Showing posts with label Resensi Tamu. Show all posts
Showing posts with label Resensi Tamu. Show all posts

Aug 31, 2009

Resensi Tamu: Mendengar(kan)

Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?


Suatu siang saya menerima sebuah e-mail yang berisi permintaan review sebuah buku. Pengirimnya teman saya, Windy Ariestanty, pemimpin redaksi GagasMedia. “Buku ini berjudul I Can (not) Hear,” tulisnya di e-mail itu, “sebuah memoar yang ditulis oleh seorang ibu bersama seorang penulis GagasMedia tentang perjalanan membesarkan anaknya yang tunarungu menuju dunia mendengar.” Tanpa berpikir panjang, saya langsung menyetujuinya. Pasalnya sederhana, ada sebuah frase yang tiba-tiba menarik saya tak sabar untuk segera membaca buku itu: dunia-mendengar. Seperti apakah dunia-mendengar bagi seorang anak tuna rungu? Ini tentu kisah yang menarik.

Selang satu hari sejak saya menyetujuinya, saya mendapatkan draft naskahnya. Saya langsung men-download kemudian membacanya lembar demi lembar. Dan benar saja dugaan saya, ini kisah yang menarik! Sejak halaman awal saya sudah disuguhi fragmen menarik tentang seorang gadis tunarungu, Gwendolyne namanya, yang kesal karena ibunya tetap memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi meski ia beberapa kali mengingatkannya agat tidak ngebut. “Mom, kan aku sudah bilang jalan pelan-pelan! Are you deaf?” Katanya kesal.


Are you deaf? Apa kau tuli? Bayangkanlah celaan itu dilontarkan oleh seorang gadis tuna rungu pada kita. Barangkali kita hanya akan tertawa geli mendengarnya. Namun ada yang luput dari pemahaman kita selama ini, bahwa “mendengar” ternyata tak sama dengan “menangkap suara” dengan organ telinga. Sama seperti bahwa “melihat” tak semanya sama dengan menangkap bentuk dan warna dengan sensor mata. Barangkali Anda pernah mendengar legenda dewa pedang Jepang bernama Zatoichi, seorang samurai buta. Dikisahkan Zatoichi selalu menang menghadapi musuh macam apapun, ia membaca gerak musuhnya dengan mendegarkan langkah-langkah kaki musuhnya, ia bertahan, mengelak, menyerang, dan menaklukkan musuh-musuhnya tanpa melihat! Ia menatap dunia tanpa mata. Dari Zatoichi kita belajar hal penting: bahwa buta bukan berarti tak bisa melihat. Sebab esensi dari melihat adalah menangkap realitas sekitar dan merefleksikannya kedalam diri menjadi semacam guide atau reference untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan—keputusan yang akan diambil. Dan mendengar? Rasanya sama saja, mendengar bukan soal memiliki indera pendengaran atau tidak.

Kali ini saya belajar dari Gwendolyne, seorang gadis tunarungu yang menjadi tokoh utama dalam buku I Can (not) Hear (GagasMedia, 2009). Darinya saya belajar bahwa mendengar(kan) tak sama dengan menangkap suara-suara, mendengar(kan) adalah menangkap apa yang ada di balik suara. “Demi keselamatan terbang, kencangkan sabuk pengaman Anda!” Bukankah semua orang mendengar suara itu setiap kali akan take-off dari bandara? Tapi apakah semua orang tergerak untuk mengencangkan sabuk pengamannya untuk keselamatannya selama berada dalam pesawat? Esensi terdalam dari mendengar(kan) adalah menangkap “yang-di-balik-suara”. Dan Gwen mengajari saya tentang itu.
Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?

Mommy-nya Gwen pernah dibuat frustasi dalam menuntun Gwen menuju dunia-mendengar. Sebab sebelumnya Mommy hanya berpikir bahwa mendengar(kan) adalah menangkap suara-suara. Mommy pada awalnya sealalu mengasihani Gwen yang menurutnya tak bisa mendengar(kan) suara-suara—bahkan suaranya. Ibaratnya bahkan jika ia berdiri di samping pesawat terbang yang akan lepas landas, Gwen tak akan mendengar suara apa pun. Baginya, dengan kondisi seperti itu Gwen sudah pasti memiliki hambatan belajar dari lingkungan di sekelilingnya dan tidak akan bisa berbicara seperti anak normal. Sampai-sampai Gwen harus diberi cochlear implant, semacam “chip mendengar” yang ditanam di telinga kanannya agar ia bisa menangkap suara-suara. Tapi Gwen tetap sulit mendengar(kan) suara-suara. Chip itu tak serta-merta membantu Gwen untuk mendengar.

Di sinilah kisah itu di mulai. Tentang Mommy yang berjuang membantu Gwen mendengar dan berbicara, tentang Gwen yang berusaha mendengar dan berbicara. Tentang dua orang ibu dan anak yang berjuang menuju dunia-mendengar dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tentu saja, membawa Gwen menuju dunia-mendengar bukan perkara mudah. Bagi Mommy, butuh perjuangan keras dan panjang bahkan hanya untuk membuat Gwen bisa mendengar kata “Mommy” dan berhasil mengucapkannya lagi dengan benar. Mommy mengulanginya beratus-ratus kali, bahkan mungkin beribu-ribu kali, dengan penuh kesabaran dan cinta, hingga akhirnya suatu hari Gwen kecil berhasil mengucapkan kata “Mommy” dengan baik, “Maa… mii” katanya terbata-bata setelah sebelumnya terus mencoba dengan ‘e-i’, ‘i-i’, ‘a-i’, ‘ma-i’, ‘a-mi’ sampai akhirnya ‘ma-mi’.

Selesai satu kata diajarkan, jutaan kata lain menanti. Tapi Mommy tak pernah menyerah untuk menuntun Gwen menuju dunia-mendengar. Dengan harapan di dada, Mommy ingin membawanya pergi ke dunia-mendengar. Mommy ingin Gwen seperti laiknya manusia tanpa gangguan pendengaran. Dan semustahil apa pun itu kedengarannya, Mommy tak pernah kenal kata menyerah.

Sebagai sebuah memoar yang diangkat dari kisah nyata, I Can (not) Hear menyajikan kisah indah sekaligus menyentuh yang mengajari kita dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama tentang seorang ibu yang tak pernah menyerah dan penuh cinta menuntun anaknya yang tunarungu menuju dunia-mendengar tadi—agar kelak ia bisa tumbuh seperti anak-anak normal lainnya—perjuangan cinta seorang ibu yang sangat menyentuh sekaligus menggetarkan. Kedua, tentang anak itu sendiri, Gwendolyne, yang mengajari kita bahwa mendengar(kan) adalah bukan tentang menangkap sauar-suara, tapi lebih dari itu, mendengarkan adalah menangkap sesuatu-di-balik-suara—sesuatu yang kadang-kadang tak bisa benar-benar ditangkap bahkan oleh mereka yang mampu mendengar suara-suara secara sempurna.

Setiap hari kita mendengar suara-suara, mendengarkan ajaran demi ajaran, pelajaran demi pelajaran, hikmah demi hikmah—tapi kita juga sering kali gagap menangkap hal-hal penting di balik suara-suara. Suara adalah bentuk lain dari cinta dan kasih sayang Tuhan, kata seorang Sufi, tapi bukankah kita lebih sering gagal menangkap “yang-di-balik-suara” (cinta dan kasih Tuhan tadi) sebagai hal penting yang seharusnya kita tangkap. Barangkali Gwen benar, suara hanyalah medium bagi cinta. Telinga hanyalah antena untuk menangkap cinta yang dikirim pemilik hidup agar maknanya menjadi pijar yang membuat hidup kita bercahaya. Dengan keterbatasan pendengarannya, Gwen tetap bisa menangkap cinta dari balik suara-suara Mommy yang samar-samar—dari hidup.

Kadang-kadang saya berpikir, betapa bodohnya kita yang mampu mendengar(kan) suara-suara dengan sempurna, tetapi selalu gagal menangkap hikmah, pelajaran, cinta dari balik suara-suara. Rasanya kita harus belajar pada Gwen dan semua orang yang mendengar(kan) seperti caranya mendengar(kan) cinta—mendengar(kan) hidup.
Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?

Paul Tillich, seorang teolog dan filsuf kenamaan asal Amerika pernah berkata, the first duty of love is to listen: ibu yang mendengarkan anaknya, anak yang mendengarkan orang tuanya, pasangan yang saling mendengarkan, Tuhan yang mendengarkan doa-doa umatnya, manusia yang mendengarkan pesan dan cinta Tuhannya. Pertama-tama, mencintai adalah tentang mendengarkan.

Akhirnya, mari kita menuju dunia-mendengar. Dan pertama-tama, I Can (not) Hear adalah buku yang saya rekomendasikan.


Fahd Djibran,
Penulis buku A Cat in My Eyes

Read More ..

Aug 28, 2009

Resensi Tamu: I Can (not) Hear

Saya rasa Gwen adalah anak yang beruntung memilikii seorang ibu yang kuat, tegas disiplin tapi juga lemah lembut hatinya. Juga mempunyai ayah dan nenek yang selalu mengerti, menjaga, dan mendukung apa pun yang menjadi keinginan dan kebutuhan Gwen. Saya juga salut terhadap kejelian orangtua terutama sang Ibu dalam menempatkan Gwen dengan memilih lingkungan yang tepat meski tidak mudah agar Gwen tumbuh dengan maksimal, seperti keputusan tinggal di Australia selama hampir 3,5 tahun ataupun keputusan untuk menempatkan JIS sebagai sekolah pilihan untuk Gwen.



Buku ini juga mengingatkan pengalaman-pengalaman awal saya sebagai fisioterapi di sebuah Stroke Center. Bagaimana perjuangan pasien stroke untuk mengatasi atau lebih tepatnya beradaptasi dengan keterbatasannya bukan dengan cara menghilangkan atau mengubah keterbatasan tersebut. Memanfaatkan keterbatasan tersebut dengan maksimal sehingga para pasien tidak dianggap sebagai orang yang disable atau cacat. Meskipun dengan usaha dan perjuangan mental, pikiran dan tenaga untuk mencapai hasil yang maksimal benar-benar bukan usaha yang mudah. Itu yang saya lihat dari Gwen sejak ia berusia bayi, Gwen menunjukkan kemampuan belajar yang luar bisa. Juga Ibu Gwen yang tanpa lelah mengajarnya untuk berbicara yang benar, baik itu dari intonasi maupun kejelasan kata sehingga Gwen tidak terlihat sebagai anak yang tuna rungu, lebih terlihat seperti anak yang normal.

Saya sempat menitikkan air mata ketika membaca kejadian Gwen bersikeras tidak mau memakai stokingnya di buku ini. Dan ibu, nenek bahkan ayahnya, John sempat memukul Gwen gara-gara masalah tersebut. Bagi saya, di sinilah penting perhatian dan komunikasi antara orangtua dan anak. Ketika itu Gwen akhirnya terpaksa mau memakai stoking gara-gara diancam akan ditinggal di rumah sendiri oleh orang tuanya. Pada saat malam, seusai acara, ketika sang ibu membantu Gwen melepaskan stoking, ia baru mengetahui alasan mengapa Gwen menolak memakai stoking. Ternyata alasan Gwen tidak mau memakai stoking adalah karena tidak ingin merusak kuteks di kuku jari-jari kakinya. SanSan dan John sangat menyesal terpaksa memukul Gwen sebelumnya karena salah mengartikan keinginan Gwen.

Buku yang membuat saya kagum terhadap seorang ibu, seperti SanSan. Tidak saja suka dukanya, tapi perjuangannya dalam menghadapi Gwen dan perjuangannya untuk berbagi pengalaman dengan orangtua anak-anak tuna rungu di Indonesia. Salut.

Buku yang menambah pengetahuan dan layak dibaca!

Roos,
GoodReads Indonesia

Read More ..

Jul 15, 2009

Resensi Tamu: Resep Penuh Cinta si Tukang Masak

Anda yang hobi masak-memasak, pasti tidak asing lagi dengan nama Bara Pattiradjawane. Pasalnya, lelaki yang dijuluki Si Tukang Masak ini begitu populer karena secara rutin tampil mengisi acara kuliner di sebuah stasiun televisi swasta dan sebuah majalah di Ibu Kota.

Kehangatan dan keramahannya pun membuatnya menjadi tukang masak favorit bagi para pencinta kuliner. Namun, bukan sekadar wajahnya sering nongol di layar kaca dan media cetak yang membuatnya terkenal.

Dia memiliki kelebihan dari cara memasak dan racikan resep yang disajikan begitu khas. Selain pilihan bahan-bahannya relatif mudah didapat, resepnya dan cara memasaknya aplikatif. Siapa pun bisa melakukannya dan menjadikan kegiatan memasak disukai semua orang.

Di tangan Bara, begitu biasa dia disapa, pelbagai jenis makanan menjadi mudah dibuat dan penuh cita rasa. Dari makanan kelas warung Tegal sampai sajian hotel berbintang, dari jajanan pasar hingga kue-kue pesta,semua dapat diracik dan diolah dengan cara sederhana sehingga rasanya menjadi luar biasa.

Kepiawaian Bara dalam mengolah dan menyajikan beragam makanan lahir dari kecintaannya terhadap dunia kuliner. Hal itu membuat inovasi, kreativitas, dan improvisasinya dalam memasak menjadi begitu unik dan orisinal. Boleh jadi bahan, teknik, dan resep yang digunakan sama, tetapi sentuhan cintanya membuat hasil masakannya benar-benar berbeda.

Sentuhan penuh cinta itu pun terasa dalam buku kuliner kedua yang baru diluncurkan baru-baru ini. Dalam buku berjudul Catatan dari Balik Dapur Si Tukang Masak yang diterbitkan GagasMedia, tidak hanya menyajikan berbagai resep masakan khas Bara, tetapi juga mengungkapkan berbagai cerita di balik lahirnya sebuah resep masakan yang dibuatnya.

Jadilah buku setebal 258 halaman ini sebuah buku kuliner yang unik. Dari berbagai cerita menarik yang dituangkan Bara dalam buku ini diketahui, bagaimana kreativitasnya Si Tukang Masak ini. Dia mampu menjadikan menu masakan warung Tegal, tukang kue keliling, masakan rumah makan ternama, dan resep masakan hotel, menjadi inspirasi.

Lalu, memodifikasinya menjadi lebih menarik, seperti membuat soto ayam, kue putu, sampai pasta, dan spageti tuna. Diungkap pula mengapa kecintaan Bara terhadap dunia masak-memasak ini begitu besar. Seperti ketika kecil, dia suka main masakmasakan bersama teman sepermainan membuat gado-gado dari tanah, atau saat pertama memasak domba kecap hasilnya malah gosong.

Namun, pengalamannya itu mengubahnya menjadi seorang yang tak takut salah dalam melakukan inovasi untuk memasak. Karena itu, buku ini mampu memotivasi siapa saja yang membacanya untuk menyukai dan mencintai kegiatan masak-memasak. Pengalamannya hidup di luar negeri pun menambah kaya inovasi resep masakan Bara.

Ditambah kecintaannya dengan kuliner Tanah Air, menjadikannya kombinasi yang penuh warna sesuai cita rasa Indonesia, seperti menu kerang hijau dengan kuah wine. Semua bisa disajikan di mana saja dan kapan pun, disesuaikan suasana dan kebutuhan. Kisah yang penuh warna dan rasa dalam buku ini semakin menarik dengan tampilan yang funky dan penuh warna.

Buku ini penuh keceriaan dan kecintaan terhadap dunia memasak, sehingga patut dimiliki siapa pun, termasuk yang baru belajar untuk memasak. Bara mengubah pandangan bahwa memasak yang selama ini sulit dan menjadi wilayah para koki, atau ibu-ibu, menjadi sangat mudah dan bisa dilakukan siapa saja. Memasak bila ditambahkan “resep” cinta bisa jadi begitu menyenangkan dan penuh warna.




(Wasis Wibowo)
disadur dari http://www.seputar-indonesia.com
senin 13 Juli 2009

Read More ..

Jun 22, 2009

Resensi Tamu: Catatan Jalan-Jalan dari “Negeri Mafia”

Catatan Jalan-Jalan dari “Negeri Mafia”



Entah siapa yang pertama kali memulai berbagi pengalaman studi di luar negeri dalam media buku. Dulu saya pernah menemukan buku yang ditulis Arief Budiman tentang pengalamannya studi di negeri Kanguru. Belakangan muncul buku Studying Abroad yang ditulis Windy Ariestanty dan Maurin A. Buku berbagi info studi ini mengulas seputar tip dan trik persiapan sekolah di luar negeri hingga cara beradaptasi dengan lingkungan asing. Memang buku-buku semacam ini masih tergolong sedikit, walaupun sebenarnya minat anak muda bersekolah di luar negeri saat ini kian bertumbuh.

Selain berbagi pengalaman sekolah di luar, ada pula buku "jalan-jalan" ke mancanegara yang kian marak. Tengoklah Naked Traveler ataupun Ciao Italia!. Mengapa buku-buku seperti ini kian diminati? Di kalangan anak muda kelas menengah siapa yang tidak bergiur untuk jalan-jalan ke luar negeri. Selain kian banyak tawaran paket wisata "murah", akses pertemanan lewat Internet pun cukup memudahkan para traveller untuk mewujudkan niatnya. Apalagi bila, Anda memiliki banyak teman di luar negeri, hal ini tentu akan lebih memudahkan. Dan, kehadiran buku-buku semacam ini menjadi bagian yang menginspirasi para penyuka traveling jalur mancanegara.


Termasuk Ciao Italia! yang ditulis Gama Harjono. Buku ini mengajak orang untuk berkunjung ke Italia. Tak hanya itu, buku ini juga mengajak untuk belajar kebudayaan dan bahasa Italiano yang kabarnya tidak kalah menarik ketimbang bahasa Prancis. Sebagai sebuah pengantar buku ini lumayan lengkap; sebab Gama coba menuliskan soal kondisi sosial-budaya hingga semua tempat-tempat bersejarah di negeri sepatu itu. Tak lupa soal tip dan trik perjalanan pun disampaikan olehnya. Semisal persiapan bujet minimal dalam sebulan dan bagaimana harus mengirit ongkos makanan, namun tetap bisa berbelanja.

Ciao Italia! memang tampak digarap dengan serius dan detail. Buku traveling ini ditulis hampir setahun oleh Gama. Gama adalah kontributor lepas sebuah koran berbahasa Inggris yang terbit di Indonesia. Kabarnya, kebiasaannya menulis dalam bahasa Inggris cukup menyulitkannya saat harus menulis dalam gaya bahasa Indonesia popular ala anak muda. Dan inilah hasilnya, sebuah buku panduan menyisir jejak-jejaknya di negeri tempat para ilmuwan dan seniman besar mencipta.

Petualangannya dimulai dari kota antik: Roma. Deskripsi beraneka sisi soal Roma, Colosseum, Altare Della Patria, Museum Capitolini langsung dia dedahkan cukup detail, terutama dari segi arsitektural. Bangunan-bangunan di Roma didominasi warna mediterania seperti cokelat pastel, lemon, terracota, dan putih marmer (hlm 13). Wajah "Eropa Tua" tergores jelas di kota Roma. Nah, naluri sebagai seorang penulis yang cukup cermat pun mulai tampak sejak membuka buku berslogan "Catatan Petualangan Empat Musim" ini.

Saat membuka sampul buku ini kita langsung disambut foto-foto eksotik yang penuh daya tarik Italia. Sebutlah Piazza Grande lokasi syuting Life is Beautiful,Venessia, Altare Della Patria, Umbria, Perugia, Katederal kota Orvieto, Florence, penjual buah di Naples, Piazza del Campo di Sienna, Cingue Terre, dan lainnya.

Gama termasuk mahasiswa yang rajin menyisihkan waktunya untuk menyusuri sudut-sudut Italia. Kiranya setahun sembari kuliah bahasa Italia di Universita per Stranieri di Perugia, sebagian waktu luangnya disisipi agenda jalan-jalan dan berpesta di negeri seni yang kaya akan sejarah abad tengah di setiap sudutnya.

Saat jalan-jalan menyusuri Perugia, Gama kaget ketika Alan (temannya) menunjukkan tempat tinggal Galileo, ilmuwan genius yang ditentang kaum gereja. Kekaguman akan Italia sebenarnya nampak jelas di bagian pengantar buku ini. Oleh sebab itu untuk mengenang “manisnya” Italia, Gama membagi segala apa yang ia lihat dalam Ciao Italia!. Namun, tak saja soal tempat, sisi pertemanan baginya orang Italia yang penuh kekeluargaan. Isi buku ini memang bisa membuat iri para pembaca yang belum pernah mencicipi Italia yang fenomenal.

Satu hal yang patut kita contoh dari keprigelan pemerintahan Italia adalah keseriusan atas penjagaan dan perawatan tempat dan situs-situs bersejarah. Tengoklah Desa Cingue Terre dan Basilika Asisi yang dibuat 1228 masih berdiri kuat. Kedua tempat ini bersegel UNESCO World Heritage Site. Di Cingue Terre, Anda tak menemukan satu batang pun antena televisi di atap rumah. Hal ini untuk menjaga agar desa itu nampak tradisional seperti di abad 16. Walikota setempat mengatur hal ini dalam undang-undang.

Namun di sisi lain seperti birokrasi, Gama menemukan keruwetan klasik. Semisal ketika ia diharuskan mengurus dokumen sebagai pendatang yang tidur di atas tanah Italia; ia harus menunggu berjam-jam dan tanpa service yang menyenangkan. Juga soal masalah sosial, terutama pengangguran dan banyaknya anak muda Italia yang cenderung manja dan bergantung pada orang tua. Hal ini sepertinya sudah membudaya di negeri itu. Banyaknya penipu dari kaum Gypsi, juga menjadi gambaran lain soal kriminalitas di Italia.

Yang tak kalah "seram" soal Italia adalah soal mafia. Naples adalah kota terseram yang pernah disinggahi Gama. Sebuah kota yang memiliki tingkat kejahatan tinggi. Butuh nyali besar untuk melintasi kota yang terletak di bawah Gunung Vesuvius yang aktif, di mana seks bebas diobral. Saat akan berkunjung ke Naples, pesan-pesan seram penuh rasa was-was yang membuat Gama
tergetar. Namun, kenekatannya tetap menggiringnya pergi menelusuri kota asalnya Pizza.

Buku ini akan lebih sempurna bila disisipi video berdurasi pendek tempat-tempat yang dilewati Gama. Dalam buku cetakan pertama ini saya tidak menemukan peta visual atau rute yang dilalui Gama. Inilah kekurangan dari buku ini. Di sisi lain, ada pelajaran besar yang bisa kita dapat dari buku perdana Gama, yaitu soal menghargai warisan sejarah dan budaya. Maka saatnya pembongkaran kota-kota tua ataupun bangunan-bangunan tua bersejarah dihentikan di Indonesia. Dan tirulah Italia dalam hal merawat tempat-tempat bersejarah.




Adi Baskoro

Pembaca buku, bekerja di Jakarta
penjaga rumahmatahari.net

Read More ..

Jun 15, 2009

Resensi Tamu: Menangkap Spirit Nge-Blog Ndoro Kakung

Bagi yang pernah atau sering mampir di blog ndorokakung.com, pasti cukup akrab membaca kata ''pecas ndahe''. Kata ''pecas ndahe'' di Jogja dan Solo, biasanya dipakai sebagai umpatan. Kata itu sengaja dipakai untuk menunjukkan kekesalan hati pemiliknya bila melihat dunia yang semakin tua dan penuh tikungan mengejutkan. Demikian aku Wicaksono --pemiliki blog ndorokakung.com-- saat ditanya asal-usul tagline ''pecas ndahe''.

Lelaki Jawa tulen itu melanjutkan, ''Lama-lama kata itu tak lagi sekadar sebuah umpatan tapi berubah menjadi kiasan saya untuk merespons setiap peristiwa yang saya baca, lihat, dan temui sehari-hari. Ia juga menjadi semacam tag atau penanda bagi setiap judul posting.'' Biasanya, bagi yang mengerti kata itu tak jarang langsung tertawa saat membaca judulnya. Misalnya Rani Juliani Pecas Ndahe, Email Pecas Ndahe, Buku Pecas Ndahe, dan seterusnya.

Blogger kawakan itu baru menerbitkan buku berjudul Ngeblog dengan Hati. Sebuah buku bertema langka. Sebab, kebanyakan di antara jajaran buku berbau blog, biasanya lebih menyoal perkara ngeblog secara teknis. Misalnya soal tak-tik atau akal-akalan ngeblog untuk uang, meningkatkan trafik kunjungan, menambah pernak-pernik, mengganti theme, dan seterusnya.

Dalam Ngeblog dengan Hati, kiranya Ndoro Kakung ingin menyampaikan pesan ngeblog dalam kerangka ''filosofis''. Bagi Ndoro, blog adalah media untuk berlatih mencari ide, menulis, juga berbagai apa saja, termasuk ilmu. Ia meneruskan dalam pengantar buku ini: seperti halnya hidup blog merupakan tempat kita berlatih yang begitu luas, dalam kurun waktu yang tak kunjung putus.

Spirit ngeblog terbersit dalam kata blogisme. Ndoro Kakung menuliskan di atas blognya (8 Februari 2008) seperti ini: Blogisme itu sebuah paham bahwa blog itu bukan sekadar barang dagangan. Dia dimulai dengan keinginan, dia digerakkan oleh hasrat, sedikit modal (ongkos beli domain dan sewa hosting), lalu diperkenalkan pada blogger dan ke sudut-sudut blogosphere di delapan penjuru angin.

Nge-Blog dengan Hati garapan jari redaktur utama Koran Tempo ini patut diintip. Wicaksono mengandaikan mengisi blog itu ibarat lari maraton, bukan lari jarak pendek. Tulisnya dalam buku ini, ''Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tidak perlu buru-buru berhenti.'' Ngeblog yang tulus memang bukan perkara gampang. Tidak semua orang bisa melakukan.

Sebagai sebuah pengantar wacana dan pelatuk soal dunia blogger, buku ini cukup lengkap dan inspiratif. Buku ini dipetakan menjadi empat bagian; yakni soal blog dan blogger, etika dan hukum, rahasia uang dan kemasyuran, serta soal laku moral dan teknologi. Buku ini dibuka oleh Windy Ariestanty mengenai kronologi dan alasan mendasar terbitnya buku ini. Dilanjutkan dengan sejarah ngeblog Ndoro Kakung pada 2005, hingga menjelang akhir 2006 Ndoro mulai ngeblog berdomain ndorokakung.com dan hijrah ke mesin Wordpress.

Satu wejangan substantif dari Ndoro adalah soal content. Sebab, menurutnya, orang berkunjung bukan ingin melihat desain blognya, tapi isi dari blog itu. Konten itu bisa berupa macam-macam seperti artikel, gambar, foto, video, dan audio. Lihat saja blog ndorokakung.com yang tampilannya begitu sederhana. Namun, sekali posting pengunjung dan komentarnya banyak. Pendeknya konten blog sebagai raja.

Memang bukan perkara yang gampang agar bisa menjaga konten terus rutin diunggah di blog. Pasang-surut dan hasrat menulis di blog selalu terikat pada mood dan disiplin menangkap ide. Nah, lewat media blog ini, sebenarnya para blogger bisa memanfaatkan sebagai ajang bereksperimen dan berkreasi, serta melatih menangkap ide. Menurunkan ide tak melulu terus lewat tulisan. Foto, gambar, komik, atau video pendek pun tak soal untuk diunggah.

Selain itu, yang perlu diingat, blog adalah media komunikasi dengan khayalak ramai di internet. Maka, bila kita amati, di atas blog itu percakapan yang saling sambar pun biasa terjadi. Komentar dari para pengunjung menjadi bahan apresiasi dan diskusi terhadap hasil posting. Entah itu berupa cacian, sanjungan, ataupun komentar yang tidak nyambung. Di sini blogger harus mampu membayangkan efek setelah artikelnya dipublikasikan dan merespons komentar-komentar itu secara interaktif. Menurut Ndoro, inilah kunci merebut hati khalayak: berinteraksi dan konsisten melayani (hlm. 6). Jadi ngeblog itu cocok bagi mereka yang suka berdiskusi dan melempar isu.

Buku ini ditulis seperti gaya tulisannya di blog. Sederhana, renyah, berkalimat pendek-pendek, dan tak jarang membuat tertawa. Ndoro juga sering menggunakan gaya percakapan dalam menyampaikan tulisannya. Nah, selain soal spirit, satu hal lain soal teknis penulisan patut kita contoh untuk belajar ngeblog dari jurnalis ini.

Buku Ngeblog dengan Hati lebih berupa tip dan anjuran agar ngeblog tak diniatkan untuk menaikkan trafik kunjungan, untuk mencari uang, atau malah akal-akalan saja. barangkali dengan membaca buku ini para blogger bisa terinspirasi dan tertulari spirit ngeblog ala Ndoro Kakung. Keyword penting dan perlu diresapi adalah soal ''berbagi'', eksperimen, dan interaksi di dunia maya.

Memang ada aneka rupa niatan untuk ngeblog dari sekadar iseng, narsis, promosi, jualan, hingga yang ''serius'' ingin berbagi ilmu atau sekadar diskusi. Yang jelas, baik Ndoro Kakung, Raditya Dika (radityadika.com), ataupun Chaos@work (chaosatwork.blogspot.com), awal aktivitas ngeblog bukan ditujukan untuk membuat buku. Hanya spirit dan konsisten untuk terus mengisi konten blog yang nampak dalam blog mereka.

Bagaimana kabar spirit ngeblog Anda saat ini? Bila masih loyo silakan simak saja buku ini. Mungkin buku ini bisa jadi sebuah saklar untuk menggairahkan kembali hasrat menulis dan berbagi di dunia maya. Go blog! (*)

-------------------------------------------------------


Adi Baskoro, penikmat blog & web rumahmatahari.net
Diambil dari www.jawapos.co.id

Read More ..