# # #
Hari ini cuacanya terlihat mendung. Aku bergegas menuju tepi danau. Entah kenapa, kakiku terasa ingin berlari kencang untuk cepat sampai di sana. Dan aku hanya mengikuti apa yang kakiku mau.
Sesampainya di sana aku segera bersembunyi di balik pohon seperti biasanya. Tetapi, tidak seperti biasanya dia pergi secepat ini.
“Apa gue terlambat, ya?” pikirku. Tapi kulihat, jam menunjukkan waktu yang sama seperti biasanya.
“Atau karena mendung?” pikirku lagi.
Tiba-tiba terdengar titik-titik hujan yang turun, aku berlari menyelamatkan kertas itu. Dan hujan pun turun semakin deras diikuti oleh suara petir yang menggelegar. Aku segera berlari menuju rumah dengan menggenggam kertas itu tanpa kulihat dahulu.
“Ya ampun! Kok hujan-hujanan sih!” omel Mama ketika aku sudah sampai rumah.
“Tadi hujannya turun pas aku lagi di jalan, Ma! Jadi, basah kuyup gini deh!” jawabku.
“Yaudah, cepat sana mandi! Nanti masuk angin.” Mama tampak khawatir. Dan aku pun menuruti apa kata Mama.
Setelah selesai mandi, aku buru-buru mengambil kertas itu. Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin melihatnya. Apa yang dia gambar sekarang?
“Oh my God!” teriakku ketika melihat kertas itu.
Aku terkejut setengah mati. Apa benar ini dia yang gambar? Tetapi di kertas itu memang tertulis namanya.
Kucoba untuk melihat kertas itu baik-baik. Mungkin aku salah lihat. Tetapi, aku tidak salah lihat. Ini benar. Di sana tergambar, seorang laki-laki duduk di tepi danau dan ada seseorang yang dia arsirkan hitam sedang mengintipnya dari balik pohon. Dan juga tertulis ‘who are u???’
“Ini gue! Orang yang dia gambar gue!” kataku mulai gelisah.
“Jangan-jangan dia tahu kalo selama ini ada orang yang menguntit dia dan ngambil kertas-kertasnya?” tanyaku yang sudah ketakutan setengah mati.
“Oh my God! Jangan sampai gue nggak bisa ngelihat dia lagi. Jangan sampai dia marah sama gue. Please!!!” Kataku yang memohon.
Kembali kutempelkan kertas itu di dinding kamar, walaupun hatiku gelisah. Hingga larut malam, Aku terus memikirkannya. Aku sampai tidak bisa tidur. Takut kalau kehilangan dia.
Pulang sekolah adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Aku harus segera ke tepi danau itu. Kakiku pun melangkah dengan cepatnya. Aku tidak perduli seberapa kuat napasku mengikutinya. Yang hanya aku pedulikan adalah Yurie seorang. Hatiku berdegup kencang, belum siap untuk kehilangan dia. Aku terus memohon, dan memohon supaya dia masih pergi ke tepi danau itu.
Dan akhirnya, kakiku selesai melangkah di tepi danau. Hatiku rasanya ingin menangis. Ragaku pun serasa lemas. Aku tak sanggup lagi untuk berdiri. Dia… Yurie… tidak ada di tepi danau itu.
“Apa gue nggak akan pernah lihat dia lagi di sini?” tanyaku yang mulai menitikkan air mata.
“Terus, harus di mana lagi supaya gue tetap bisa lihat dia?”
Lalu, mataku pun melihat sesuatu yang mengganjal di sana. Kertas… Aku melihat kertas yang biasa tergeletak di sana setelah dia pergi.
“Berarti, tadi dia ada di sini!” tebakku yakin.
Aku segera menghapus air mataku, dan menghampiri kertas itu. Tetapi, kembali aku terkejut setengah mati.
“Apa maksudnya nih?” gumamku heran.
Terlihat jelas kertas itu tergambar, seorang perempuan yang diarsir warna hitam pensil sedang mengambil kertas di tanah. Terlihat di sampingnya ada seorang laki-laki yang menghampiri perempuan itu. Gambaran laki-laki itu seperti Yurie.
“Hai!” sapa seorang laki-laki dari sisi sampingku.
Ketika mataku melihat laki-laki itu, jantungku menjadi berdebar-debar.
“Hai!” balasku gugup. Dan dia pun segera duduk di sampingku.
“Jadi, selama ini yang ngambil kertas-kertas gue itu elo?” tanyanya.
“Lo marah, ya?” tanyaku hati-hati.
“Kenapa marah? Gue cuma heran aja, buat apa lo ambil semua kertas-lertas gue?”
“Oh, itu, anu…” jawabku bingung sekaligus gugup.
“Tapi nggak apa-apa kok. Lebih baik lo ngambil kertas-kertas gue, daripada kertas-kertas gue nyampah di sini.” Katanya yang membuatku terkejut dan tidak percaya.
“Dia nggak marah sama gue?” batinku senang.
“Tapi lo nggak usah pake ngintipin gue dari pohon gitu dong! Gue kan jadi takut.” Katanya lagi yang membuat wajahku menjadi merah padam.
“Gue Yurie.” Katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Aley.” Jawabku yang membalas uluran tangannya. Hatiku seperti terbang tinggi hingga tidak tahu sampai dimana dia terbang. Rasanya senang sekali kalau dia bisa kenal aku. Dan aku nggak harus menguntitnya lagi yang membuatnya takut.
“Kenapa sih, lo sering banget ke sini sendirian?” tanyaku yang memberanikan diri.
“Gue suka tempat yang sunyi. Di sini gue bisa gambar sesuka gue sambil dengerin musik dan menenangkan pikiran gue. Apalagi bisa lihat sinar matahari tenggelam.” Jelasnya.
“Lihat deh!” serunya sambil menunjuk ke sinar matahari tenggelam itu. “Manis, kan?” tanyanya.
“Iya. Manis banget!” jawabku dengan tersenyum manis menatapnya.
“Dan sekarang, gantian gue yang nanya. Kenapa lo sering banget ngintipin gue?” tanyanya.
Deg… Rasanya jantungku mulai berdetak kencang lagi. Aku tak sanggup menjawabnya.
“Pasti lo naksir gue? Iya, kan? Ngaku!” katanya yakin.
“Ih, PD banget sih, lo? Siapa juga yang naksir sama lo.” Jawabku gengsi.
Dia pun tertawa terbahak-bahak. Belum pernah aku melihatnya tertawa seperti ini. Dan aku juga ikut tertawa bersamanya. Semoga ini untuk selamanya.
“Tapi, gue masih boleh kan ngambil kertas-kertas lo?” tanyaku.
“Nggak boleh!” jawabnya tegas.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Nggak boleh, kalo lo masih ngintipin gue dari balik pohon itu!”
“Jadi?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Lo boleh ngambil kertas itu, kalo lo mau nemenin gue di sini!”
“Hah?” batinku yang sangat bahagia.
Ku lihat dia tersenyum manis padaku, dan aku membalasnya dengan malu-malu. Jadi, seperti ini wajahnya Yurie. Dia tampan, manis, dan lucu. Dan sifatnya bukan seperti yang aku duga, dia ramah dan baik hati. Tidak salah hatiku memilihnya. Sinar matahari tenggelam itu menjadi saksi pertemuanku dengan Yurie.
Kembali kulihat kertas yang masih kugenggam erat.
“Jadi ini maksud dari gambarnya!” tebakku dalam hati sambil tersenyum bahagia.
“Yurie, I love you!” bisikku.
“Would you accompany me in my loneliness?” tanyanya tiba-tiba sambil memasang senyumannya padaku yang membuatku terbang ke langit ketujuh.
Sesampainya di sana aku segera bersembunyi di balik pohon seperti biasanya. Tetapi, tidak seperti biasanya dia pergi secepat ini.
“Apa gue terlambat, ya?” pikirku. Tapi kulihat, jam menunjukkan waktu yang sama seperti biasanya.
“Atau karena mendung?” pikirku lagi.
Tiba-tiba terdengar titik-titik hujan yang turun, aku berlari menyelamatkan kertas itu. Dan hujan pun turun semakin deras diikuti oleh suara petir yang menggelegar. Aku segera berlari menuju rumah dengan menggenggam kertas itu tanpa kulihat dahulu.
“Ya ampun! Kok hujan-hujanan sih!” omel Mama ketika aku sudah sampai rumah.
“Tadi hujannya turun pas aku lagi di jalan, Ma! Jadi, basah kuyup gini deh!” jawabku.
“Yaudah, cepat sana mandi! Nanti masuk angin.” Mama tampak khawatir. Dan aku pun menuruti apa kata Mama.
Setelah selesai mandi, aku buru-buru mengambil kertas itu. Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin melihatnya. Apa yang dia gambar sekarang?
“Oh my God!” teriakku ketika melihat kertas itu.
Aku terkejut setengah mati. Apa benar ini dia yang gambar? Tetapi di kertas itu memang tertulis namanya.
Kucoba untuk melihat kertas itu baik-baik. Mungkin aku salah lihat. Tetapi, aku tidak salah lihat. Ini benar. Di sana tergambar, seorang laki-laki duduk di tepi danau dan ada seseorang yang dia arsirkan hitam sedang mengintipnya dari balik pohon. Dan juga tertulis ‘who are u???’
“Ini gue! Orang yang dia gambar gue!” kataku mulai gelisah.
“Jangan-jangan dia tahu kalo selama ini ada orang yang menguntit dia dan ngambil kertas-kertasnya?” tanyaku yang sudah ketakutan setengah mati.
“Oh my God! Jangan sampai gue nggak bisa ngelihat dia lagi. Jangan sampai dia marah sama gue. Please!!!” Kataku yang memohon.
Kembali kutempelkan kertas itu di dinding kamar, walaupun hatiku gelisah. Hingga larut malam, Aku terus memikirkannya. Aku sampai tidak bisa tidur. Takut kalau kehilangan dia.
# # #
Pulang sekolah adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Aku harus segera ke tepi danau itu. Kakiku pun melangkah dengan cepatnya. Aku tidak perduli seberapa kuat napasku mengikutinya. Yang hanya aku pedulikan adalah Yurie seorang. Hatiku berdegup kencang, belum siap untuk kehilangan dia. Aku terus memohon, dan memohon supaya dia masih pergi ke tepi danau itu.
Dan akhirnya, kakiku selesai melangkah di tepi danau. Hatiku rasanya ingin menangis. Ragaku pun serasa lemas. Aku tak sanggup lagi untuk berdiri. Dia… Yurie… tidak ada di tepi danau itu.
“Apa gue nggak akan pernah lihat dia lagi di sini?” tanyaku yang mulai menitikkan air mata.
“Terus, harus di mana lagi supaya gue tetap bisa lihat dia?”
Lalu, mataku pun melihat sesuatu yang mengganjal di sana. Kertas… Aku melihat kertas yang biasa tergeletak di sana setelah dia pergi.
“Berarti, tadi dia ada di sini!” tebakku yakin.
Aku segera menghapus air mataku, dan menghampiri kertas itu. Tetapi, kembali aku terkejut setengah mati.
“Apa maksudnya nih?” gumamku heran.
Terlihat jelas kertas itu tergambar, seorang perempuan yang diarsir warna hitam pensil sedang mengambil kertas di tanah. Terlihat di sampingnya ada seorang laki-laki yang menghampiri perempuan itu. Gambaran laki-laki itu seperti Yurie.
“Hai!” sapa seorang laki-laki dari sisi sampingku.
Ketika mataku melihat laki-laki itu, jantungku menjadi berdebar-debar.
“Hai!” balasku gugup. Dan dia pun segera duduk di sampingku.
“Jadi, selama ini yang ngambil kertas-kertas gue itu elo?” tanyanya.
“Lo marah, ya?” tanyaku hati-hati.
“Kenapa marah? Gue cuma heran aja, buat apa lo ambil semua kertas-lertas gue?”
“Oh, itu, anu…” jawabku bingung sekaligus gugup.
“Tapi nggak apa-apa kok. Lebih baik lo ngambil kertas-kertas gue, daripada kertas-kertas gue nyampah di sini.” Katanya yang membuatku terkejut dan tidak percaya.
“Dia nggak marah sama gue?” batinku senang.
“Tapi lo nggak usah pake ngintipin gue dari pohon gitu dong! Gue kan jadi takut.” Katanya lagi yang membuat wajahku menjadi merah padam.
“Gue Yurie.” Katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Aley.” Jawabku yang membalas uluran tangannya. Hatiku seperti terbang tinggi hingga tidak tahu sampai dimana dia terbang. Rasanya senang sekali kalau dia bisa kenal aku. Dan aku nggak harus menguntitnya lagi yang membuatnya takut.
“Kenapa sih, lo sering banget ke sini sendirian?” tanyaku yang memberanikan diri.
“Gue suka tempat yang sunyi. Di sini gue bisa gambar sesuka gue sambil dengerin musik dan menenangkan pikiran gue. Apalagi bisa lihat sinar matahari tenggelam.” Jelasnya.
“Lihat deh!” serunya sambil menunjuk ke sinar matahari tenggelam itu. “Manis, kan?” tanyanya.
“Iya. Manis banget!” jawabku dengan tersenyum manis menatapnya.
“Dan sekarang, gantian gue yang nanya. Kenapa lo sering banget ngintipin gue?” tanyanya.
Deg… Rasanya jantungku mulai berdetak kencang lagi. Aku tak sanggup menjawabnya.
“Pasti lo naksir gue? Iya, kan? Ngaku!” katanya yakin.
“Ih, PD banget sih, lo? Siapa juga yang naksir sama lo.” Jawabku gengsi.
Dia pun tertawa terbahak-bahak. Belum pernah aku melihatnya tertawa seperti ini. Dan aku juga ikut tertawa bersamanya. Semoga ini untuk selamanya.
“Tapi, gue masih boleh kan ngambil kertas-kertas lo?” tanyaku.
“Nggak boleh!” jawabnya tegas.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Nggak boleh, kalo lo masih ngintipin gue dari balik pohon itu!”
“Jadi?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Lo boleh ngambil kertas itu, kalo lo mau nemenin gue di sini!”
“Hah?” batinku yang sangat bahagia.
Ku lihat dia tersenyum manis padaku, dan aku membalasnya dengan malu-malu. Jadi, seperti ini wajahnya Yurie. Dia tampan, manis, dan lucu. Dan sifatnya bukan seperti yang aku duga, dia ramah dan baik hati. Tidak salah hatiku memilihnya. Sinar matahari tenggelam itu menjadi saksi pertemuanku dengan Yurie.
Kembali kulihat kertas yang masih kugenggam erat.
“Jadi ini maksud dari gambarnya!” tebakku dalam hati sambil tersenyum bahagia.
“Yurie, I love you!” bisikku.
“Would you accompany me in my loneliness?” tanyanya tiba-tiba sambil memasang senyumannya padaku yang membuatku terbang ke langit ketujuh.
selesai
Cerpen karya Virly Kinasih
Wah.. gw sk nih critanya
ReplyDeletemna cowonya emo,,pk gmbar2 jg
keren!
love this story
ReplyDelete