, barat yang sama yang pada mulanya berada dalam kegelapan panjang yang nyata.

“Cobalah kita senantiasa belajar dari lembaran paling suram dalam sejarah. Bayangkanlah andaikata kita hidup didalamnya. Dan pikirkan bagaimana kita hendak mengubah keadaan kita sekarang ini, maka mulai dari sekarang, sisakan semangat untuk terus berjuang. Jangan kita menjadi orang yang gagal sebelum sempat berbuat sesuatu.”

Gubuk derita kami ibarat penjara setelah mas Lukman banyak menggambarkan tentang dahsyatnya tantangan kehidupan di masa mendatang, sementara kami yang terkurung di dalamnya tak ubahnya seperti katak dalam tempurung.

Perlahan-lahan anggota kami berkurang satu persatu, Sugeng memulai usaha kecilnya sebagai produsen kripik singkong. Nasir buka usaha cuci sepeda motor. Adi yang sarjana penuh derita kabarnya telah diterima sebagai tenaga honorer di sekolah swasta, sementara aku sendiri tetap menghabiskan kebanyakan waktuku di gubuk sambil memperhatikan perkembangan tanaman rosella merahku yang kutanam untuk pertama kalinya.

Awalnya mas Lukman lah yang mengenalkan tanaman rosella merah, dia menyebut rosella merah sebagai tanaman obat yang mudah ditanam serta mudah diolah menjadi sirup dan minuman segar.

Ketika aku membutuhkan benih rosella merah mas Lukman memberiku sebuah alamat, dari sang pemilik benih rosella merah itulah aku akhirnya mengetahui apa yang sebelumnya tak kuketahui jika mas Lukman itu sebenarnya adalah seorang sarjana pertanian…

Sore itu ketika aku bertemu mas Lukman, dia mengutarakan keinginannya untuk pergi jauh untuk sebuah cita–cita.

“Lalu bagaimana dengan yang selama ini Mas usahakan?" Tanyaku mencari tahu.

“Menggarap ladang ternyata tidak semudah teori yang saya pelajari selama ini. Kini saya telah mendapatkan pengalaman teori dan praktik yang saya yakini kelak akan menjadi bekal yang sangat berguna."

“Kata–kata mas Lukman menyiratkan betapa besar keinginannya untuk mewujudkan obsesi–obsesinya.

“Apa yang selama ini sangat ingin Mas lakukan ?" Lanjutku penasaran.

“Saya hanya seorang sarjana miskin yang tak punya lahan sendiri. Selama ini saya menggarap lahan paman, itu sebagai tanda bakti saya atas jasa beliau yang telah dengan ikhlas membiayai kuliah sepeninggal kedua orang tua saya."

“Beruntunglah kita yang hidup di lereng gunung semeru, tanahnya subur berlapis humus tebal yang senantiasa terjaga oleh erupsi berkala, mata airnya jernih dan berlimpah, bentang alamnya sangat kaya, sesuai untuk dibudidayakan tanaman apasaja. Pernahkah kita membayangkan akan hidup di sebuah daerah asing nan tandus, nun jauh di seberang sana?"
“Bagi saya yang sarjana pertanian, tugas dan tantangan berat masih menanti, di lembah pengharapan, di sebuah daerah kering kerontang yang jarang tersentuh oleh manusia, saya harus berjuang menjadikannya bisa diusahakan untuk tanaman pertanian yang lebih produktif."

“Transmigrasi, maksudnya?" Tanyaku memastikan

Mas lukman hanya mengangguk seolah membenarkan dugaanku.

“Kapan berangkat ?" Tanyaku lagi.

"Entahlah saya pun masih belum tahu, kapan tanggalnya masih belum pasti, sewaktu–waktu saya bisa saja meninggalkan tempat ini." Kalimat terakhirnya begitu menyentuh di hati, terbayang sebuah perpisahan dengan orang yang selama ini berusaha keras mengobar-ngobarkan semangat kami yang nyaris padam.

Kuingat saat kebersamaan kami yang terakhir mas Lukman sempat menyelipkan secarik kertas yang syukurlah masih terselip di dinding gubuk, kubuka dan perlahan kubaca.

“Binar–binar wajah berhiaskan senyum yang indah ternyata bukan semata milik mereka orang–orang kaya yang hidupnya bergelimang harta dan kesehariannya serba ada, meski miskin rupiah kita tetap berhak menikmati indahnya dunia yang juga milik kita. Jangan pernah merasa miskin hingga harus setengah hati ketika mensyukuri kuasa Ilahi, sesungguhnya pada setiap diri kita tersimpan kekayaan yang tak nampak , sebuah bakat, potensi dan kelebihan tak terkatakan yang bisa jadi saat ini tidak dimiliki oleh orang lain."

Mas Lukman telah meninggalkan butiran-butiran semangat yang bermekaran dalam jiwa kami, semangat untuk terus berjuang “memetik” mimpi dan menjadikannya nyata, indah dan membumi….Wallahu A’lam.

“Mimpi adalah kunci”
“Untuk kita menaklukkan dunia”
“Berlarilah tanpa lelah”
“Sampai engkau meraihnya”
(Kutipan bait pertama Syair Lagu Laskar Pelangi – Nidji)
***




Cerpen oleh Badrut Tamam Gaffas

0 comments:

Post a Comment