Jul 1, 2009

Secret Admirer (2)

Kecurigaan Andrea terhadap Jaka, teman satu jurusannya, ternyata tidak terbukti. Sudah banyak hal yang menunjukkan kalau Jaka itu bukan Radit. Hal ini membuat Andrea semakin keras memutar otaknya. Hampir dua minggu Radit jadi secret admirer Andrea, dan selama itu pula, tidur Andrea nggak pernah bisa nyenyak. Menurut analisa Andrea beberapa hari ke belakang, ada kemungkinan bahwa Radit bukan salah satu dari orang-orang yang dekat dengan Andrea, yang emang punya niat iseng sama dia. Radit juga bukan berasal dari jurusan yang sama dengan Andrea. Radit nggak pernah nyambung kalau diajak ngebahas tentang mata kuliah yang Andrea hadapi ataupun tentang himpunan mahasiswa jurusannya. Dia juga udah ngecek nomer HP Radit ke teman-temannya yang menurut dia berpotensi memberikan nomor HP-nya tanpa izin dia ke orang lain, dan hasilnya nihil. Radit tetap menjadi misteri.

Andrea duduk termenung di tempatnya. Tempat di mana dia biasa memperhatikan Zaky mengajar para mahasiswa keolahragaan, di lapangan sepak bola UBS ini. Dia sendirian. Viona nggak bisa menemani dirinya karena harus menemui pacarnya. Selasa pagi ini adalah pertama kalinya dia duduk di tangga batu itu sendirian. Selasa pagi ini juga pertama kalinya—sejak dia mempunyai hobi memperhatikan Zaky mengajar—dia gak begitu fokus sama apa yang menjadi tujuannya duduk di sana. Pikirannya masih terpaku pada satu nama. Radit.

Ini satu hal yang nggak disukai Andrea. Penasaran. Dia ingin semuanya jadi jelas sesegera mungkin.

“Haduh, pusing gue. Apa ini karma yah gara-gara gua suka merhatiin Zaky tanpa sepengetahuan dia? Sekarang gue ngerasain hal yang lebih parah. Gue tau ada yang merhatiin gue, tapi gue nggak tau siapa orangnya. Zaky kan,nggak pernah tau kalo gue suka merhatiin dia, jadi dia pasti nggak akan ngerasa keganggu dong. Lah gue, tau punya secret admirer tapi nggak tau orangnya yang mana. Gue mah, jelas-jelas keganggu. Parah nih,” Andrea melakukan monolog di dalam hatinya. Menggerutu pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba suara merdu Anthony Kiedis yang melantunkan lagu Aeroplane, membuyarkan lamunan Andrea. Membuatnya sedikit melonjak dan berteriak. “Viona calling” tertera di layar HP-nya. Dengan segera Andrea menjawab panggilan itu.

“Iya, Na. Kenapa?”

“Lo masih di stadion, Ndre?”

“Iya, emang kenapa? Lo mau ke sini? Udah ketemuannya?”

“Gila lo! Mau kuliah nggak? Udah jam berapa nih. Ngeliatin Zaky ampe lupa buat kuliah gini. Cepetan lu ke sini kalo ga mau di depak dari kelas.”

“Ya ampun, telat gue.”

Klik. Obrolan dihentikan secara sepihak dan tanpa kompromi. Andrea langsung ngibrit ke kelas, melupakan Zaky dan juga Radit.

# # #

Beruntung Andrea selangkah lebih cepat dari sang dosen. Dengan nafas yang masih acak-acakan, dilengkapi dengan wajah yang teramat pucat—akibat naik tangga sebanyak empat lantai dengan berlari—Andrea mendudukkan badannya dan semua rasa pegal di kakinya di kursi yang sudah disiapkan Viona. Saat dia mengeluarkan HP-nya, satu pesan telah masuk. Dari Radit.

“Hi Andrea. Kok td d stadion sndr sih?
lg ad mslh?ko senyum yg biasa aku liat d wjh km,
td ga ada yah?”

Andrea udah menemui jalan buntu untuk menjawab rasa penasarannya. Kepalanya udah pusing banget. Amarahnya juga udah gak kebendung lagi. Satu-satunya jalan dia harus menghentikan semua ini. Dia harus bikin Radit berhenti menghubungi dia.

“Aduh, dit. Gw udh ga thn sm lu.
ckp y lo mata2in gw.
Slm ini gw brusaha sbr dan cari taw sndr ttg lu.
tp skrg gw udh ksl bgt sm lo.
klo lo jntan temuin gw hr ini jg.
Atow jgn pnh nghubungn gw lg!!!!!”

Message sent to Radit Aneh. Message delivered.

Lama Radit nggak membalas SMS Andrea.

Mungkin Radit emang gak mau ketemu sama gue. Atau dia emang orang yang gak suka sama gua dan sengaja bikin gua stres, pikir Andrea.

Tapi, saat jam 12.30 siang, tepat saat Andrea selesai kuliah, Radit memberi kabar yang membuat Andrea tercengang dan mematahkan semua prasangka buruknya terhadap cowok itu selama ini.

“Andrea, aku tnggu km skrg ddlm
stadion spk bola.”

Secepat kilat Andrea meninggalkan gedung tempat di mana dia baru saja, menimba ilmu. Dia nggak menghiraukan teriakan Viona yang memanggilnya berkali-kali. Rasa penasaran yang dibalut antusias, menghapus semua kesal di hatinya—juga rasa pegal di kakinya. Rasa penasaran itu juga yang menuntunnya untuk terus berlari menuju stadion sepak bola.

Dengan waktu yang mendekati manusia tercepat di dunia saat ini, Usain Bolt, dan dengan nafas yang berantakan, Andrea akhirnya sampai ke stadion. Dadanya berdetak begitu kencang. Bukan karena dia baru saja lari sprint, tapi karena dia lebih deg-deg-an untuk bertemu Radit. Sebelum masuk ke dalam stadion, Andrea berusaha membuat dirinya terlihat seperti mahasiswi biasa bukan seperti pelari olimpiade. Kedua tangannya sibuk merapikan kaos oblong putih dan celana jeans coklat yang kini melekat di tubuhnya. Rambut ikal sebahunya dia biarkan terurai. Satu hal yang membuatnya selalu merasa percaya diri.

Segala hal berkecamuk di kepala Andrea. Bagaimana tampang Radit? Apa Radit sesuai dengan apa yang dibayangkannya? Apa Radit memang benar-benar secret admirernya atau hanya orang iseng? Dan yang terpenting, apa Radit bisa bikin dunianya seakan terhenti seperti halnya Zaky? Saat semua pertanyaan itu berlarian di kepala Andrea, dia mendengar seseorang yang mengindikasikan adanya jakun memanggil namanya.

“Ya,” jawab Andrea sambil membalikkan badannya ke arah sumber suara.

“Radit,” lanjut cowok itu diiringi uluran tangan dan senyumnya yang sangat manis.

Andrea mematung. Tenggorokannya tercekat. Detak jantungnya serasa berhenti. Untuk kedua kalinya dia merasakan dunianya seolah kembali terhenti. Untuk beberapa saat dia nggak mampu menggunakan otaknya untuk berpikir. Dia merasa senyum cowok yang masih menggantungkan tangannya menunggu uluran tangan Andrea di hadapannya itu adalah senyum termanis yang pernah dia lihat.

“Zaky,” sahut Andrea kemudian, lirih. “Elo Zaky, kan?” lanjutnya mulai tersadar.

Sejurus kemudian tangan kanannya digapai oleh tangan kanan cowok itu. “Aduh tangan aku pegel nih ngegantung terus. Kenalin nama aku Muhammad Zaky Praditha. Kamu Andreany Zain kan?”

“Ya ampun. Jadi selama ini Radit itu elo? Kok… bi… sa?” seru Andrea gak percaya seraya menampar-nampar pipinya dengan tangan kirinya.

“Iya. Aku Zaky yang selalu kamu perhatiin dari tangga batu itu setiap Selasa pagi,” timpal Zaky sambil menunjuk tempat di mana Andrea ditemani Viona biasa memperhatikan dirinya.

“Aku juga Radit yang selama dua minggu ini selalu SMS-in kamu. Aku sadar, kalo setiap Selasa pagi selalu ada dua cewek yang duduk di tangga batu itu. Yang satu selalu terfokus sama buku di tangannya, sedangkan cewek chubby di sampingnya dengan cuek selalu terfokus sama seseorang yang ada di lapangan sepak bola ini. Viona udah certain semuanya,” lanjutnya.

“Apa? Jadi kamu udah kenal Viona? Sebagai informasi nih, selama waktu itu juga gue nggak pernah bisa tidur nyenyak,” timpal Andrea sewot seraya melepaskan tangannya dari genggaman tangan Zaky. Cowok di hadapannya itu hanya tersenyum geli.

Tuhan mengapa senyumnya selalu terlihat begitu manis? pikir Andrea.

“Kamu udah bikin aku terbiasa ngeliat cewek aneh yang senyum-senyum sendiri setiap Selasa pagi di sini. Kamu juga udah bikin aku kelimpungan dan ditegor dosen gara-gara aku mikirin di mana kamu waktu kamu nggak dateng ke sini. Kamu udah bikin aku suka sama kamu. Maaf kalau aku sempet bikin kamu kesel selama dua minggu ini.”

Andrea terdiam. Setetes air perlahan mulai mengalir dari matanya. Dia sekarang tau kenapa senyuman cowok dihadapannya ini adalah senyum terindah yang pernah dia lihat. Karena senyuman cowok itu sekarang untuknya bukan untuk orang lain.

# # #
selesai


Cerpen oleh Euis Wulandari

1 comment: