Sep 23, 2009

Lelaki Bermantel Panjang (2)

Takut-takut, aku menoleh padanya. Betul-betul menoleh, memuntir kepalaku ke arahnya. Namun, lelaki itu tak mendongak sekalipun. Ah, mungkin salah dengar? Bukankah rasa takut memang mencemari pikiran? Mungkin kepalaku sendiri yang berbisik.

“Erika!”

Hah! Kali ini, setelah mendengarnya—siapa pun ‘nya’ itu—menggemakan namaku, aku tak menoleh lagi. Aku berjalan makin cepat… tak melambat… makin cepat …makin cepat, hingga akhirnya berlari-lari kecil. Kurasa memang lelaki itu telah menyebutkan namaku cukup keras. Memanggil bukan cuma menyebut apalagi mengeja. Tapi oh, suara lelaki itu mirip sekali dengan suara seseorang yang pernah kukenal. Mirip sekali…

Aku tahu, meski dari sekian ratus juta penduduk di negara ini memiliki tingkat probabilitas kemiripan suara, tapi suara yang barusan terdengar amat familiar. Bukan cuma familiar, tapi juga dekat. Dekat sekali seolah-olah mengenalnya seumur hidup.

Melalui kedua telinga, kudengar langkah jadi ramai seolah kakiku ada empat. Sialan! Lelaki itu masih juga mengikuti. Ia ikut berlari. Napasku mulai terengah-engah dan kakiku makin pegal. Namun, aku terus berlari tanpa mau tertangkap. Apa yang akan terjadi jika ia berhasil menangkapku? Aku akan berlari terus sampai… sampai apa? Ah, kenapa pula rumahku tak kunjung kelihatan? Rasanya tak pernah selama ini. Jangan-jangan lelaki yang mengikutiku ini hantu, dan aku tengah ‘dikerjainya’ sehingga tempat tujuan tak jua sampai?

Ketika pikiran-pikiran itu makin tak keruan, pertanyaan ini menyelip: mengapa lari? Ya, kenapa aku mesti lari? Aku bisa berhenti dan menanyakannya. Lagipula, tasku hari ini cukup berat dipenuhi buku hard cover—lumayan kalau menghantam kepala.

Ya, berhentilah, Erika.

Maka, aku berhenti di pertengahan gang itu. Dari sini, rumahku tersayang sudah kelihatan. Lelaki itu juga berhenti sekitar 10 meter dariku. Bahunya yang tampak bidang naik-turun dengan cepat. Tentu ia sama terengah-engahnya denganku.

“Sebentar! Siapa kamu? Maaf kalau salah, tapi dari tadi kamu terus mengikutiku,” kataku seraya menurunkan tas; menggenggam talinya untuk berjaga-jaga.

Lelaki itu mendongak. Inilah yang aku tunggu: melihat wajahnya. Entah mengapa, aku tercengang. Peganganku pada tali tas mengendur, sementara gudang memoriku membongkar-bongkar isinya; mencari-cari data di mana aku pernah mengenal lelaki itu.

Ya, aku mengenalnya! Sorot matanya tajam digelayuti kantung mata yang membuatnya sendu… Terutama saat kulihat bekas luka menggores alisnya yang lurus. Ingatan itu sudah berdiri di ujung lidahku, seperti sebuah kata yang hendak dikatakan, namun terlupakan. Aku tak berhasil mengucapkan kata apa itu, tapi aku tahu betul yang dimaksud. Aku tahu aku mengenalnya, tapi siapa? Di mana? Kapan? Bagaimana aku mengenalnya?

“Hei, aku mengenalmu, kan?” desisku.

Lelaki itu hanya tersenyum. Kantung matanya menyembul sementara matanya menyorotkan kesenduan tersembunyi yang hanya dia dan Tuhan yang tahu kenapa. Betapa tak adil; aku tak bisa mengingatnya. Ini pasti efek benturan di kepala akibat kecelakan setahun yang lalu. Kuasa Tuhan menyelamatkanku kala itu, sementara lelaki yang memboncengku wafat. Aku pun tak terlalu ingat siapa lelaki yang wafat itu, tapi ibuku bilang namanya Armono.

Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku. Ia terpaku di tempatnya tanpa canggung dan tak terlalu mengintimidasi—berbeda dengan persepsiku sebelumnya. Apakah ia akan berdiri terus di situ, mengantongi tangannya, dan tak menjawab pertanyaanku? Aku pun jadi urung menanyakan ulang. Aku tahu ia tak berbahaya. Aku dapat merasakannya.

Selang beberapa detik, lelaki itu melangkah mundur pelan-pelan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, tanpa sekali pun berhenti menatapku sambil senyum seperti tadi—dengan sorot mata sendu tersembunyi. Ia membuatku tergugu, sehingga mengharapkannya supaya tak pergi. Namun, lelaki itu tetap pergi pada langkah mundur ke empat. Lalu, menghilang ditelan kegelapan sunyi di ujung gang.

***

“Bu, seperti apa wajah Armono itu?”

Ibuku beranjak dari kursi goyangnya menuju rak penyimpan album foto. Beliau membalik-balik halaman per halaman, kemudian berhenti di tengah. Ia kembali duduk di kursi goyang dan meletakkan album itu di pangkuanku. Dengan telunjuknya ia menyentuh sebuah foto, dimana aku tengah berpose bersama seorang lelaki, berlatar belakang lautan. Rambut kami acak-acakan tersapu angin yang sepertinya cukup kencang.

Jadi, inilah si Armono itu. Ibu bilang kami sudah berpacaran cukup lama…

Aku tersentak bangun. Tanggal berapa ini? Kalenderlah hal pertama yang kucari, seperti seorang pengasuh yang baru sadar bahwa anaknya belum pulang padahal malam sudah berganti subuh.

Ah, tadi aku memimpikannya: percakapan antara aku dan Ibu, sebulan setelah kecelakaan itu. Ya, sekarang aku ingat siapa lelaki yang mengikutiku semalam. Pantas begitu familiar. Air mataku pun mengakuinya.

Di pelupuk mata, menari-nari angka 23, bernaung di bulan September. Kemarin adalah satu tahun kematian Armono.

***

Cerpen oleh Novrisa Wahyu Wulandari

13 comments: