May 29, 2008

Cerpen: Aku Bisa Apa?

Kita bertemu di taman itu. Tidak, aku yang melihatmu terlebih dulu, ketika kamu lewat di belakang anak-anak yang akan kupotret. Tapi, yah... akhirnya kita bertemu juga. Bertatap muka. Berkenalan, seminggu kemudian. Setelah aku memberanikan diri untuk menghampirimu dan mengulurkan tanganku meminta namamu.

Untung saja kamu mau. Bahkan tertarik padaku. Pada fotografi, sebenarnya. Pada cara menggunakan kamera yang benar dan memotret obyek.

Asal kamu tahu, semenjak senja itu, aku tidak pernah pergi ke taman lain selain taman itu. Hanya untuk menunggumu keluar dari kantormu yang terletak di seberang taman dan mencuri gambarmu. Atau kalau aku sedang beruntung, kamu akan mampir dan menghampiriku, lalu kita akan bercakap tentang apa saja. Dan seringkali kamu memintaku untuk memotretmu.

Itu adalah momen terindah bagiku. Sayang aku tidak bisa memotret kebersamaan kita. Aku terbiasa berada di balik kamera. Memotret siapa saja yang ingin dipotret dan mendapatkan uang sebagai imbalannya. Tetapi tidak jika kepadamu. Aku tidak pernah menginginkan satu sen pun dari dompetmu yang tebal.

Itulah. Mengenalmu membuatku lupa kalau aku juga butuh makan. Tapi entah kenapa aku tidak terlalu memusingkannya. Aku juga tidak pernah merasa kalau kita sangat berbeda. Mungkin karena kamu juga tidak mengacuhkannya. Kamu sudah terbuai pada persahabatan yang terbina diam-diam. Sedangkan aku terlena pada pesonamu, dan usaha untuk menyita semua perhatianmu.

Syukurlah, usahaku berhasil.

Kunjunganmu ke taman yang awalnya hanya sesekali untuk sekedar melepas lelah dengan aku sebagai teman berbincang, kini seolah menjadi prioritas utama. Perkembangan intensitasnya semakin kentara. Kita semakin dekat secara hati.

Aku bahagia. Karena aku sadar, aku menyukaimu. Mungkin, mencintaimu.

Tempo berpindah cepat dari minggu ke bulan. Aku masih selalu menunggumu di bangku yang sama dengan pertemuan-pertemuan yang lalu. Tapi kamu mulai jarang datang. Mungkin kamu sibuk. Aku bisa mengerti.

Aku masih terus menunggu.

Sampai hari itu tiba.

Hari di mana aku merasakan pahitnya rasa, yang sudah lama aku takutkan akan terjadi.

Kamu sudah punya seseorang.
Seseorang yang lebih dari sekedar fotografer miskin. Seseorang yang bisa membuat wajahmu begitu bercahaya saat melihatnya. Seseorang yang kamu cintai.
Dan kamu membawanya padaku. Membuatku harus memaksakan senyum dibalik hatiku yang pilu dan mengenalnya sebagai kekasihmu.
Hatiku tersayat sembilu. Perih.

Kini, bangku taman itu bukan lagi milik kita berdua. Celah yang dulu kosong, sekarang telah terisi dirinya. Perlahan, aku mulai tersisih. Kamu tak lagi memandangku.

Dan kamu mulai tidak suka kupotret.

Jadi aku pergi ke bangku lain. Memotretmu diam-diam seperti dulu sambil menahan sakit hati melihatmu berdua dengannya di bangku yang selalu kita gunakan bersenda gurau. Sambil memandang wajahmu dibalik lensa, aku kembalikan pikiranku ke hari-hari sebelumnya, mencari alasan kenapa aku bisa sesakit ini.

Kutemukan jawabannya. Semua berawal dari aku.

Dulu, kamu hanya menawarkan hati. Dan aku menawarkan cinta.

Itu yang salah.

Kamu hanya membutuhkan hati lain untuk berbagi persahabatan, dan aku memberimu hatiku yang penuh cinta. Sia-sia. Aku tidak akan mendapatkan balasannya.

Aku yang salah.

Tapi saat itu aku belum menyadarinya. Tak ada penyesalan kalau disadari di awal. Atau mungkin, aku sudah menyadari, tapi terlalu skeptis untuk membayangkannya jadi nyata? Aku tidak tahu.

Yang aku tahu, kamu bermagnet. Dan aku tertarik begitu saja. Tanpa memikirkan resiko apa yang akan aku dapat.

Jadi, kalau sekarang kamu mencintai orang lain, aku bisa apa?
Cerpen by Septantya Ch. Pamungkas

4 comments:

  1. nice story =)
    ceritanya umum, tapi gaya bahasanya menuju ke -sastra modern. salute!

    ReplyDelete
  2. re: yup,penulisan yg manis.pas baca itu, seperti puisi liris :)

    ReplyDelete
  3. keren banget... mengalir banget... :)

    ReplyDelete
  4. wah, thanks banget yah udah ngasih komen.. jadi motivasi banget loh buat terus nulis.. :p

    ReplyDelete