Ketika itu hujan.
Biasanya Sina dan Yesta menari hujan di lapangan itu. Namun kali itu hanya ada Yesta yang membiarkan dirinya terguyur butir-butir air di rooftop sekolah. Tak seorang pun akan tahu ia menangis, karena aliran air yang keluar dari matanya selalu tersapu oleh hujan. Hal itu adalah satu-satunya hal yang ia suka dari hujan.
“Kau sedang apa? Ayo kita pulang, hari sudah sore," ajak Sina.
Yesta hanya menjawabnya dengan keheningan.
“Hei, mukamu aneh. Kau mau pulang tidak?” ulang Sina
Seketika itu amarah Yesta mencuat. Sina tak tahu apa yang ia rasakan. Sina tak tahu ia telah membuatnya jadi begini, seperti ini. Seperti hilang.
“Aku muak denganmu…," desis Yesta, nyaris berbisik.
“Apa? Kau mual? Kalau begitu jangan hujan-hujanan, ayo kita pulang!” seru Sina. Ia tak dapat mendengar desisan Yesta.
“Aku muak denganmu! Pergi kau manusia sempurna! Aku bukan temanmu lagi! Aku bukan siapa-siapa!” jerit Yesta sambil mendorong Sina hingga jatuh. Lalu lari menuruni tangga, meninggalkan Sina.
Yesta mendengar Sina meneriakkan kata ‘tunggu’ dari nada bicaranya. Yesta tahu ia sangat bingung dengan kelakuan Yesta. Ketika sampai di ujung tangga tiba-tiba ia merasa bersalah. Sina tidak salah apa-apa, tapi dia berteriak seperti itu padanya. Bukan salah Sina kalau ia begitu indah dan menyenangkan. Bukan salah Sina kalau ia punya banyak teman. Yesta memutuskan menunggu Sina turun dari tangga, lalu meminta maaf. Namun setelah menunggu agak lama ia heran mengapa Sina tak juga turun dari tangga menuju rooftop. Yesta pikir Sina keasyikan menari hujan karena hujan di rooftop lebih asyik daripada di lapangan, lalu ia naik lagi untuk bergabung dengan Sina, walaupun—sekali lagi—ia benci hujan.
Yesta menaiki tangga meliuk yang dicat abu sambil merangkaikan kata-kata maaf untuk Sina. Namun belum sempat rangkaian kata-kata itu selesai, ia melihat Sina.
Sina tidak sedang menari hujan.
Sina tidak sedang berjalan menghampirinya.
Sina tidak sedang menangis, tidak juga sedang bingung.
Sina terkapar.
Mulutnya berbusa. Heart attack.
Tubuhnya telentang tak beraturan di bawah butir air yang turun bertubi-tubi menghajar tubuhnya. Ia tak bernapas, hujan telah mengambil nyawanya.
Yesta menjerit.
-------------------------------------
Yesta membanting tubuhnya di atas kasur empuk tebal di kamarnya, ia merasa hilang, hilang dan takkan pernah ditemukan siapapun. Peri kecilnya, sahabat terindahnya, telah pergi. Tak ada selendang air. Tak ada musik hujan. Tak ada pulang bersama. Tak ada tawa. Tak ada iri hati. Tak ada Sina.
You know the laughter seems so pure when it’s with you
You know the laughter seems so pure when it’s with you
Little elf, oh my rain elf, where are you?
Will you try to find me when I lost?
Lissenen ar' maska'lalaith tenna' lye omentuva.
-------------------------------------
Catatan:
issenen ar' maska'lalaith tenna' lye omentuva - bahasa elvish, artinya 'sweet water and light laughter till next we meet'
Biasanya Sina dan Yesta menari hujan di lapangan itu. Namun kali itu hanya ada Yesta yang membiarkan dirinya terguyur butir-butir air di rooftop sekolah. Tak seorang pun akan tahu ia menangis, karena aliran air yang keluar dari matanya selalu tersapu oleh hujan. Hal itu adalah satu-satunya hal yang ia suka dari hujan.
“Kau sedang apa? Ayo kita pulang, hari sudah sore," ajak Sina.
Yesta hanya menjawabnya dengan keheningan.
“Hei, mukamu aneh. Kau mau pulang tidak?” ulang Sina
Seketika itu amarah Yesta mencuat. Sina tak tahu apa yang ia rasakan. Sina tak tahu ia telah membuatnya jadi begini, seperti ini. Seperti hilang.
“Aku muak denganmu…," desis Yesta, nyaris berbisik.
“Apa? Kau mual? Kalau begitu jangan hujan-hujanan, ayo kita pulang!” seru Sina. Ia tak dapat mendengar desisan Yesta.
“Aku muak denganmu! Pergi kau manusia sempurna! Aku bukan temanmu lagi! Aku bukan siapa-siapa!” jerit Yesta sambil mendorong Sina hingga jatuh. Lalu lari menuruni tangga, meninggalkan Sina.
Yesta mendengar Sina meneriakkan kata ‘tunggu’ dari nada bicaranya. Yesta tahu ia sangat bingung dengan kelakuan Yesta. Ketika sampai di ujung tangga tiba-tiba ia merasa bersalah. Sina tidak salah apa-apa, tapi dia berteriak seperti itu padanya. Bukan salah Sina kalau ia begitu indah dan menyenangkan. Bukan salah Sina kalau ia punya banyak teman. Yesta memutuskan menunggu Sina turun dari tangga, lalu meminta maaf. Namun setelah menunggu agak lama ia heran mengapa Sina tak juga turun dari tangga menuju rooftop. Yesta pikir Sina keasyikan menari hujan karena hujan di rooftop lebih asyik daripada di lapangan, lalu ia naik lagi untuk bergabung dengan Sina, walaupun—sekali lagi—ia benci hujan.
Yesta menaiki tangga meliuk yang dicat abu sambil merangkaikan kata-kata maaf untuk Sina. Namun belum sempat rangkaian kata-kata itu selesai, ia melihat Sina.
Sina tidak sedang menari hujan.
Sina tidak sedang berjalan menghampirinya.
Sina tidak sedang menangis, tidak juga sedang bingung.
Sina terkapar.
Mulutnya berbusa. Heart attack.
Tubuhnya telentang tak beraturan di bawah butir air yang turun bertubi-tubi menghajar tubuhnya. Ia tak bernapas, hujan telah mengambil nyawanya.
Yesta menjerit.
-------------------------------------
Yesta membanting tubuhnya di atas kasur empuk tebal di kamarnya, ia merasa hilang, hilang dan takkan pernah ditemukan siapapun. Peri kecilnya, sahabat terindahnya, telah pergi. Tak ada selendang air. Tak ada musik hujan. Tak ada pulang bersama. Tak ada tawa. Tak ada iri hati. Tak ada Sina.
You know the laughter seems so pure when it’s with you
You know the laughter seems so pure when it’s with you
Little elf, oh my rain elf, where are you?
Will you try to find me when I lost?
Lissenen ar' maska'lalaith tenna' lye omentuva.
-------------------------------------
Catatan:
issenen ar' maska'lalaith tenna' lye omentuva - bahasa elvish, artinya 'sweet water and light laughter till next we meet'
Cerpen oleh Isni Sarah
Suka bagian elvish-nya
ReplyDelete