Awal bulan lalu, saya menerima e-mail permohonan endorsement dari Redaktur Gagas Media, Windy Ariestanty, yang kebetulan juga teman baik saya. Gagas berencana akan menerbitkan sebuah buku yang diambil dari blog seorang blogger senior bernama Pak Wicaksono. Di dunia maya, ia lebih dikenal dengan julukan Ndoro Kakung. Setelah membaca beberapa tulisan beliau, tanpa ragu saya mengiyakan, bahkan mengirimkan endorsement saya dalam waktu kurang dari sehari. Rekor tercepat saya dalam mengirimkan endorsement. Bukan karena alasan kejar tayang atau asal-asalan, tapi memang sungguh tak sulit menuliskan kesan bagi tulisan yang memang berkesan.
Beberapa hari lalu, saya dikirimi buku yang akhirnya terbit dengan judul “Nge-blog dengan Hati” itu. Buku yang ringan (dalam arti sebenarnya—141 halaman dan ukurannya agak kecil). Namun isinya tidaklah sembarangan. Khususnya bagi para blogger atau minimal yang pernah merasakan nge-blog, banyak ketukan ‘aha!’ yang muncul dari kalimat-kalimat Ndoro Kakung yang lugas, humoris, sekaligus informatif tersebut, yang juga mengundang saya untuk kilas balik sejarah ‘karier’ nge-blog saya sendiri.
Tahun 2006, saya membuat blog tanpa pengetahuan blogging sama sekali, bahkan tanpa ketertarikan untuk menseriusinya. Jujur, pada saat itu pun saya bahkan tak terlalu menyukai blog-blog lokal yang saya temui, yang kebanyakan isinya remeh-temeh, diary-ish, atau dalam istilah saya pribadi: ‘diare kata-kata’. Encer dan nggak penting. Beberapa rekan penulis juga mengatakan, “Alaah... nggak usah nge-blog! Langsung bikin buku saja.” Barangkali ada benarnya juga, karena saya cukup sering menemukan blogger yang memang menjadikan blog-nya semacam batu loncatan menuju target mereka sebenarnya, yakni menerbitkan buku. Namun, karena tak jua menemukan cara lain untuk berbagi tulisan-tulisan—yang sifatnya lebih menyerupai esai, puisi, tulisan spontan, dsb—akhirnya saya tetap nekat membuka account di Blogspot.
Jadilah saya blogger seadanya, bergerak dengan kecepatan siput, dan tak pedulian. Saya menulis posting bisa dua bulan sekali, tidak mengulik fitur ini-itu, tidak blog walking, bahkan jarang berkomentar balik pada yang mampir. Baru setahun terakhir, pelan-pelan saya membuka diri dan mulai meneropong dunia blogger. Barulah saya melek dengan berbagai fenomena seputar nge-blog yang ternyata sangat menarik; dari mulai fenomena seleb-blog, cari uang lewat blog, berkarier lewat blog, sampai aneka tips untuk merawat dan mempopulerkan blog. Dengan kata lain, ternyata blog adalah sebuah ‘industri’ sendiri, yang menurut saya, tak kalah menarik dengan industri buku yang lebih dulu saya kenal.
Sebagai penulis, lama kelamaan relasi saya dengan blog pun bertransformasi. Secara alami, saya merasa terpanggil untuk menulis khusus di Dee-Idea, dan tidak lagi melihatnya sebagai rak pajangan ‘alternatif’. Saya mulai meluangkan waktu secara teratur untuk merawat blog saya, membalasi komentar-komentar yang masuk, atau minimal mencari foto untuk artikel saya dengan lebih serius. Sungguh, bahkan saya merasa bahwa lewat media blog inilah saya bisa berinteraksi paling dekat dengan pembaca. Tanpa terasa, dan tanpa rencana, blog akhirnya memiliki tempat yang kurang lebih sejajar dengan buku-buku saya lainnya. Di hati saya, blog ini mulai bertransformasi menjadi ‘anak jiwa’, yang perlu dirawat dan dibesarkan dengan sama baiknya.
Karier nge-blog Ndoro Kakung amat jauh lebih advans dibandingkan saya, tapi cukup banyak hal yang saya sepakati dengan beliau. Seperti Ndoro Kakung, sejak dulu saya percaya bahwa kekuatan blog sesungguhnya adalah konten. Isi. Kita bisa aktif gila-gilaan di beragam jejaring sosial internet demi memompa jumlah pengunjung, atau mendandani blog kita seindah dan secanggih mungkin, tapi—sebagaimana kunci semua relasi—akhirnya kita selalu kembali pada isi dan sentuhan hati. Persis sama dengan apa yang selalu saya ulang-ulang seperti kaset rusak ketika orang bertanya apa rahasia buku sukses.
Ketika ditanya, kenapa kok nge-blog harus pakai hati? Sementara sekarang orang bisa tinggal pasang plug-in dan isi blog terbarui secara otomatis tanpa repot. Ndoro Kakung lantas menjawab: “Dengan membuat sendiri setiap posting, mengumpulkan setiap remah ide menjadi bangunan utuh, kita bisa belajar banyak tentang proses. Proses memberi kita kesalahan, dan pelajaran. Ia menempa kita menjadi seorang blogger yang lebih baik, lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.” Itu juga menjadi pengalaman saya. Walau dulunya sempat meremehkan, tak terkatakan jasa nge-blog bagi pengasahan skill saya menulis. Dalam berbagai forum saya selalu berkata bahwa menulis bagaikan otot yang perlu dilatih sedikit-sedikit tapi konstan. Bagi yang ingin badannya sebesar Ade Rai, jangan mimpi bisa minum ramuan ajaib dan ototnya membuncah dalam semalam. Dia harus sering-sering ke gym dan berlatih dengan tekun. Bagi saya, ibarat langganan nge-gym, blog adalah sasana berlatih menulis yang nyaman dan ideal.
Yang tak kalah menarik adalah cuplikan di sampul belakang buku Ndoro Kakung: “Mengisi blog bukan seperti ikut lomba lari jarak pendek; melejit begitu bendera start dikibaskan untuk berhenti segera dalam tempo singkat. Mengelola blog itu ibarat lari maraton, mungkin lebih jauh lagi. Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tak perlu buru-buru berhenti.”
Meninjau ulang sejarah blogging saya, mudah rasanya untuk berlindung di kalimat di atas, karena saya pun memulai nge-blog dengan amat, sangat perlahan. Tapi sulit dipungkiri juga kebenaran ucapan Ndoro Kakung. Setidaknya karena saya menemukan fenomena yang sama dalam dunia kepenulisan. Begitu banyak orang yang kesusu untuk buru-buru beken, buru-buru eksis, buru-buru laku, tanpa mempedulikan satu faktor penting: belajar menulis, dan berkarier menulis, adalah proses yang amat panjang. Inilah salah satu karier langka di dunia yang bisa dilakoni seumur hidup.
Dalam kata pengantarnya, Windy selaku penerbit menuliskan: “Saya kerap bertemu banyak blogger yang ingin menerbitkan buku. Atau bertemu penulis lain yang ingin mengupas sejuta teknik lain tentang nge-blog. Ujungnya, semua bermuara kepada kepentingan ekonomis atau keinginan untuk tenar.” Windy lalu menambahkan, bahwa tentu saja semua itu tidak keliru, tapi faktor ‘hati’—meski terkesan melankolis di tengah sifat kapitalis yang kian marak—adalah semangat yang justru akan membuat kita menghasilkan sesuatu yang berbeda. “Di antara ribuan buku yang terbit, atau blog yang dibuat setiap harinya, justru hati yang memiliki passionlah yang memberikan kekhasan pada karya kita.” Lagi-lagi, kepala saya mengangguk setuju. Apa yang ditulis Windy, terutama karena dia datang dari sudut pandang penerbit, menjadi salah satu mutiara yang patut kita renungkan.
Kita sudah melihat contoh-contoh blog yang sukses dengan fenomenal, salah satunya blog Raditya Dika, yang tak hanya berhasil dibukukan, bahkan sekarang ia hadir dalam bentuk sinema. Suatu lompatan yang luar biasa. Dalam satu forum bedah buku di mana saya bertemu Dika dan mengobrol langsung dengannya, dia dengan tegas berkata, awal dia nge-blog pun semata-mata untuk kepuasan sendiri saja (dan itu memang tergambar cukup jelas dari blognya). Saat tren buku jadi blog belum populer, berbekal keyakinan akan otentisitasnya, Dika lalu nekat mendatangi kantor Gagas Media dan meyakinkan sendiri pada redakturnya bahwa blognya unik, menarik, dan layak terbit.
Tidak semua dari kita senekat Dika, atau sepiawai Ndoro Kakung. Tapi satu benang merah yang bisa kita lihat dengan jelas dari profil para blogger kawakan tersebut adalah: they write with passion. They write for a long run. Yang artinya, mereka menulis dengan semangat hati. Dan mereka tak berhenti. Formula sederhana itu dapat diaplikasikan pada kita semua. Tidak harus sering, tidak harus jadi posting yang populer, tidak harus bagus, tapi menulislah dari hati. Dan menulislah terus.
From Dee Idea
0 comments:
Post a Comment