Oct 7, 2009

Ayah Pergi di Tengah Hujan

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

Aku tahu itu hanya akal-akalan Ibu supaya aku cepat tidur dan tak banyak tanya lagi. Padahal aku sudah cukup besar untuk mengerti. Umurku sudah sepuluh tahun dan guruku sudah menjelaskan bagaimana terjadinya pelangi. Aku sudah tak bisa lagi dibohongi.

Aku bisa melihat bagaimana Ayah dan Ibu bertengkar lagi malam itu dan mengapa sampai bertengkar lagi. Aku mendengar mereka saling teriak, saling bentak, bahkan hampir saling jambak. Aku bisa mendengar Ayah marah-marah dan memaksa Ibu menjual perhiasannya untuk membayar hutang-hutang Ayah setelah kalah bermain judi. Aku bisa mendengar Ibu marah-marah dan mengatai Ayah bukan suami yang baik, kerjanya di rumah menganggur saja atau main judi.

Kata Ibu, lebih baik kawin lagi. Ayah tak bisa terima, lalu marah dan hampir membanting kursi. Rumahku kacau balau saat itu, seperti ada badai menyinggahi. Aku meringkuk di sudut kamarku, berharap prahara segera pergi. Aku hanya anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Tak seharusnya aku berada dalam suasana tegang seperti ini. Sudah tiga kali lebaran seperti ini. Mau jadi apa aku nanti kalau cara mendidikku saja seperti ini?

Suara hujan yang menghantam atap rumah teredam suara Ayah dan Ibu yang membahana. Ada sesuatu pecah. Ada sesuatu ambruk. Aku meringkuk. Aku menunduk. Aku ingin mengintip tapi aku takut. Aku kalut. Kuberanikan diri. Ibu jatuh terduduk. Air matanya menitik. Ayah diam mematung. Tangannya teracung. Ayah mengambil sebuah kotak lalu melangkah pergi meninggalkan Ibu sendiri. Bahkan Ayah pura-pura tak melihatku.

Aku menghampiri ibu. Ibu memelukku sambil terisak pilu. Mau tak mau aku ikut menangis bersama Ibu. Aku bingung. Cemas. Ketakutan menguasaiku. Setiap hari aku dibayangi pikiran bagaimana kalau Ayah tak kembali. Siapa nanti yang menghidupi kami? Aku hanya bisa berdoa dalam hati.

"Ayah kemana, Bu?"

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.

∙∙∙

Hari ini hujan lagi. Seolah langit ikut menangisi keluarga kami. Aku merasa sendiri di dunia ini. Sosok ibu tak mampu memayungi hatiku. Sosok ayah tak mampu menenangkan jiwaku. Meski mereka begitu baik di depanku, entah mengapa mereka tak bisa sebaik itu saat satu sama lain bertemu. Selalu ada pemicu. Selalu ada sesuatu yang membuat suasana menjadi panas, tegang, dan diakhiri dengan tangis Ibu atau Ayah menggerutu. Selalu seperti itu.

Saat aku pulang sekolah, Ayah tak ada di rumah lagi. Ibu menyambutku di depan pintu, dengan mata lebam dan pipi memerah. Aku tahu apa lagi yang terjadi selama aku belajar di sekolah. Aku malas pulang ke rumah. Tak tahan aku melihat Ibu terus-terusan disakiti Ayah dan cuma bisa pasrah. Aku bertanya kemana lagi Ayah sekarang.

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menyongsong matahari.

Bohong. Kemarin Ibu bilang Ayah pergi menjemput pelangi. Tetapi tadi pagi tak ada satu warna pun yang aku lihat mewarnai rumah ini. Padahal seharusnya Ayah membawa warna-warni bagi rumah kita agar tak selalu tenggelam dalam kesuraman. Aku ingin ada pelangi di rumahku. Sekarang Ibu bilang Ayah pergi menyongsong matahari. Aku sangsi apakah nanti malam atau besok pagi Ayah pulang membawa matahari. Membawa sinarnya yang akan memberikan harapan baru bagi kami? Aku tak percaya.

Paling-paling Ayah pergi main judi lagi.

bersambung


Cerpen oleh Aril Andika Virgiawan

6 comments: