Apr 30, 2008

Aku Ingin Lihat Kamu Tersenyum

Tidak ada yang perhatian padanya. Ia selalu sendirian. Ia selalu berdiam diri dan tak seorang pun memedulikannya atau merasa terganggu. Aku tidak tahu, apakah dia merasa nyaman dengan keadaannya saat ini. Yang jelas ia selalu terlihat termenung. Tak pernah kulihat segores senyum di bibirnya. Anak yang aneh. Sebaiknya aku juga tak perlu terlalu memikirkannya. Toh tak ada hubungannya denganku.

***
Pensi sekolahku tingal beberapa hari lagi. Pensi biasanya diadakan setiap setahun sekali untuk memperingati hari ulang tahun sekolah sekaligus sebagai ajang pameran kreativitas siswa. Dua hari hingga satu minggu sebelum penutupan pensi yang biasanya dimeriahkan oleh band-band intern, sekolah kami mengadakan bazaar. Bazaar itu diikuti oleh setiap ekskul atau klub-klub di luar jam pelajaran.

Aku sebagai panitia pensi, bertugas mengecek kesiapan setiap klub untuk mengadakan bazaar. Aku berjalan-jalan di sepanjang koridor, kulihat sebuah papan bertuliskan ‘Klub Seni Rupa’ terpampang di salah satu pintunya.

Kanvas bertebaran di ruangan itu ketika kubuka pintunya. Ada lukisan yang sudah jadi dan ada pula yang belum. Pahatan-pahatan tertata rapi di atas meja. Ada beberapa siswa tampak sibuk menyelesaikan karya-karya mereka untuk dipamerkan. Ruangan ini benar-benar tampak hidup dengan semangat membara para anggotanya untuk berkreativitas.

“Hai, Ari…,” sapa Viny, ketua klub seni rupa.

“Hai… Bagaimana kesiapan klub kalian?” tanyaku.

“Hmm… Ya, seperti yang terlihat. Sudah ada beberapa karya yang berhasil diselesaikan, tapi ada juga yang hampir selesai. Mungkin kesiapan klub kami sekitar 80 %. Aku kaget, semua sudah bisa dipamerkan pada harinya,” katanya. Sembari mendengarkan kata-katanya, aku
menyapu pandang ruangan itu. Aku melihat ada sebuah lukisan yang terlihat berbeda.

“Ini lukisan potret diri, ya?” aku berjalan mendekat dan mengamati lukisan seorang gadis yang tersenyum bahagia dan terlihat begitu tulus yang terletak di salah satu sudut ruangan itu. Viny berjalan mengikutiku.

“Benar.“

Awalnya aku pikir lukisan ini mengambil model seseorang, tapi setelah kulihat lagi, bukankah ini wajah yang kukenal. Aku pikir, dia bukanlah objek yang terlalu menarik, kenapa dijadikan sebagai model lukisan? Ternyata, dia sendirilah yang melukis wajahnya. Apakah dia termasuk penganut paham narsisme? Aku menebak-nebak.

“Dia Andrea, salah seorang anggota klub kami, anak kelas XI-4, “ jelas Viny lalu terdiam sejenak, sepertinya dia teringat sesuatu, “bukankah dia sekelas denganmu?” tanyanya lagi, mengingatkanku pada sosok yang tak terlalu mencolok, yang tak terlalu dipedulikan orang. Aku diam saja. Kupikir aku tak terlalu perlu menjawabnya.

“Kenapa dia melukis potret diri? Kulihat kamu membebaskan anggotamu untuk melukis apa pun. Jadi, kenapa dia memilih melukis wajahknya sendiri?”

“Lukisan itu bisa menggambarkan kepribadian, impian dan ekspresi seseorang. Kamu yang sekelas dengan dia, pernahkah melihat dia tersenyum?” Viny bertanya balik padaku dan mengalihkan pandangannya. Aku terdiam dan berpikir sejenak. Dalam hati, aku menjawab pertanyaan Viny, Tidak pernah.

“Aku pikir, Andrea melukis potret dirinya yang sedang tersenyum karena dia sebenarnya ingin bahagia. Anak itu jarang sekali tersenyum atau memperlihatkan ekspresi bahagia. Lukisan ini berbicara dengan jujur sesuatu yang ingin diraihnya, “ jelas Viny panjang lebar padaku. Aku masih saja terdiam. Tidak tahu harus bicara apa karena aku memang tidak tahu apa-apa tentang teman sekelas yang bernama Andrea.

“Apalagi, kudengar dulu ia adalah gadis yang ceria, entah apa yang membuatnya jadi jarang tersenyum seperti sekarang ini,” tambah Viny lagi. Kalimat itu menutup pembicaraan kami tentang Andrea.
***
Lagi-lagi ia sendirian, masih duduk di bangkunya ketika bel istirahat berdentang. Teman-teman lainnya berhamburan keluar kelas, ada beberapa orang berkumpul membicarakan entah-apa atau bersenda gurau. Sementara ia masih tetap di situ sambil mengerjakan sesuatu. Mungkin masih asyik dengan soal yang baru saja diberikan oleh guru matematika untuk latihan di rumah. Aku berjalan mendekati bangkunya dan aku duduk di bangku kosong, di depan bangkunya lalu menghadap ke arahnya.

“Hei, kemarin aku melihat lukisan potret dirimu,” kataku kaku dan agak aneh! Memang itu sebuah kalimat pembuka yang aneh untuk mengajak bicara teman sekelas yang sudah hampir satu semester tidak pernah kupedulikan. Dia pun hanya terdiam, seolah tidak mempedulikan keberadaanku. Apakah aku ini hanya mengganggunya mengerjakan soal matematika?

“Lukisan potret dirimu bagus, tapi..kenapa aku tidak pernah melihatmu tersenyum bahagia seperti lukisanmu itu?” Andrea menghentikan menghitung.

“Bukan urusanmu,” jawabnya singkat lalu kembali ke soal matematikanya.

“Hmm… Ya, memang bukan urusanku.. tetapi, aku pikir lebih baik kamu tersenyum seperti lukisanmu itu.” Dia hanya terdiam. Kenapa rekasinya hanya begitu-begitu saja sih? Aku tidak mengerti! Kalau cewek lain pasti sudah tersipu-sipu dan pipinya kemerahan kalau aku mengatakan hal seperti yang aku katakan padanya.

“Kamu tidak tahu apa-apa. Lebih baik kamu diam saja!” ujarnya dingin.

“Tapi, yang kukatakan itu betul, kok..,” aku berusaha tersenyum. Walaupun, yah…, sulit untuk tersenyum di depan orang seperti dia.

“Terserah katamu lah…,” ucapnya pelan sambil beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkanku. Aku benar-benar heran… padahal aku sudah bermaksud baik. Apa dia benar-benar ingin hidup sendiri di dunia ini? Aku benar-benar tidak mengerti….
***
Sekolah masih sepi. Apa aku datang ke sekolah terlalu pagi? Ah, sok rajin sekali aku ini. Padahal biasanya juga datang ke sekolah mepet waktu bel masuk sekolah. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang masih sepi. Di belokan lorong itu, aku melihat bayang-bayang Andrea. Benarkah Andrea? Sepertinya betul kalau itu adalah Andrea. Dia membawa dua buah lukisan yang sepertinya sudah jadi. Aku mengikutinya untuk mencari tahu alasan dia datang sepagi ini. Tibalah ia di depan ruang klub seni rupa. Ia mengeluarkan kunci ruangan yang mungkin diminta dari penjaga sekolah, lalu masuk ke ruangan itu. Aku mengikutinya dan melihat Andrea dari pintu ruang klub yang terbuka. Ia meletakkan kedua lukisan itu di pojok ruangan. Lukisan seorang pria. Keduanya sama. Ah, tapi berbeda. Cuma sama-sama lukisan tentang seorang pria dan juga seorang anak perempuan. Begitulah kira-kira yang terlihat dari kejauhan. Oh, mungkin itu lukisan untuk pameran nanti, begitu pikirku saat itu. Setelah aku memenuhi rasa penasaranku, aku pun segera berjalan menuju ruang kelas daripada nanti ketahuan olehnya bahwa aku membuntutinya.

Hari sudah menjelang sore. Sekolah sudah sepi. Aku pun sudah mau pulang. Aku berjalan ke halaman belakang sekolah, dekat tempat parkir. Dari kejauhan, terlihat asap yang membubung tinggi dari bak pembuangan sampah di belakang sekolah. Di sana ada seseorang yang berdiri di depan bak dan melemparkan sesuatu ke dalamnya. Aku melihat bahwa yang dilemparkannya itu adalah sebuah lukisan. Lalu orang itu, tepatnya gadis itu melempar untuk yang kedua kalinya. Lukisan juga. Tunggu… bukankah itu adalah lukisan yang dibawa tadi pagi ke ruang klub seni rupa? Kalau begitu gadis itu….

“Andrea!” panggilku saat ia sudah mau meninggalkan bak sampak itu. Andrea melihat ke arahku sepintas. Kemudian ia bersikap acuh tak acuh dan hendak benar-benar pergi dari situ. Aku langsung berlari menghampirinya.

“Kenapa lukisan-lukisan itu kamu bakar? Bukankah itu semua lukisanmu?” aku bertanya tanpa basa-basi.

“Tidak ada hubungannya denganmu,” sahutnya pendek. Dingin.

“Jadi, kamu datang pagi-pagi ke sekolah membawa kedua lukisan itu menaruhnya di ruang klub seni rupa. Saat pulang sekolah, kamu menunggu sekolah sepi dan membakarnya?” tebakku.

“Kamu melihatnya, ya?” dia malah bertanya lagi. Sepertinya ia menghindari untuk menjawab pertanyaanku.

“Jadi kenapa kamu melakukan itu semua? Menurutku, lukisan itu bagus. Aku pikir saat kamu membawanya ke sekolah tadi pagi dan menaruhnya di ruang klub, kamu berniat memamerkan kedua lukisan itu.”

“Aku tidak mungkin memamerkannya di tempat di mana ada dia.”
“Apa maksudmu? Siapa yang kamu maksud dengan dia?” aku semakin penasaran saja.

“Kamu tidak perlu mengerti. Ini bukan urusanmu,” katanya sambil berlalu. Lagi-lagi aku ditinggal sendiri. Ia memang tak pernah menghiraukan aku?
***
Bazaar sudah dimulai. Keramaian sekolah membuatku, sebagai anggota panitia merasa sedikit bangga. Ya, tidak sia-sia kerja kerasku selama ini. Banyak orang tua murid berdatangan, dan membawa beberapa orang kerabatnya. Aku berjalan-jalan di keramaian itu. Aku ingin melihat-lihat beberapa stan yang kupikir cukup unik.

Dukk!

Seorang gadis menabrakku saat aku sedang asyik-asiknya meyusuri stan. Gadis itu terduduk di depanku dan mengusap-usap matanya. Apakah sakit sampai menangis segala?

“Kenapa menangis? Apakah sakit?” aku mendekat dan menunduk padanya. Kuingat-ingat, sepertinya dia ini orang yang kukenal.

“Eh, em…, Andrea? Maaf, kamu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa,” jawabnya singkat lalu ia segera bangkit berdiri. Aku pun berdiri juga setelah aku yakin dia tidak apa-apa. Tapi, aku penasaran mengapa dia menangis padahal kupikir pasti tidak akan sakit kalau hanya menabrak orang.

“Kenapa menangis?” kuulangi pertanyaanku, “bukankah kamu baik-baik saja? Aku pikir pasti ada alasannya, kan?” Andrea terdiam. Dia hanya diam. Aku semakin tidak mengerti. Kulempar pandanganku ke arah seberang, barangkali ada sesuatu hal di sana yang membuat gadis di depanku ini menangis. Kulihat keramaian yang menurutku biasa saja. Ada primadona sekolah ini sedang berjalan. Namanya Nana, dengan senyumnya yang khas menggandeng seorang pria dan seorang wanita paruh baya. Pasti orangtua Nana, pikirku saat itu. Tapi, saat kulihat pria yang digandeng Nana, aku teringat sebuah lukisan yang dilemparkan oleh Andrea ke bak sampah.

“Hei, pria yang ada di lukisan yang kamu bakar itu, kenapa bersama dengan Nana?” rasa penasaranku belum mau hilang, kutanyakan hal itu pada Andrea. Dia diam dan sama sekali tak melihatku.

“Aku yakin, pria yang bersama Nana itu adalah pria yang ada di lukisanmu. Walaupun sepertinya tampak lebih tua daripada yang ada di lukisan. Tapi aku yakin, mereka itu orang yang sama, kan? Kenapa bisa begitu?” aku berceloteh dan bertanya lagi pada gadis di hadapanku yang hanya membisu.

“Padahal, kupikir sebelumnya pria itu adalah ayahmu. Ternyata bukan, ya?” Aku heran pada diriku sendiri yang terus berceloteh padahal yang ditanya kupikir tak akan menjawabnya.

“Memang iya.”

“Apa?” aku kaget mendengar kata-kata itu. Walau tidak terlalu jelas.
“Kenapa kamu selalu tanya terus dari kemarin? Kamu terus bertanya padaku mengapa begini dan mengapa begitu. Aku sudah bilang bahwa semuanya yang kamu tanyakan itu bukan urusanmu! Jadi kenapa kamu selalu bertanya dan memaksaku menjawabnya?” Andrea berteriak-teriak histeris sambil menangis.

“Aku nggak pernah memaksamu!” belaku.

“Kamu terus bertanya macam-macam padaku, apa itu bukan memaksa? Kamu bertanya banyak padaku tapi aku tidak pernah bertanya apa-apa padamu! Sekarang, aku ingin tanya, kenapa kamu begitu ingin tahu tentang urusanku?”

“Karena aku ingin lihat kamu tersenyum,” ujarku mantap.

“Apa? Bohong!”rutuknya.

“Kamu hanya mau tahu saja urusan orang lain! Kamu tidak tahu apa-apa dan hanya mau ikut campur! Aku benci kamu!” lagi-lagi Andrea menyentakku. Terlihat sangat marah dan matanya menyiratkan kebencian yang amat sangat. Aku terdiam untuk beberapa saat. Ini keadaan yang benar-benar terbalik dari biasanya.

“Kamu begitu ingin tahu soal keluargaku?” tanyanya pelan tapi dingin, “aku akan katakan semua padamu dan kamu tak perlu lagi tanya-tanya padaku.”

“Kamu tadi bertanya mengapa pria yang kau pikir ayahku ada bersama Nana dan juga ibunya? Ayahku selingkuh dengan ibu Nana. Meninggalkan ibuku dan aku. Kalau kamu lihat betapa jarak umurku dan Nana tidak jauh berbeda, itu artinya ayahku sudah lama selingkuh. Karena itu aku tidak bisa memperlihatkan lukisan itu di pameran dan aku juga tak mau lagi menyimpannya. Aku benci orang itu dan semuanya tentang dia. Tapi aku tak bisa menyakiti Nana karena Nana adalah sahabatku!” kata-katanya cepat dan lugas mengalir dengan lancar tanpa aku sempat bicara apa pun. Setelah itu ia cepat-cepat berlari meninggalkanku dengan berlinang air mata.

Aku hanya memandang bayangannya yang semakin lama semakin menjauh. Aku benar-benar merasa bersalah dan merasa tidak enak. Apa yang telah aku lakukan?

Sambil memikirkan dan merenungi kata-katanya, aku berjalan menyusuri stan yang begitu ramai, dari kejauhan aku melihat lukisan Andrea. Lukisan potret dirinya yang sedang tersenyum bahagia.

“Ini lukisan Andrea?” seorang wanita mengamati lukisan Andrea seraya mendekat lukisan itu dan menoleh kepada anggota klub yang sedang jaga stan.

“Iya.”

“Seandainya ia benar-benar bisa tersenyum seperti ini lagi, ya?” wanita itu berkata-kata seolah-olah mengerti betul tentang Andrea.

“Ibu kenal dengannya?” gadis penjaga stan itu bertanya sopan..
“Iya, aku ibunya,” wanita itu menyahut singkat sambil tersenyum.

Deg! Dadaku berdesir. Entah kenapa perasaan bersalahku makin bertumpuk. Perlahan-lahan rasanya air di mataku sudah mau tumpah. Aku benar-benar menyesal telah memaksa Andrea bercerita tentang dirinya. Selanjutnya aku pun segera berlari menjauhi keramaian sembari merutuki diriku sendiri....
Cerpen by Romantic Rahma

1 comment: