“Camilla, jangan harap kau menang!” sulut Rose saat kami berdua menghabiskan sandwich telur buatan Mom.
“Oh, tentang Kodiak?”
“Kau menyukainya, kan?”
Aku menggeleng. “Cuma teman.” Lalu aku buru-buru menambahkan untuk melihat reaksi Rose.
“Teman akrab.”
Rose nyaris muntah saat aku mengatakannya. Dua-kosong, Rose. Kemenangan yang harusnya membuat bangsaku bangga. Mungkin aku bisa dikenang sebagai pahlawan nasional dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Yay, aku suka ide itu.
“Bercanda,” kataku polos, “aku tahu kau yang menyukainya.”
“Kau ingin mulai perang makanan sekarang?”
“Nanti malam saja. Perang masker ketimun.”
“Oh, Kamila. Kumohon, seriuslah. Cuma kau yang mendapat tepuk tangan Kodiak, tadi.”
“Barangkali aku sedang mujur.”
Rose tampak pucat, sepucat manisan prem yang diawetkan bertahun-tahun. Harusnya aku senang karena poinku bertambah jadi tiga, tapi kali ini aku merasa sangat menjijikkan kalau aku mengibarkan bendera kemenangan. Kenapa ya?
“Kau sakit?” tanyaku segera.
Dia tidak menjawab. Tangannya menyeka keringat yang melunturkan maskaranya. Ini membuat wajah Rose semakin tak karuan.
“Rose!” teriakku. Semua orang menatapku dan mereka semua tahu kalau aku dalam masalah. Lumayan gawat, karena tak ada saksi sama sekali dan bisa-bisa aku dijebloskan ke penjara gara-gara membuat saudara angkatku tersedak telur. Konyol.
Dia mulai batuk-batuk. Aku segera menepuk semua bagian yang bisa kutepuk, entah berguna atau tidak. Setelah segumpal kuning telur yang tidak lagi kuning berhasil dimuntahkan dari mulutnya, wajah Rose kembali berwarna krem.
“Hampir saja,” ujarku. “Kau kenapa sih?”
Dia tidak menjawab dan mengacungkan sesuatu padaku. Wajahku langsung menjadi manisan prem yang diawetkan seabad. Uh oh.
Itu kertas yang diberikan Kodiak kepadaku.
“Jadi, kau ingin Camilla pergi dari sini,” tanya Mom kepada Rose saat kami bertiga di ruang makan. “Cuma gara-gara dia merebut pacarmu?”
“Mom,” aku membela diri, “aku tak merebut siapapun! Bahkan Rose juga tidak pernah pacaran!”
“Sok tahu!” balas Rose.
“Kenyataannya memang begitu kan?!”
Rose terlihat tak tahan dan berteriak, “Pergi sana! Ke tempat dimana kau ditemukan dulu!”
Sedetik kemudian, dia mendekapkan tangan ke bibirnya, “Maafkan aku! Aku tak bermaksud, Kamila!”
Mom bahkan tak bisa berkata apapun. Kupingku memanas, mataku berair, tapi aku kehilangan kata-kata. Aku berlari ke kamar. Menangis.
Tak lama kemudian aku mendengar pintu kamar berderak dan muncul Rose. Oh, pasti dia disuruh Mom untuk minta maaaf atau uang sakunya dipotong sebulan penuh. Saudara macam apa dia?
“Maafkan aku, Kamila.”
“Untuk apa?” aku muak memandang wajahnya.
“Untuk semuanya. Kodiak dan....”
“Dan tanah airku! Keluargaku! Kau pikir aku menyukai tsunami menghantam kampungku dan meninggalkanku sebagai yatim piatu di sana!”
“...aku benar-benar menyesal. Waktu itu semuanya keluar begitu saja.”
“Tapi kau menikmatinya, kan!”
“Kamila, dengar. Aku tahu kita terlalu sering bertengkar, dan kita bahkan tak bisa berbagi odol atau shampo enam bulan ini. Tapi aku ingin kau tahu, bahwa aku menyayangimu.” dia menambahkan dengan tekanan yang sangat lembut. “Sebagai saudara.”
Saat itu aku menuntutnya. “Buktikan.”
“Dengan apa?”
“Sesuatu yang selalu kau lakukan padaku.” Aku menunjuk wajahku. Kuharap dia mengerti. Hei, dia orang Amerika dan kupikir bahasa nonverbal jauh lebih mudah untuk digunakan.
“Oh...,” dia mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Ah, dimulai dengan huruf k!
“Sempurna,” kataku saat aku melihat namaku di sana. “Sini kutambahkan.” Aku menambah hati dan empat huruf lainnya di bawah namaku. “Kamila dan Rose. Saudara selamanya.” Lalu kutunjukkan itu padanya.
Entah kenapa dia yang menangis duluan dan aku yang mengikutinya. Kali ini aku yang tidak kreatif!
Mungkin kalau Mom masuk dan melihatnya, dia akan berpikir bahwa kami berdua adalah dua orang idiot dari suku bangsa berbeda, dengan warna kulit dan rambut berbeda, bahasa dan dialek yang berbeda, namun memiliki sepasang hati yang sama. Ah, kata-kata yang bagus!
Dan, Mom benar-benar masuk dan melihat kami berdua berpelukan sambil saling merengek.
“Aku melihat kemajuan!” Soraknya. “Jadi, bagaimana kalau kita makan di luar sekarang. Ada restoran Italia baru di blok sebelah! Ayo Rose, Camilla!”
Rose mendahuluiku berdiri.
“Hei Mom,” katanya “Dia bukan Camilla!”
Aku terperangah. Dia memang benar-benar berubah! Aku memberinya tanda penuh persetujuan dan sedikit banyak aku mengagumi keberaniannya sekarang.
Dia menjulurkan lidah ke arahku, “Panggil dia Camille, sebab nama itu jauh lebih bagus untuknya.”
Argh! Dia mulai lagi!
“Oh, tentang Kodiak?”
“Kau menyukainya, kan?”
Aku menggeleng. “Cuma teman.” Lalu aku buru-buru menambahkan untuk melihat reaksi Rose.
“Teman akrab.”
Rose nyaris muntah saat aku mengatakannya. Dua-kosong, Rose. Kemenangan yang harusnya membuat bangsaku bangga. Mungkin aku bisa dikenang sebagai pahlawan nasional dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Yay, aku suka ide itu.
“Bercanda,” kataku polos, “aku tahu kau yang menyukainya.”
“Kau ingin mulai perang makanan sekarang?”
“Nanti malam saja. Perang masker ketimun.”
“Oh, Kamila. Kumohon, seriuslah. Cuma kau yang mendapat tepuk tangan Kodiak, tadi.”
“Barangkali aku sedang mujur.”
Rose tampak pucat, sepucat manisan prem yang diawetkan bertahun-tahun. Harusnya aku senang karena poinku bertambah jadi tiga, tapi kali ini aku merasa sangat menjijikkan kalau aku mengibarkan bendera kemenangan. Kenapa ya?
“Kau sakit?” tanyaku segera.
Dia tidak menjawab. Tangannya menyeka keringat yang melunturkan maskaranya. Ini membuat wajah Rose semakin tak karuan.
“Rose!” teriakku. Semua orang menatapku dan mereka semua tahu kalau aku dalam masalah. Lumayan gawat, karena tak ada saksi sama sekali dan bisa-bisa aku dijebloskan ke penjara gara-gara membuat saudara angkatku tersedak telur. Konyol.
Dia mulai batuk-batuk. Aku segera menepuk semua bagian yang bisa kutepuk, entah berguna atau tidak. Setelah segumpal kuning telur yang tidak lagi kuning berhasil dimuntahkan dari mulutnya, wajah Rose kembali berwarna krem.
“Hampir saja,” ujarku. “Kau kenapa sih?”
Dia tidak menjawab dan mengacungkan sesuatu padaku. Wajahku langsung menjadi manisan prem yang diawetkan seabad. Uh oh.
Itu kertas yang diberikan Kodiak kepadaku.
***
“Jadi, kau ingin Camilla pergi dari sini,” tanya Mom kepada Rose saat kami bertiga di ruang makan. “Cuma gara-gara dia merebut pacarmu?”
“Mom,” aku membela diri, “aku tak merebut siapapun! Bahkan Rose juga tidak pernah pacaran!”
“Sok tahu!” balas Rose.
“Kenyataannya memang begitu kan?!”
Rose terlihat tak tahan dan berteriak, “Pergi sana! Ke tempat dimana kau ditemukan dulu!”
Sedetik kemudian, dia mendekapkan tangan ke bibirnya, “Maafkan aku! Aku tak bermaksud, Kamila!”
Mom bahkan tak bisa berkata apapun. Kupingku memanas, mataku berair, tapi aku kehilangan kata-kata. Aku berlari ke kamar. Menangis.
Tak lama kemudian aku mendengar pintu kamar berderak dan muncul Rose. Oh, pasti dia disuruh Mom untuk minta maaaf atau uang sakunya dipotong sebulan penuh. Saudara macam apa dia?
“Maafkan aku, Kamila.”
“Untuk apa?” aku muak memandang wajahnya.
“Untuk semuanya. Kodiak dan....”
“Dan tanah airku! Keluargaku! Kau pikir aku menyukai tsunami menghantam kampungku dan meninggalkanku sebagai yatim piatu di sana!”
“...aku benar-benar menyesal. Waktu itu semuanya keluar begitu saja.”
“Tapi kau menikmatinya, kan!”
“Kamila, dengar. Aku tahu kita terlalu sering bertengkar, dan kita bahkan tak bisa berbagi odol atau shampo enam bulan ini. Tapi aku ingin kau tahu, bahwa aku menyayangimu.” dia menambahkan dengan tekanan yang sangat lembut. “Sebagai saudara.”
Saat itu aku menuntutnya. “Buktikan.”
“Dengan apa?”
“Sesuatu yang selalu kau lakukan padaku.” Aku menunjuk wajahku. Kuharap dia mengerti. Hei, dia orang Amerika dan kupikir bahasa nonverbal jauh lebih mudah untuk digunakan.
“Oh...,” dia mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Ah, dimulai dengan huruf k!
“Sempurna,” kataku saat aku melihat namaku di sana. “Sini kutambahkan.” Aku menambah hati dan empat huruf lainnya di bawah namaku. “Kamila dan Rose. Saudara selamanya.” Lalu kutunjukkan itu padanya.
Entah kenapa dia yang menangis duluan dan aku yang mengikutinya. Kali ini aku yang tidak kreatif!
Mungkin kalau Mom masuk dan melihatnya, dia akan berpikir bahwa kami berdua adalah dua orang idiot dari suku bangsa berbeda, dengan warna kulit dan rambut berbeda, bahasa dan dialek yang berbeda, namun memiliki sepasang hati yang sama. Ah, kata-kata yang bagus!
Dan, Mom benar-benar masuk dan melihat kami berdua berpelukan sambil saling merengek.
“Aku melihat kemajuan!” Soraknya. “Jadi, bagaimana kalau kita makan di luar sekarang. Ada restoran Italia baru di blok sebelah! Ayo Rose, Camilla!”
Rose mendahuluiku berdiri.
“Hei Mom,” katanya “Dia bukan Camilla!”
Aku terperangah. Dia memang benar-benar berubah! Aku memberinya tanda penuh persetujuan dan sedikit banyak aku mengagumi keberaniannya sekarang.
Dia menjulurkan lidah ke arahku, “Panggil dia Camille, sebab nama itu jauh lebih bagus untuknya.”
Argh! Dia mulai lagi!
***
Cerpen oleh Ben Jacob
http://readlicious.blogspot.com/
http://readlicious.blogspot.com/
i like this one ! *clap hand* buat yg nulis.
ReplyDeleteugh??
ReplyDelete@ ariadne: arigatou :)
ReplyDelete@ B and Y: ugh?
jadi inget sahabat saya :)
ReplyDeletebuat jacob lagi
ReplyDeletenice ending :)) salut salut. nyway kita seumuran loh! :D tapi ga bisa buat cerpen yang sebagus diatas :[ kasih tips dong gimana caranya nuangin ide ke kertas, soalnya keseringan ngendep di otak apa nggak suka berhenti di tengah jalan :|
thankies! lalalove your short stories :)
@ anon: hwee, inspirasinya juga dari situ
ReplyDelete@ lalala: haduh, ni cerpen juga gag bagus-bagus banget :P
biasanya nulis di depan komputer, kalo jenuh fb an, entar nulis lagi :)
hahaha xD
ReplyDeletega bagus banget tapi nampil di blog gagas :p
oke oke, thx ya.
keep texting ur ideas dan semoga kita lulus SMA dengan nilai keren + masuk PT yang diinginkan :DD
(agak ga nyambung tapi tak apalah)
Sebuah cerpen yang bagus. Tema masalah nama ini bukan sepele. Ini menyangkut cara orang mengucapkan nama kita. Saya teringat dengan fil Freedom Writer. Film bersetting sekolah itu punya tokoh bernama Eva. Sang guru menyebut namanya Iva, padahal dia seorang Amerika Latin. Maka langsung dia koreksi bahwa bacaan namanya adalah Eva bukan Iva. Kita juga bisa salah menyebutkan nama orang barat. Seperti Beyonce (yang ternyata biyonsi bukan biyons) atau Michael Bubble (yang nama keluarganya dbaca Buble bukan Babel).
ReplyDeleteKeep writing ya, Jacob.
Maaf kalau salah kata, ya...?
@ lalala: amiiin
ReplyDelete@ before 20: sankyuu, mukya... :P
makasih gan informasinya
ReplyDelete