Jun 6, 2009

60 Mayat (2)

...


“Apa permintaanmu, terdakwa?” Pak Hakim kembali tenang dan menanyakan permintaanku sembari mengusap keringatnya dengan selembar sapu tangan.

Aku diam sejenak, kemudian tersenyum lebar menunjukkan sebagian gigi gerahamku yang seluruhnya berwarna hitam dan terlihat berlumut. Seperti ada ulat yang mengerubungi gigiku, padahal itu adalah bakteri dari hasil tak pernah gosok gigi.

Pak Hakim, terlihat mual melihat senyumku yang kelewat lebar. Dia berusaha menutupi ketidaksudiannya melihat dengan menutup mulutnya.

“Aku ingin mati sekarang juga di sini Pak Hakim. Aku ingin mati dengan cara ditembak oleh shotgun, dan isi perutku keluar beserta jeroannya. Aku ingin melihat ususku berceceran dengan indah, dan melihat darahku yang merah mengalir di atas lantai ini,” kataku dengan lancar. Sejenak kusingkirkan poni rambutku yang menutupi pandangan, ke atas daun telinga.


“Aku ingin cepat-cepat bertemu Izrail, aku sudah tak sabar. Aku ingin melihat cara dia mencabut nyawaku. Dulu sudah kukatakan permintaanku ini padamu, tapi kau hanya beri aku hukuman 9 tahun penjara ketika kubunuh sebelas wanita dewasa. Kudengar dari ibuku bahwa dia menyuapmu satu miliyar untuk berikanku hukuman penjara saja, bukan hukuman mati ataupun seumur hidup.”

Sontak mata penonton meloncat kaget dengan pernyataan dariku itu, mereka saling berbisik satu sama lain. Was wes wos tanpa bisa kudengar.

“Kau pikir aku bodoh Pak Hakim. Untung saja sudah kupenggal kepala ibuku itu lantas kujadikan pajangan di kamarku. Setelah itu kubunuh 39 remaja wanita, kujadikan mayat mereka seperti tumpukan beras di kamarku. Kukuliti mereka untuk kujadikan mantel, termasuk korban wanita pertama ibu itu. Ibu yang baru saja meludahiku dengan cairan terlezat yang pernah kurasakan.” kataku menunjuk ibu yang baru saja meludahiku, dan semua mata penonton sejenak tertuju padanya.

“Setelah kejadian itu, kau hanya hukum aku 5 tahun penjara, lebih rendah dari hukuman sebelas wanita yang kubunuh. Kau beri keputusan dengan segala undang-undang, yang berujung pada pembunuhanku yang kurang bukti, padahal sudah jelas sekali, baju yang kini kau pakai itu kubuat spesial dari kulit wanita. Hanya saja kututupi dengan selembar kain sutra sebelum ditimpa lagi dengan bahan dasar untuk pakaian dinas seperti itu.”

Semua pejabat pengadilan geram, dari Jaksa Penuntut hingga Polisi yang mengawal mendatangi Pak Hakim untuk membuka pakaian dinas Pak Hakim.

“TUNGGU, DIA SUDAH GILA. DIA PEMBUNUH, PEMBUNUH BERDARAH DINGIN. BUAT APA KALIAN PERCAYA APA KATA DIA?” teriak Pak Hakim mencegah pejabat pemerintah itu mengerubunginya.

Para pejabat pemerintah berhenti , memikirkan kata-kata Pak Hakim. Mereka awalnya geram, namun kata Pak Hakim memang masuk akal. Buat apa mempercayaiku yang lebih hebat dari setan manapun di dunia.

“Dasar Pak Hakim yang bodoh. Kau butuh pernyataan baru lagi dariku? Baiklah, korban terakhir adalah sepuluh balita perempuan. Seluruhnya kurebus seperti bapak yang memeluk boneka itu. Kau yang memerintahkanku untuk memberikannya pada anak jalanan, agar aku bisa dihukum mati hari ini juga. Bila kalian semua tak percaya, tanya para gelandangan, dengan siapa aku membagikan makanan berisi daging balita perempuan itu.”

Kali ini para pejabat pemerintah nampaknya percaya kataku. Mereka benar-benar mengerubungi Pak Hakim. Aku juga dikerubungi oleh lima ratus penonton yang siap merobek isi tubuhku. Mereka semua nampak ganas menghampiri aku dan Pak Hakim. Seluruh penonton dan pejabat pemerintah berubah menjadi setan yang siap membunuh. Sebagian penonton mengangkat kursi sebagai alat untuk membunuh. Sebagian polisi menyiapkan pentungan untuk menyiksa Pak Hakim.

BRAKKKK…

KRAKKK...

Terdengar sebuah benda jatuh di belakang penonton. Tepatnya pintu masuk ruang pengadilan. Terdengar juga suara patahan sebuah benda. Suara kayu dan plastik yang patah.

CUT! CUT!

“Waduh… Kok bisa patah sih standing kameranya. Untung kameranya selamat. Padahal nih scene nyaris sempurna. Ah… ulangi dari awal!” Kata seorang sutradara film ‘60 mayat.’

“WUUUUUUU….” Teriak semua personil termasuk aku yang duduk dengan badan lemas karena gigi palsu hitam ini sungguh menggangu.

“Cape ekspresi nih, mendalaminya hingga harus membayangkan Pak! Ngeri.” kataku mengeluh pada Pak Sutradara.

***


Cerpen oleh Rey Khazama

9 comments:

  1. the ending,is turning me off.

    ReplyDelete
  2. ???????

    agak mengecewakan...

    yang katanya pada episode awal banyak yg bilang bisa dijadikan novel...pi pas baca keduanya...kok???

    ........

    but, it's nice......

    ReplyDelete
  3. wahh endingnya kok begitu ya, agak disayangkan, beneran deh harusnya cerpen ini bisa jadi bagus banget lho karena awalnya aja udah menarik. Terus berkarya ya ok!

    ReplyDelete
  4. Justru akan jadi biasa-biasa saja kalo endingnya nggak kaya gini.

    ReplyDelete
  5. Ending yang sangat tidak diharapkan. Sebagian pembaca menginginkan kisah pembunuh yang nyata, bukan "ternyata" adalah syuting film (ataupun ternyata mimpi, ataupun ternyata khayalan). Kami ingin dia benar-benar ada disana dan membuat kita geram. Tetapi, ternyata juga, si pembunuh ini peduli dangan berapa ukuran diameter kacamata hakim.

    Banyak di kisah ini, yang menggunakan POV orang pertama, ternyata menceritakan detil seperti menggunakan POV orang ke-3. Sperti dia memperlihatkan gigi....hitam... terlihat berlumut. Sebaiknya ditulis sebelumnya: "Kulihat Pak Hakim mennyerngit jijik. Mungkin dia melihat gigiku...hitam...berlumut."

    Btw, kenapa seorang penonton sidang bisa seenaknya ke arah bangku terdakwa dan meludah tanpa ada penjelasan bahwa ibu itu ditenangkan dan dibawa pertugas kembali ke bangkunya. Lalu penjahatnya kadang berbicara dengan ceria. Ceria?? Kupikir seharunya gaya mata nya seperti Limbad dan bicaranya sedikit2 saja.

    Maaf jika saya sok tahu, Maaf. Saya juga sedang belajar menulis. Maaf kalau salah kata...

    ReplyDelete
  6. astaganaga...
    saya suka ending-nya hahaha
    memang si di bagian pertama sudah berharap dapet suguhan kisah yang mencekam, tapi dengan ending yang kayak gini, oke juga

    ReplyDelete
  7. Rey...nice ending!
    suka. soalnya kalo cerita kamu yang awalnya membuat isi perut serasa lompat-lompat itu, kalu diterusin menurut gw jdai kaya ceritanya 'Parfume'... Nah ending yang lo kasih surprising bgt!

    ReplyDelete